Terkadang Maya bingung. Apa yang sebenarnya ia cari di dunia ini? Dunia penuh kegilaan, penuh kerusakan, penuh kebodohan,
Menyakitkan.
srek.
Suara selembar kertas yang dibuka hanya menjadi penengah dari keheningan yang terjadi. Taman sekolah—–atau lebih tepatnya gazebo mini sekolah, akan menjadi basecamp terbaiknya setelah perpustakaan.
Ia tak tahu tentang mekanisme dunia. Dunia terlalu luas untuk dirinya yang hanya sebesar sel dari ketinggian angkasa. Terkadang, Maya setuju. Memikirkan tentang sosok 'ayah' yang lebih tepat disebut 'monster' itu, mau sampai kapan pun, tidak akan berakhir.
Ayah selalu menakjubkan. Selalu membuatnya tercengang. Untuk kali ini, ia sudah siap. Siap mendengar kisah konyol apa lagi yang akan pria itu buat. Siap untuk menangis lagi, untuk gagal lagi, untuk hancur lagi ...,
Sembari memikirkan langkahnya ke depan.
Karena pada kenyatanya hidupnya akan terus berjalan. Dunia tidak akan mau peduli bagaimana kondisi mentalnya. Separah apa masalah di rumahnya. Dunia hanya ingin, Maya menjadi manusia sempurna. Selalu. Akan selalu.
Maka dari itu kini ia luangkan waktu senggangnya untuk membaca buku modul fisika dasar ditemani dengan sebotol yoghurt yang ia beli tadi pagi. Kakinya membentuk silang, dan kepalanya ia sandarkan pada pinggiran gazebo.
Lama-lama Maya hafal tentang apa yang harus ia lakukan saat menemukan titik-titik terendah itu.
"Hai Maya!"
Dan tiba-tiba sapaan yang tidak asing berhasil mengalihkan si gadis dari buku fisika yang berada di pangkuannya. Maya menengok. Menatap Riska yang kian melepas kedua sepatu untuk ikut naik ke atas gazebo.
"Lo .., ulang tahun, ya?"
Pertanyaan mencelos itu tiba-tiba saja terucap tanpa perizinan. Maya yang mendengar, refleks menyipitkan sedikit kedua matanya. Darimana Riska tahu?
"Eh." Riska yang menyadari makna dari ekspresi aneh yang gadis di depannya buat, kian terdiam sebentar.
"Kemarin, gue kan disuruh bantu beresin berkas-berkas anak kelas 10 sama guru. Tau lah ya, Kartu Keluarga, Akte, gitu-gitu." Riska menghitung menggunakan jari tangan kirinya. "Terus, gue liat punya lo." Kontak mata terjadi. Riska tersenyum lebar, memperhatikan gadis di depannya yang masih terdiam mematung.
"Nih." Kemudian ia julurkan suatu benda dari tangan kanannya yang sedari tadi sengaja ditaruh di belakang badan. Arus mata si gadis narkoba itu kini mengarah pada benda tersebut. Ia tutup buku fisikanya dengan rapat, menaruhnya di pinggir, dan meraih benda yang dijulur.
Gunting dan juga dua lembar kertas.
"Nggak seberapa sih, tapi gue tau lo bakal butuh."
"Hah??" Akhirnya Maya angkat bicara. Ia sedikit menekuk kepalanya ke kiri dan memasang ekspresi cengo. "Buat, apa?"
"Tangan lo,"
Kaget. Tapi sebisa mungkin ekspresi yang ia keluarkan adalah netral.
"Tangan lo berharga May, tangan lo mahal. Kalau sakit, jangan beset tangan, ya? Beset kertas aja."
Riska kini beralih menatap pada kardigan ungu dongker yang menutupi seluruh bagian lengan si gadis narkoba dan hanya menyisihkan kubu-kubu jari. Ia mengembangkan kedua pipinya, dan kembali menatap pupil si pemilik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Bahagia
Genç KurguNamanya adalah Maya. Gadis pintar pemenang OSN Matematika tingkat SMP yang mukanya sempat terpajang di akun pemerintahan sebagai brand ambassador dan memiliki segudang prestasi lainnya, sekaligus anak dari seorang pengusaha ternama. Banyak orang bil...