Namanya Maya Vanessa Almaurn.
"AGHHH!"
Lelah.
PRANG!
Gila.
BRUK!
Hancur. Tiga kata untuknya.
Maya mendorong seluruh alat make up hingga pecah berserakan. Lantai kamar yang awalnya berwarna putih elegan, tiba-tiba menjadi merah berantakan. Lalu gadis itu mencengkram kepalanya sendiri.
Rontok.
Lagi-lagi. Namun siapa yang peduli? Oh tentu tidak ada.
Maya kini menjatuhkan kepalanya pada nakas. Memejamkan mata, masih dengan kedua tangan yang sibuk mengeluarkan rambut-rambut rontok dari kepalanya sendiri. Sakit.
Sakit rasanya dijambak.
Sakit rasanya dipukul.
Sakit rasanya dikhianati. Oleh ayah sendiri.
Orang lain tak perlu tahu rasanya. Cukup ia sendiri. Orang lain tak perlu begitu peduli. Maya bisa menyelesaikannya sendiri. Ia hanya perlu waktu.
Lagian ini bukan tentang sosial. Ini hanya tentang dirinya dengan keluarganya. Orang lain tak perlu ikut campur. Ia harap.
Maya kini beralih menatap cermin besar pada meja riasnya itu. menampilkan muka penuh memar, rambut acak kadut, dan ... ia melebarkan kerah bajunya. Memperlihatkan beberapa baret bekas cambukan sabuk pada bagian bawah lehernya.
Perih. Sakit. Kecewa. Namun ia tak tahu harus berbuat apa.
Langkahnya mundur perlahan. Air mengalir membasuh muka cantiknya. Dan mulutnya seketika berkerut. Ini bukan kehidupan yang Maya mau. Ini bukan dunia yang gadis itu harapkan. Kecewa. Maya kecewa dengan garis takdirnya.
Tak perlu jelaskan lebih banyak. Maya sudah tidak peduli dengan poin kenakalannya di sekolah. Maya sudah tidak peduli dengan para OSIS yang terus mengejar, guru-guru yang memarahi, dan teman yang terus kian berjauhan. Karena pada dasarnya, ada hal lain yang lebih membuatnya hancur. Keluarga.
Kehidupan sekolah seakan tidak ada artinya lagi. Toh ia bisa mendapatkan ilmu selain dari sekolah. Sekolah hanya tempat pelarian. Namun tak selamanya pelarian itu bisa menerimanya dengan baik, kan?
Kini gadis itu memutar kepalanya sedikit. Menatap sebuah silet yang tergeletak di lantai.
🦊🐰🐸🐱🐣
"Maya, kardigannya tolong dilepas ya." Eka memegang pergelangan tangan Maya. Adik kelas di sana tidak berkutik sama sekali. Mereka sama-sama memperhatikan apa yang akan Eka lakukan kepada Maya.
Maya mengangkat satu ujung bibirnya. "Kalo gue nggak mau, gimana?" dan detik itu, Eka kemudian merasa tertantang. Baru kali ini ada adik kelas yang berani melawan dirinya.
"Di sekolah kita nggak boleh make jaket, kardigan, sweater atau apapun itu. Jadi tolong dilepas ya. Karena apa? Karena bet sekolah kamu jadi nggak kelihatan. Lambang kelas kamu jadi nggak kelihatan," ujar Eka masih dengan tampang yang dingin.
"Tapi gue nggak mau," Maya menyela. Gadis itu menggoyang-goyangkan tangannya agar cengkraman Eka lepas.
"Bisa lepasin gue nggak?!"
"Aku nggak akan lepasin kamu sebelum kamu copot kardigan itu." Eka menyunggingkan satu ujung bibirnya keatas. Ia juga menatap Maya dengan pandangan jahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Bahagia
Teen FictionNamanya adalah Maya. Gadis pintar pemenang OSN Matematika tingkat SMP yang mukanya sempat terpajang di akun pemerintahan sebagai brand ambassador dan memiliki segudang prestasi lainnya, sekaligus anak dari seorang pengusaha ternama. Banyak orang bil...