04 | Desa Beribu Kenangan

77 9 0
                                    

"Za .., Lizza ...."

"Iya bentar Ni!"

Lizza menaruh nampan rotan berisi semangka pada rerumputan. Kemudian ia berjalan melewati semak-semak, dan masuk ke dalam rumah. Tidak besar. Hanya sepetak dan terbuat dari bambu. Namun yang paling penting dapat membuat nyaman kan?

"Iya, kunaon Ni?" tanyanya saat sudah memasuki pintu.

Nini (panggilan nenek dalam bahasa sunda) sedang menggoreng bawang rupanya.

"Pak Rangga bade sumping tuh. Kanggo ngenalkeun putrina ka perusahaan."

"Wow ...." Lizza duduk pada kursi rotan dan meraih kaleng Monde yang berisi rengginang.

"Saur na ke perusahaanna bade diwariskeun ka murangkalihna anu namina Maya. Ngan hiji na, saumuran sareng maneh da."

Lizza memakan rengginang itu secara perlahan.

"Tapi ngke tos rengse ngenalkeun perusahaan, Pak Rangga nyuhungkeun prinados amengan meh teu nyalira, soalna Pak Rangga bade aya acara penting kitu."

Enak, ya, menjadi anak dari Tuan Rangga Almaurn? Masih muda sudah dititipkan perusahaan. Lizza tahu jika pabrik teh itu bukan satu-satunya perusahaan dan penghasilan utama tuan Rangga. Lizza tahu jika pria itu memiliki banyak perusahaan bercabang yang penghasilannya tidak kalah besar.

Dengar-dengar juga, anak Tuan Rangga itu bersekolah di suatu sekolah elit se-Jakarta. Jujur Lizza iri.

"Geus nu cuma mau bilang itu aja Ni? Yauda atuh Lizza pamit dulu ya, mau main dulu."

"Aih kamu teh main mulu. Yaudah sok atuh hati-hati."

"Iyaa Nii ...." Lizza menutup toples itu dengan erat. Kemudian ia pergi keluar dari rumah bambu tersebut.

Rumah kecil yang dikelilingi banyak kebun. Di sebelah kiri ada kebun semangka dengan satu bangku putih, di depan ada kandang ayam, dan di sebelah kanan ada kebun sayur-mayur. Jalan sedikit melewati kandang ayam, ada sawah dan juga gubuk-gubuk. Kemudian di seberang sana ada rumah warga yang bentukannya berbeda dengan rumah yang Lizza dan nini tempati. Rumah-rumah itu terbuat dari bata. Ada yang dicat, ada yang tidak. Yang pasti semuanya tidak berpagar.

Lizza menendang batu di sekitar. Ia kesal. Kesal mendengar kisah orang lain. Mengapa semua manusia diciptakan sempurna? Hanya ia yang kekurangan.

Yatim piatu, miskin, bodoh, bahkan sekadar bermimpi saja mustahil. Semua terlihat sangat jelas. Tidak perlu banyak pengakuan. Rumah gubuk dengan baju lusuh sudah menjelaskan segalanya. Sekadar mengeluarkan uang untuk pergi ke tukang potong rambut saja tidak bisa!

Gadis itu berjalan lurus di sebuah jalan setapak yang dikelilingi sawah. Tangan kananya ia julurkan untuk memegang padi-padi. Rasanya untuk menangis pun percuma. Tidak akan mengubah apapun. Berharap ada keajaiban pun terdengar konyol. Jangan suruh Lizza untuk bekerja keras, karena selama 15 tahun hidup pun ia sudah menjalaninya dengan keras.

Tenonet tenonet tenonet

"Tahu .., bulat. Digoreng, dadakan. Lima .., ratusan."

Tentang BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang