Lelaki misterius itu, aku tak tau dia siapa. Aku selalu melihatnya duduk di balkon rumahnya. Rumah kami berseberangan, hanya dibatasi oleh jalan. Aku baru saja pindah tiga hari lalu. Sejak awal kepindahanku, dia selalu memandangiku di seberang sana. Dia dan tatapannya itu ... aku tak tau bagaimana mendeskripsikannya. Namun yang pasti aku selalu merasa terintimidasi. Jujur aku takut. Aku takut dia orang jahat. Aku jadi berpikir yang tidak-tidak tentangnya, padahal kami tak saling kenal.
Di hari pertama, aku tersenyum padanya. Ia membalasnya dengan anggukan tanpa ekspresi. Namun sebelum itu, aku sempat melihat wajah bingung sekaligus kagetnya sesaat. Mungkin dia heran melihatku yang tiba-tiba tersenyum padanya.
Di hari ke dua, aku melakukan hal yang sama. Responnya berbeda. Ia menggeleng tanpa ekspresi. Aku tak tau apa maksudnya. Apa mungkin ia melarangku melakukannya? Padahal aku hanya senyum. Harusnya tak ada yang salah, bukan?
Aku penasaran dengan reaksi selanjutnya. Di hari ketiga, aku kembali melakukannya lagi. Hanya saja, aku menambahkannya dengan lambaian tangan. Aku bersikap seolah kami sudah akrab satu sama lain. Padahal berkenalan saja tidak.
Reaksinya di luar dugaan. Ia tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala tiga kali. Kenapa reaksinya berbeda-beda setiap hari? Aku masih tak mengerti. Kira-kira besok responnya akan seperti apa, ya? Sepertinya aku akan mencobanya lagi. Ternyata seru juga.
Sebenarnya aku ingin berkenalan dengan tetangga baruku itu, tapi rasanya malu. Kami hanya bertemu di malam hari karena siangnya, aku selalu bekerja hingga sore menjelang maghrib. Kalau hanya bertatapan sambil tersenyum saja rasanya tak cukup. Tanpa ada yang bicara, tanpa ada yang memulainya.
Aku terlalu malu untuk mengeluarkan suara terlebih dahulu. Dia juga selalu diam tak pernah mencoba mengajakku ngobrol. Mungkin lelaki itu orangnya pendiam. Sepertinya aku yang harus memulai semuanya agar kami bisa berteman. Ya! Aku putuskan akan memulai semuanya hari ini.
Sepulang kerja, aku dikejutkan dengan kehadirannya di depan rumah. Bukan rumahku, melainkan rumah lelaki itu. Bukannya apa, hanya biasanya dia tak pernah keluar sejak aku resmi menjadi warga di sini. Ia juga hanya terlihat di balkon pada malam hari saja.
Lelaki itu menyambutku dengan senyum hangatnya sambil melambai. Astaga, ternyata dia memiliki lesung yang menawan di pipi kirinya. Aku mendekatinya dengan kaku sembari tersenyum malu-malu. Oh Tuhan, ada apa dengan jantungku? Dentumannya begitu keras. Semoga dia tak mendengarnya.
Aku berdiri di hadapannya. Aku tak menyangka rupanya ia setinggi itu. Tinggiku hanya sebatas dadanya saja. Aku mendongkakkan kepala. Lihatlah wajahnya itu. Pertama kali aku melihat wajahnya sedekat ini. Bulu matanya lentik, kulitnya yang seputih susu, warna matanya kebiruan, dan bibirnya berwarna pink alami berukuran sedang. Sungguh pahatan yang sempurna. Sepertinya dia keturunan Eropa.
"Hai."
Deg
Inilah juga kali pertama aku mendengar suaranya. Suaranya berat dan agak serak. Aku mencoba bersikap sesantai mungkin.
"H-hai." Kenapa aku jadi gugup begini? Ayolah, Nay, santai.
"Kamu baru pulang?"
"I-iya." Ya ampun, suaraku.
"Capek?"
Aish, kenapa dia menanyakan itu? Aku merasa seakan-akan ia perhatian padaku. Tak boleh geer, tak boleh baper. Dia hanya sekedar basa-basi, Nay. Aku hanya mengangguk pelan tanpa melihatnya.
Hening sesaat. Ayo katakan sesuatu, Nay!
"Mau mampir ke rumahku?" Otakku blank seketika.
"Ha?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sssttt!!!
TerrorSssttt!!! Jangan berisik Saat kamu membuka mata, di situlah kamu sadar ternyata ia bukan manusia.