05

32 1 0
                                    

*Jangan lupa di-vote, ya!*
——————————————

Alfarellza Galaksi keluar dari gedung melalui pintu belakang. Dia mengendus beberapa orang telah melewati area ini dari penampakan rumput-rumput liar yang terinjak. Kakinya membawa tubuhnya melompati tembok, menemukan jalan sempit yang menuntunnya ke sebuah celah tanaman Boxwood.

Labirin setinggi 3 meter, pria 33 tahun tersebut butuh waktu tidak sebentar untuk berhasil keluar. Namun di depan liang, insting kuat mendorongnya masuk kembali. Disusurinya lagi tiap-tiap jalur membingungkan itu, dijelajahi tanpa ada ruang yang terlewat. Hingga pada salah satu sudut, ia menemukan buntalan jas hujan sekali pakai yang berlumuran darah.

Dia membuang nafas. Sebuah benda kecil berwarna emas diraihnya dari saku jaket. Diapit dengan kedua jari, dia tatap sekali lagi pin berlambang Orion Crown tersebut, mahkota berujung anak panah.

 Diapit dengan kedua jari, dia tatap sekali lagi pin berlambang Orion Crown tersebut, mahkota berujung anak panah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lalu ponselnya berdering, muncul sebuah pesan dari seseorang bernama Farel :

:: Bang, handphone Sabrina sempat aktif 7 menit di jam 8.51. Posisinya di Gedung Olahraga UBTI. ::

***

"Beb, videonya udah dihapus?" suasana hati Friska tentu belum membaik, suara temannya yang bahkan hanya sekeras 30 db sudah cukup membuatnya jengah. Seleb Dailyvibe itu berdiri tepat di belakang kursinya, mencodongkan tubuh atas ke depan supaya bisa berkontak mata. Friska bahkan bisa mencium aroma keringat dari bagian bajunya yang basah.

"Lo nggak bisa baca situasi, apa?" balasnya, sengaja dibuat kasar, dia ingin Sonya mengerti situasi.

Namun perempuan itu terus mendesak, "Udah berbulan-bulan loh, gua mohon-mohon sama lo... Ngelak mulu, ngelak mulu."

"Dibilangin, gua lupa, Sonya..." dia bergegas menyambungkan earphone ke ponsel lipatnya, "Video lo ada di laptop, lo mau gua gimana? Pulang?" setelah menyumpal telinga, dia bergeser ke dekat jendela, menutup tirai untuk menghalau sinar matahari pukul 10 yang semakin hari semakin menyengat meski semalam baru hujan lebat, kemudian ia membenamkan tubuh ke kursi, memancarkan signal bahwa tidak ingin lagi diganggu. Dia pun bisa merasakan gerakan tubuh menjauh dari getaran pada punggung kursi, Sonya akhirnya menyerah.

Adam Xavier, kejadian hari ini dan segala kekacauan pikirannya adalah berkat pria itu. Cinta pertama yang belum tuntas. 9 tahun, Friska membuang waktu selama itu hanya demi seorang pria yang tidak pernah tertarik kepadanya. Hal yang mustahil terjadi pada kebanyakan manusia. Satu sampai lima bulan, adalah waktu rata-rata seseorang untuk bisa berpindah hati, berpaling dari penolakan ataupun putus hubungan. Satu tahun, jika perasaannya terlanjur dalam.

Tapi 9 tahun?

Manusia berubah setiap satu detik pengalaman hidupnya. Pengetahuan, sosial, sampai masalah, berpengaruh besar dalam merombak jati diri dan pola pikir. Adam 9 tahun yang lalu sudah tidak ada lagi, begitu pun dengan Friska. Lantas, bagaimana bisa Friska memeluk perasaan itu sebegitu lamanya? Bagaimana bisa, dia yakin, bukan sosok Adam-dari-9-tahun-lalu yang dia cari?

Atau, otaknya sendiri yang telah menipunya? Mungkin saja itu bukan lagi sebuah perasaan cinta, tapi ego untuk memenangkan pertandingan? Manusia sangat mampu bertahan memperjuangkan ego dan arogansi, meski dalam jangka waktu lama. Bisa jadi itu yang terjadi pada Friska. Ia tidak sanggup menerima kekalahan dari Stefani, seseorang yang dia anggap tidak lebih baik dari dirinya. Ia marah akan hal itu. Jiwanya termakan oleh kegelapan egonya sendiri.

***

Tubuh Sonya merosot ke kursi, bahunya melemas, matanya bergerak-gerak tak menentu. Rasanya air mata ingin memberontak keluar begitu saja.

"Video apa?" Mahesha duduk di sebelah Sonya setelah menyimpan tas gunung ke bagasi bus.

"Tumben mau tau..." jawab Sonya dengan suara rendah seraya bergerak menopang siku ke pinggiran jendela. Wajahnya merenung memandang keluar, kepada tiap bangunan dan pohon yang tampak melintas secara bergantian.

"Hah? Gimana maksudnya?" ucap Mahesha hati-hati, lalu menggapai lengan kiri Sonya yang menganggur, mengurainya hingga menemukan jemari ramping yang indah. Ia remas lembut, tanpa ragu membawanya ke depan wajah.

Sonya hanya merespon, "Basa-basi..." tampak kesal, namun ia biarkan pria berwajah oblong dengan bibir menyala sehat dan rambut spike itu menggerayangi punggung tangannya, menghirup kesegaran fruty-orange blossom dengan hidung yang bertulang besar.

Kening Mahesha tiba-tiba mengerut, "Hm?" ia endus berulang-ulang tangan Sonya dengan lebih serius, membuat wanita berkulit tan itu akhirnya menoleh dan mengernyitkan mata.

"Cowok tadi..." lanjut Mahesha, "Aku kok ngerasa nyium wangi ini, ya, di—"

"—Apa, sih?" Sonya segera merebut tangannya kembali.

Mahesha memandang wajah Sonya, "Kamu..."mengambil jeda sebentar sambil menelan ludah sebelum mengatakan, "Dia yang waktu itu, kan?"

"Kamu nuduh aku selingkuh?" sambar Sonya, kekesalan mencuat lewat sorot matanya yang dingin.

"Jadi kamu selingkuh?"

Sonya membuang wajah, memberi waktu 5 detik untuk dirinya mempertimbangkan pengakuan, "Kalo iya, kenapa?"

"Wahh..." Mahesha tidak bisa berkata-kata. Hubungan mereka masih muda, baru berjalan 5 bulan, tapi kekasihnya sudah berkelana ke pria lain.

"Wajar, nggak? Rasanya pacaran sama kamu itu kayak pura-pura..." Sonya meneruskan, tidak ada getaran sedikit pun pada cahaya matanya, tidak ada rasa ke-tak-sungkanan dalam ucapannya.

"Berapa lama?"

"Perasaan Darius jauh lebih real daripada kamu..."

"Sejak kapan kamu selingkuh sama si Darius itu?"

"Bahkan kamu selalu ngelak setiap aku sentuh, kan? Kamu bikin aku ngerasa jijik sama diri aku sendiri. Sadar, nggak?"

"Itu kamu permasalahin? Aku berusaha jaga harga diri kamu, memuliakan kamu sebagai wanita yang akan aku nikahin nanti, itu salah?"

Sonya memekik kecil dan merasa geli, "Kamu pikir aku percaya?" ucapnya, "Kamu ngolah tempat karaokean, Mahesh... apa artinya omongan itu?"

"Loh? Tempat karaokean yang aku olah betul-betul cuma untuk karaokean, Sonya..." paparnya, "Itu kenapa nggak serame Blue Diamond, kan?"

"Sok suci..." hantam Sonya. Lirih, namun mempengaruhi emosi Mahesha.

Terbukti dari reaksi pria itu yang langsung menyambar wajah Sonya dengan kedua tangan yang besar, menabrakan diri hingga hampir merenggut bibir Sonya.

"Mahesha!" pekik Sonya sembari mendorong tubuh kuat itu menjauh dengan segenap tenaga.

Namun Mahesha semakin beringas, dia mencengkeram kedua pergelangan tangan Sonya kuat-kuat, sehingga kali ini tidak mungkin membebaskan diri, "Ini yang kamu mau, kan?" amuk Mahesha.

"Nggak gin—" Sonya ingin protes tapi ucapannya tersumpal mulut Mahesha. Pria itu menyedot daging bibirnya begitu kencang seakan hendak merobeknya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, tubuhnya terkunci, suara pun tertahan di tenggorokan.

Beruntunglah ia hidup pada jaman dimana orang-orang peka terhadap kekerasan. Pergulatan itu tentu mengundang rasa ingin ikut campur. Darius yang duduk paling belakang pun sudah bersiap-siap berdiri. Namun escort bertindak lebih sigap sebelum kericuhan terjadi. Pria berkaos polo itu datang ketika tangan Mahesha hampir menyerobot masuk ke pakaian Sonya.

Sayangnya, escort malah menyingkirkan Mahesha ke samping Darius. Keputusan yang ceroboh. Tentu saja kegaduhan yang ingin dihindari, malah terjadi. Darius dengan amarah yang berapi-api menyerang Mahesha terlebih dulu.

Mahesha tidak mungkin tinggal diam. Terjadilah balas membalas hingga pertarungan bukan lagi soal Sonya, tapi berubah demi harga diri masing-masing. Mereka baru berhenti ketika terpelanting ke lantai bus yang keras dengan wajah sama-sama balak belur.

***

A PLACE CALLED "PANDORA"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang