07

16 2 0
                                    

⚠️ Mengandung konten vulgar ‼️
*Jangan lupa di-vote, ya!*
——————————————

4 jam perjalanan, akhirnya bus pertama mematikan mesin. Seorang peserta menyelonong antrian, berlari ke belakang bus mencari semak-semak, tidak tahan ingin muntah.

Athena, sebuah desa di Kota Fortuna, mereka akan mendaki lewat jalur hutan cemara. Orang kota selalu menganggap desa identik dengan keindahan. Padahal kenyataannya desa jauh lebih dekat dengan misteri dan mistis. Banyak yang percaya Gunung Pandora menelan jiwa manusia. Ada pohon purba raksasa di puncak gunung yang memiliki kekuatan ghaib. Tidak heran korban pertama Malaikat Pemburu di lahan terbengkalai sekitar Pandora, baru ditemukan berminggu-minggu kemudian. Masyarakat disini sepakat dengan asumsi perempuan tersebut lenyap ditelan alam. Pandora tidak menyukai pendosa, kata mereka.

Kevin Sanjaya berdiri mengantri turun dari bus, memanggul tas gunung hitam, menenteng plastik sisa makan siang. Untuk urusan makanan, Orion Crown tidak pandai memilih katering.

Pikirannya berkecamuk, dihantui biaya hidup yang menggunung. Dia menanggung ibunya yang terkena alzheimer sejak satu setengah tahun lalu dan adiknya yang masih kuliah semester pertama. Sementara penghasilannya sebagai pegawai baru di bank unit, hanya cukup untuk kebutuhan irit sehari-hari.

Dulu dia memiliki tiga toko besar yang menguasai pasar Bambusa, dari jualan produk fashion, kosmetik, dan perlengkapan camping. Dengan pemasukan sebanyak itu, dia tidak butuh mencari pekerjaan lain. Kini, ketiganya bangkrut ditelan jaman. Berkat kemajuan teknologi, konsumen bisa membeli barang secara langsung dari para produsen yang membanting harga—yang konon juga berjuang keras dari gempuran produk import murah. Tinggal toko kelontong milik ibunya di rumah yang masih bisa dipertahankan. Meski hasilnya tidak seberapa, tapi tidak ada biaya pengeluaran operasional yang membebaninya.

Namun kehadiran seseorang mampu mengobatinya barang sejenak, perempuan berkerudung pashmina di depan pintu. Erika, bagi Kevin tawa kecilnya bagai panorama sejuk air terjun pegunungan asri, yang jatuh tertarik gravitasi di tengah hari yang terik, dimana butirannya mengambang di udara berkolaborasi dengan cahaya matahari menghasilkan dispersi warna-warni, melengkung 120° di atas gemericik air sungai yang menepuk-nepuk bebatuan.

Senyumnya seketika meredup kala sebuah tangan besar muncul dari luar pintu, menggapai jemari ramping mantan kekasihnya itu dengan lembut. Dari jendela, Kevin bisa melihat Erika menggandeng telunjuk pria penggantinya dengan gestur menggemaskan. Dia tahu mereka tidak akan bersentuhan lebih dari itu, namun dia tetap iri.

"Fikri sialan," umpat Kevin teredam begitu geram. Kalau tidak terhalang masalah perbedaan agama, dia dan Erika pasti masih menyulam kisah berdua hingga sekarang. Dia masih mencintai Erika, sungguh masih mencintai Erika.

Kevin kemudian mengalihkan perhatian, kepada ponsel yang sejak tadi diabaikan. Meski Sonya menderingkan ponsel itu berkali-kali, dia baru berminat membaca pesannya sekarang.

:: Friska belum hapus video-nya, Vin. Gua nyerah. Nggak mau tau lo harus beresin ini. Gimana pun caranya... ::

Di saat yang sama sebelah telinganya berkedut, penyerobot antrian tiba-tiba menjerit histeris di luar. Panitia perjalanan di luar bus berlarian mendatanginya, orang itu tantrum meminta pulang seperti kesurupan.

"Saya mau pulang! Malaikat Pemburu ada disini! Tolong... dia nyari saya... tolong!"

***

⚠️ Mengandung konten vulgar ‼️

Adam Xavier, bisa dibilang, adalah 'Sonya' di kalangan mahasiswi UBTI pada masanya. Tinggi, berwajah campuran jawa-belanda, keturunan dari kakek buyutnya. Tampan tapi anti membuat video 'cowok ganteng' di media sosial, konsep misterius merupakan kunci mencapai definisi ketampanan hakiki bagi para pengagumnya.

Namun, semua hanya masa lalu. Si Flower Boy kehilangan ketampanannya. Dulu dia mencapai level paling memukau kala berdiri di podium mewakili seluruh peserta wisuda. Lulus dengan cumlaude, dia tidak hanya cerdas secara akademisi tapi juga di bidang bisnis. Finansialnya melejit di usia yang terbilang sangat muda, dia membangun franchise kopi yang menjadi trendsetter kala itu, tersebar di beberapa kota se-provinsi Lampung, cukup untuk mengangkat strata sosialnya. Kini, dia hanya salah satu dari dua Hiking Guardian yang akan mengawal 20 peserta bus pertama Trip Pandora. Profesinya sungguh di luar ekspektasi.

"Ssshhh, bee, dengerin... Kita ada di gunung, nggak ada yang mau capek-capek kesini..." Adam berusaha menenangkan Stefani, wanita itu mengalami histeria, "Lagian, liat... banyak orang. Nggak ada yang akan deketin kamu, oke? Aku janji semuanya bakal baik-baik aja..." Lalu ia dekap tubuh Stefani, hingga berhenti meronta dan bisa menumpahkan tangisan dengan leluasa.

Setelah dirasa cukup, ia angkat dagu Stefani dengan lembut, "Aku bakal terus mantau kamu..." ucapnya lirih. Wanita ini adalah calon tunangannya, satu-satunya manusia berharga miliknya, maka muncul perasaan teramat sakit ketika menemukan luka baru di wajah kesayangannya itu. Pasti lagi-lagi ulah Friska, parasit yang paling sulit disingkirkan dalam kehidupannya.

Dengan bibirnya yang merah ranum, jauh dari tembakau dan nikotin, ia kecup kening Stefani. Kemudian matanya yang cokelat muda hanyut ke dalam sinar mata kosong yang sunyi, perlahan mendekat, menggapai lesung bibir yang lunak.

Dia dapat merasakan Stefani menyambut, menyesuaikan gerakan, menyesap lembut hingga saling menggigit kecil. Dia yakin suara kecupan mereka membuat orang-orang merasa risih dan menjauh.

Hanya tinggal mereka berdua, bergeser ke area lebih tertutup, saling merengkuh kenyamanan hingga menit-menit berlalu, hingga lumatan berubah menjadi berebut lidah, hingga mulut Adam berpindah acak dari bibir ke pipi lalu menjilati leher Stefani. Dia berharap perlakuannya bisa membuat wanita ini melupakan pikiran negatifnya.

"Hhhh... hhh..."

Kala tangannya baru saja merayap, meremas sebongkah daging menggemaskan dibalik bra ringkih sambil merasakan puting mengeras di sela jemarinya, walkie talkie di saku jaket bergemerisik. Padahal dia juga baru berhasil mengguncang aliran darah wanita ini hingga menyembur nafas panas ke lehernya.

"Adam, cek... Adam... Bisa lanjut di camp ground aja nggak? Udah lebih dari sepuluh menit, yang bener aja lu bro?"

Kewarasan Adam dan Stefani kembali, saling mengerjap mata, lalu di detik ketiga mereka terbahak menertawai kondisi mereka yang gila. Di ruang terbuka, hanya tertutup pepohonan dan bus, mereka bermain di luar kendali. Melupakan tim escort yang beristirahat di seberang bus, orang-orang itu pasti bisa mendengar desahan Stefani.

"Udah kubilang, semuanya bakal baik-baik aja..." goda Adam melepas payudara dari genggamannya. Jika saja tidak ada distraksi, dia pasti sudah mempermalukan harkat martabat wanitanya. Sungguh, ini bukan tempat yang tepat untuk bersenggama.

Stefani tersipu, "Apa kita langsung nikah aja? Nggak usah tunangan..." bibir pria 31 tahun itu masih menggoda untuk terus dia cicipi.

"On your word, my queen..." Adam membantu Stefani merapihkan pakaian, "Lain kali kalo kegiatan outdoor, pake sport bra aja..."

"Bukannya lebih mudah nyampirin bra yang begini?"

"Huffttt..." wajah Adam semerah semangka, birahi naik ke permukaan lagi.

"Adam!" ketidaksabaran Galih kali ini sungguh menyelamatkannya.

"Ah iya! Sorry, bro... kita udah mau jalan ini..." balas Adam akhirnya merespon walkie talkie. Satu tangannya merogoh saku, mengambil sesuatu dari sana, sebuah benda berbentuk kunci dengan logo Orion Crown.

"Kamu nggak boleh pulang. Kita harus menang..." ujarnya, memberikan benda itu kepada Stefani.

"Apa ini?"

"Akses gerbang dan peti. Anak orang kaya itu suka game. Bakal ada permainan di Camp Ground untuk dapetin kunci ini. Dan itu cuma 50... 10 orang bakal dieliminasi."

"Adam!!"

"Udah jalan, bro!"

Adam menutup pertemuan dengan kecupan singkat, "Setelah trip ini, kita nikah. Terus aku bakal bangun usaha lagi untuk kehidupan kita..."

"Kita harus menang..." Stefani mengulang kalimat Adam.

***

A PLACE CALLED "PANDORA"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang