11

12 1 0
                                    

*Jangan lupa di-vote, ya!*
——————————————

Di sungai mata air yang suram, berkabut, dan dingin, tubuh Jefri terlentang di dalamnya. Di antara bebatuan yang memecah tulang parietal sampai ke tulang oksipitalnya.

Darah hangat mengalir bersama aliran air, sisa kesadarannya merasakan betapa menyakitkan detik-detik kematian itu.

Di tepi sungai, sebuah tangan meletakkan batu terakhir, susunan batu-batu kecil yang membentuk silang. Sebelum pergi, sosok itu memastikan Jefri tidak dapat menyelamatkan dirinya lagi.

Sementara di seberang sungai, beberapa pasang mata mengilat, mengintai dalam gelap. Nafasnya mengeram bengis. Para penghuni buas mencium mayat segar manusia.

***

Baru membuka mata, Alexa sudah dikagetkan oleh perempuan berwajah pucat yang menghadap ke arahnya. Jantung seperti dipukuli, Kiara melototinya dengan tatapan kosong.

Belum selesai dengan kejutan di tempat tidur sebelah, Alexa menemukan hal lain lagi yang lebih mengancam. Sebuah tangan tergeletak di depan wajahnya!

Seketika ia tersadar, ada lengan besar yang melilit tubuhnya dari belakang. Erat dan berat. Di punggungnya pun sebuntalan otot-otot keras menekan. Lalu pada satu titik di bagian tengkuk, dia merasakan udara hangat menghembus setiap 10 detik sekali.

"Hahh!!" Alexa melompat dari tempat tidur. Gelombang kejut menyebar ke segala penjuru saraf, mengakibatkan nafasnya tersedak-sedak.

Di hadapannya, seorang pria bertelanjang dada terbangun dengan wajah bingung, "Apa sih?" suaranya sengau, dia berbicara sambil menggosok-gosok mata, "Saya meluk kamu?" lalu berguling menelentangkan tubuh dan bersiap untuk tidur lagi.

"Wahh..." otak Alexa memberi perintah membentak, namun aliran darah terasa berlarian di sekujur tubuhnya, entah kenapa, "Bukannya... kamu harus minta maaf?" ucapan yang keluar jadi terbata-bata.

"Ahh... maaf, kebiasaan tidur pake guling," Baron merespon santai, "Tapi tenang aja, kamu bukan tipe saya, kok..." lanjutnya.

Kening Alexa mengerut, "Terus... saya harus bilang terimakasih?" sementara di belakang, Kiara sudah berdiri. Perempuan itu tiba-tiba melintas, dan menyenggol tubuhnya hingga terjerembab ke depan.

Alexa sangat yakin, meski Baron berhasil menangkapnya, namun pendaratan tulang siku ke tulang rusuk jelas mengakibatkan rasa ngilu yang lumayan.

"Ough!" pekik Baron.

"Terimakasih..." akhirnya Alexa bisa melepaskan kata itu.

Belum sempat membalas, sudut mata Baron mendeteksi keganjilan, "Mau ngapain, dia?" dilihatnya Kiara menyambar sebuah gunting dari keranjang alat tulis di atas lemari meja dengan gelagat yang aneh. Dia pun buru-buru menyingkirkan tubuh Alexa ke samping, bergegas terjun dari tempat tidur.

Baron memang tipikal orang yang enggan peduli dengan urusan orang lain, tapi kalau soal nyawa, dia merasa harus ikut campur.

Kini, Kiara sudah berdiri di depan Nolan yang terlelap. Perempuan itu hampir menancapkan ujung gunting ke dada Nolan, beruntung Baron bertindak cekatan. Diraihnya pundak Kiara lalu diperlintir pergelangan tangannya hingga benda tajam itu terjatuh. Pada gerakan terakhir, Baron menampar wajah Kiara satu kali, berharap nalar perempuan itu kembali.

Nolan pun terbangun tanpa tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Dia hanya melihat sosok yang dicintainya diperlakukan kasar. Dia tentu sangat marah. Lantas, dengan segenap tenaga, dia kembalikan pukulan Baron berkali lipat lebih kencang.

"Dia mau bunuh kamu, Nolan..." teguran Alexa membuatnya menahan pukulan kedua. Perempuan berpakaian kaos pria itu menyender lemari meja, memantau sambil menyilang lengan di bawah dada.

A PLACE CALLED "PANDORA"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang