2. ARE WE

314 28 3
                                    

Pagi hari di akhir pekan yang cerah, Jaemin berdiri di pekarangan rumahnya untuk menggantikan tugas dari sang ibu, menyiram tanaman. Dia sesekali berdendang di sela kegiatannya tersebut, bernyanyi bahagia sambil berjoget dengan senang. Karena sesungguhnya, bernyanyi tanpa berjoget itu bagai sayur tanpa garam. Kurang sedap dan kurang enak.

Di tengah kegiatannya tersebut, dari edaran matanya yang amat tajam, dia secara tidak sengaja melihat tetangga sebelahnya juga sedang sibuk di pekarangan.

Pekarangan mereka amat sangat dekat, tidak dibatasi oleh pagar semen yang berarti, hanya pagar besi tipis sederhana sehingga mereka dapat melihat aktivitas satu sama lain melalui pekarangan masing-masing.

Jaemin melambai santai saat tatapan matanya bertemu dengan sang tetangga. Kali ini Jaemin sudah tidak merasa malu atau sungkan lagi untuk sekedar tegur sapa dengan pria itu. Alasannya, karena saat ini dia sudah bisa mengakrabkan diri dengan pria itu.

Ternyata Jeno itu bukan tipikal orang yang terlalu pedulian dengan orang lain. Maksudnya, dia tidak pernah ambil pusing dengan orang lain selagi tingkah orang tersebut tidak menganggu hidupnya. Pria itu sangat baik, terbuka dengan lingkungan dan sangat ramah. Benar-benar tipikal orang yang sangat cocok jika ia jadikan sebagai teman, mengingat warga komplek sini kebanyakan adalah para orangtua yang tinggal sendiri karena anak-anak mereka telah menikah dan punya rumah sendiri. Sehingga, sejujurnya satu-satunya anak muda yang masih bertahan di komplek ini hanyalah dirinya. Bayangkan. Betapa sangat kesepiannya ia selama berada di sini.

"Kau menggantikan tugas ibumu?" Jeno bertanya singkat, tangannya masih sibuk menata pot bunga di rak tanaman miliknya.

Jaemin mengangguk, "Ya begitulah. Mamaku sedang ada acara dengan teman-teman arisannya. Katanya mau jogging begitu. Kau sendiri? Sedang menata pekarangan? Jisung mana, belum bangun, ya?" Ia celingukkan, mencari keberadaan Jisung yang barangkali terselip di antara pot-pot bunga milik Jeno itu. Yang ini terdengar konyol sekali.

"Dia masih tidur. Semalam dia demam, tidak bisa tidur, dan baru fajar tadi demamnya agak turun." Jeno menjawab dengan sedikit sedih, semalam ia kewalahan mengurus Jisung yang jika sedang demam sangat rewel ladenannya. Terus meringik, menangis, dan meraungkan segala hal. Biasa, anak kecil memang seperti itu, terlebih Jisung masih di penghujung usia tiga tahunnya, masih sangat anak-anak.

"Jadi semalaman dia tidak bisa tidur, dong?" Jaemin ikut merasa sedih, karena asal kalian tahu saja, Jisung itu sekarang sudah jadi teman bermainnya-saking miskinnya ia teman main di komplek ini. Dan tahu permainan apa yang biasa mereka mainkan setiap hari? Jaemin bagai orang gila jika mengingatnya, mereka main dokter-dokteran dengan dia yang menjadi pasien dari bocah itu. Gila kan dia? Lama-lama dia bisa kena sakit mental (pikirannya kembali ke usia tiga tahun) jika keseringan main begituan dengan anak kecil.

"Ya, begitulah. Tapi sekarang aku sudah merasa lega, sebab dia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak juga. Melihatnya terus merengek dan menangis membuatku, kau tahu, sedih sekali."

Jaemin mengangguk-anggukkan kepalanya dengan takzim saat mendengar kalimat itu. Dia meletakkan selangnya ke tanah, acara siram-siram tanamannya sudah kelar. Sekarang dia berjalan pelan ke arah pagar, berdiri di sana sambil memerhatikan Jeno yang nampak sibuk menyirami bunga-bunga yang baru ditanamnya.

"Kau akan membawanya ke rumah sakit?" Jaemin bertanya singkat, matanya terus fokus pada aktivitas yang sedang dilakoni oleh Jeno, barangkali dia bisa belajar cara menanam tanaman yang baik dan benar dari pria itu.

Jeno mengangguk pelan, "Jika demamnya naik lagi dan keadaannya masih belum baik aku akan membawanya ke rumah sakit. Sudah selesai dengan tugasmu?" Jeno bertanya saat melihat Jaemin sudah santai-santai berdiri di depan pagar.

INVALID {NOMIN}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang