Ada kalanya Jaemin senang sekali membagi kisahnya pada orang hingga ia merasakan mulutnya sendiri berbusa, dan napasnya agak kembang-kempis karena terlalu menggebu dalam melontar cerita. Tapi tidak jarang juga Jaemin akan menjelma menjadi seorang pendengar, penasihat, sekaligus pendamping setia jika memang ada yang membutuhkan kehadiran dirinya untuk dijadikan sebagai teman curhat.
Ia menuangkan anggur ke dalam gelas, untuk dua orang. Aromanya menyeruak, menghambur dengan pekat untuk kemudian menari-nari menggoda indera penciuman mereka.
"Kau tidak perlu merasa seperti itu, terkadang kehendak yang terlalu dipaksakan sudah jelas akan membawa rasa sesak jika itu tak dapat diwujudkan." Jaemin menarikan leher gelasnya, membuat aroma anggornya semakin tercium semerbak, ia dekatkan ke hidung dan itu ia cium dengan dalam-dalam.
Cita rasa dari anggur mahal memang berbeda.
"Jaemin." Jeno memanggilnya.
Jaemin menoleh, memberi senyum dan gestur bahwa dia siap untuk mendengar seluruh lanjutan ceritan dari Jeno. Berkisah mengenai rasa kecewa pada diri sendiri yang merasa telah gagal menjadi orangtua, sekaligus merasa bersedih karena tak bisa menjaminkan hal membahagiakan yang selama ini diinginkan oleh sang anak.
"Iya? Bagaimana?" Jaemin memberi senyum, ini sudah menjadi ciri khasnya, usahakan apapun yang terjadi untuk selalu tersenyum.
Jeno terdiam cukup lama sebelum kemudian menoleh pada Jaemin. Tidak seperti yang telah berlalu, katika mereka sering saling bertemu mata lalu berpaling, kali ini Jeno memutuskan untuk mengunci mata tersebut. Menahannya begitu lama sambil ia mulai menyiapkan kata untuk berucap.
"Terima kasih." Ucap Jeno. Gelas wine yang ia letakkan di atas meja, kemudian senyum tipis yang ia kembangkan.
Jaemin tidak memahami dengan bagaimana situasi ini akan berjalan. Ia berkedip, satu kali untuk berharap bahwa Jeno tidak sungguh sedang menatapnya. Kemudian dua kali, berharap jika kali ini kenyataan itu bisa segera usai dan Jeno pun lekas berhenti mengunci tatapannya. Dan pada kedipan ketiga, ia merapal doa agar jantungnya tidak berisik heboh karena segalanya terasa terlalu berat baginya. Ia tidak kuasa pada tatapan yang diberikan, lantas juga merasa tidak tenang saat Jeno terlihat tidak memiliki niatan memalingkan wajah.
Meletup pelan, hanya getaran halus yang kian lama kian terasa membuncah. Jaemin menjadi salah tingkah. Dia ingin merunduk tapi Jeno masih betah dengan apa yang dilakukan.
"Untuk?" Jaemin memberi sentakan dengan kalimatnya, berharap dengan ini Jeno akan lekas mengatakan apa yang ingin diutarakan, lalu selesai dan sesi tatap mata ini juga bisa segera diakhiri.
Jaemin benar-benar sudah tidak tahan asal kalian tahu saja.
"Karena sudah menjadi temannya Jisung. Ya, seperti itu. Dia sering menceritakanmu, itu membuat hatiku terasa hangat ketika mendengarnya. Bibirnya berceloteh bersamaan dengan kilau indah yang terpancar dari binar matanya, itu terasa sangat hidup, membuat aku seakan bisa ikut merasakan bahagia yang sedang meliputinya." Jeno mengakhirinya dengan sebuah senyuman hangat, sebagaimana hatinya kini tengah diliputi perasaan hangat sebab teringatkan kembali dengan bagaimana cerianya sang putra tunggal bila sedang berseloroh soal Jaemin.
Jaemin keluar napas lega secara tidak sadar, ternyata hanya ingin berterima kasih. Sialan, dia sudah gugup setengah mati karena Jeno terus memandanginya.
"Hahaha, santai saja. Tidak perlu dipikirkan." Jaemin melambaikan tangannya pelan, ia segera mengalihkan mata karena takut jika situasi akan berakhir menjadi canggung.
"Jaemin."
Jaemin sedikit tersentak ketika namanya kembali dipanggil -sedikit aneh, Jaemin rasa Jeno masih ingin saling beradu tatap dengannya. Ia berusaha untuk tetap tenang dan secara perlahan mulai mengalihkan pandangannya kembali kepada sosok tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVALID {NOMIN}
Fanfiction"Jaemin itu lucu, akan tetapi terkadang perilakunya memang cukup konyol." -nomin -18+ -single parent jeno (35) -fresh graduate/jobless jaemin (24) -baby Jisung