8. YES WE ARE

418 22 5
                                    

"Jeno, aku gugup sekali." Jaemin tak melepaskan tangan Jeno sama sekali. Matanya berpendar kosong menatap ujung sepatunya sendiri.

Ketika waktu berjalan dan beberapa bulan berlalu, akhirnya ujian yang sesungguhnya akan dia hadapi. Jaemin sangat takut, cemas, pokoknya tidak ada ketenangan sama sekali di benaknya.

Jeno mengerti perasaannya. Ia tarik tubuh bergetar itu ke dalam dekapan.

"Apa yang kau takutkan? Seperti katamu, pesaingnya semakin sedikit sehingga kau tidak perlu khawatir akan terdepak. Aku yakin kau pasti akan lolos." Jeno menangkup kedua pipinya, memberi usapan lembut untuk meyakinkan jika ujian kali ini akan berjalan dengan baik.

Jaemin menganggukan kepala, walau dadanya keluar dentuman hebat, bertalu-talu, tapi setelah mendengar Jeno bersuara demikian, sedikitnya dia mulai merasa tenang. Penyemangat terbaik, bersyukur dia hari ini mengiyakan pria itu untuk mengantarnya.

"Baiklah, semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa!" Jaemin mengepalkan tangan kuat-kuat.

Keduanya berpisah begitu Haechan, teman Jaemin datang dan mengajaknya untuk mulai masuk ke gedung ujian. Mereka saling melambai pelan sebelum bayangan satu sama lain mulai pudar dari pandangan masing-masing.

Asal Jaemin tahu, di sini yang gugup bukanlah anak itu saja. Jeno pun ikut merasakan euforia itu. Segala keresahan yang dibawa oleh Jaemin, ia serasa seperti ikut memikulnya. Seandainya ia diizinkan masuk, maka tak butuh banyak tanya akan ia kerjakan semua soal yang harus dihadapi oleh Jaemin agar sang kekasih tidak merasa risau lagi.

Tapi tentu saja hal itu merupakan kemustahilan yang tidak dapat diwujudkan.

Jeno akan meninggalkan tempat terlebih dahulu, sebelum nanti dua jam ke depan ia akan kembali untuk menjemputnya. Bisa saja ia bertahan, namun karena hari ini dia harus menemani Jisung di rumah sakit, maka tentu saja dia harus menjadi bijak serta pandai membagi waktu.

Jisung hanya mengalami demam, bukan hal yang serius dan hari ini pun keadaannya sudah lebih baik, mungkin lusa sudah bisa pulang.

***

Sepanjang hidupnya, Jaemin nyaris selalu bersungguh-sungguh jika itu adalah mengenai impian yang telah ia ciptakan. Hidup itu memuakkan, dahulu pikirnya begitu. Namun begitu berdamai dengan keadaan, dan mencari tahu mengapa ia lebih sering bertemu dengan kegagalan dibandingkan dengan apapun, ia sadar jika usahanya selama ini belumlah semaksimal yang telah ia pikirkan.

Ada yang lebih gila, ada yang mati-matian, bahkan ada juga yang nyaris memangkas habis jam tidur mereka hanya supaya bisa meraih impian yang selama ini telah dicitakan.

"Sudah, jangan dipikirkan. Semoga kita lolos."

Jaemin menoleh ketika bahunya merasakan sebuah tangan yang melingkar. Ia menyetujui ucapan sang kawan, anggukan tipis adalah sebuah respon yang ia berikan sebelum sekali lagi malah kembali hanyut dalam lamunan.

"Ayolah, Jaemin. Jangan memikirkannya seakan ini adalah akhir dari hidupmu. Jika ini gagal, kita bisa mencari peruntungan lain, maksudku pekerjaan lain." Haechan menghibur Jaemin, padahal sebenarnya di sini kondisinya pun tidak jauh beda dengan Jaemin. Ia pun sama mencemaskan hasil ujiannya kelak, lolos atau tidak serasa itu jadi penentuan telak hidup matinya.

"Kau benar juga!" Jaemin bertepuk tangan pelan.

"Kita bahkan sudah berusaha sekeras itu, lalu kenapa harus merasa sedih dan terlihat sangat putus asa begini! Ck, buang-buang waktu. Ayo, sekarang kita pergi cari makanan manis, kita harus kembali bersemangat Haechan!"

Mereka mampir sejenak di sebuah toko bakery yang tidak terlalu ramai, karena terlihat baru saja buka sehingga belum ada antrean sama sekali. Peruntungan baik, seakan telah memberi restu secara sepenuhnya kepada merea untuk singgah, dan bahwa keputusan untuk datang ke sini bukanlah keputusan yang salah.

INVALID {NOMIN}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang