5

992 50 4
                                    

Apa gunanya hidup bersama kalau tak saling cinta?

Mobil yang ditumpangi Grace berbelok ke sebuah rumah dengan pagar tinggi berwarna hitam. Dia melihat rumah berlantai dua dengan empat pilar tinggi yang kokoh. Di bagian tengah terdapat pintu kayu berwarna cokelat yang sekarang terbuka lebar, seolah menyambutnya. Pandangan Grace lalu tertuju ke halaman luas yang ditumbuhi rumput hijau dan beberapa pohon palem di pinggirnya.

Secara keseluruhan, rumah itu sebenarnya mewah. Tetapi, Grace justru bergidik melihatnya. Dia yakin, rumah itu tidak lebih dari sebuah penjara.

"Ayo, Sayang."

Grace menoleh mendapati panggilan sayang yang diucapkan Ale. "Jangan bertingkah sok peduli," geramnya lalu melipat kedua tangan di depan dada.

Ale turun dari mobil dan melihat Grace yang tidak mau turun. Dia menutup pintu dan memutari mobil. Lantas membuka pintu di samping Grace dan memberi kode lewat mata.

"Gue mau pulang."

"Iya ini pulang, Sayang."

"Stop!" Grace menunjuk Ale dengan wajah memerah. "Gue mau pulang ke rumah gue sendiri. Bukan rumah lo."

"Sekarang kamu istriku."

"Enggak!"

Ale menghela napas panjang. "Gue capek, jangan nambah emosi."

"Terserah!"

"Grace!" Ale tanpa sadar berteriak dan membuat Grace beringsut ketakutan. "Ayo, masuk!" Dia menarik tangan wanita itu dan tentu saja ditolak.

Grace memukul tangan Ale sambil beringsut menjauh. Tetapi, Ale kembali masuk mobil dan merangkul pundaknya. Grace berusaha berontak, tapi tarikan Ale kian kencang.

Ale turun dari mobil dan menggendong Grace. "Semua orang di sini galak, jangan banyak tingkah."

"Dan lo yang paling galak," jawab Grace sambil berusaha berontak.

"Jangan nyakiti diri sendiri."

"Apa peduli lo?" Grace berusaha meloncat, tapi Ale dengan cepat mencengkeram pundaknya. "Sakit."

"Kalau nggak gini kamu nggak nurut," bisik Ale tajam.

Grace menatap Ale tak suka. Tetapi, lelaki itu tetap berjalan dan fokus menatap depan. Dia menoleh, melihat sebuah tangga dengan karpet merah di tengah. Grace seketika memejamkan mata. "Mimpi paling buruk."

"Sayangnya ini bukan mimpi," bisik Ale sambil menaiki tangga.

Begitu sampai di lantai dua, Ale menurunkan Grace. "Pilih kamar mana?"

Pandangan Grace tertuju ke dua pintu cokelat yang bersebelahan. Dia lalu menatap Ale penuh selidik. "Kita nggak sekamar, kan?"

"Tentu saja sekamar. Kita suami istri."

"Gue nggak mau sekamar!" Grace mengatakan itu dengan serius. "Jangan harap kita kayak suami istri beneran."

"Ya udah, silakan pilih kamar sendiri."

Grace yang tidak mau berdebat memutuskan mendekati pintu di depannya. Dia membuka pintu dan melihat kamar luas dengan nuansa putih. Perhatiannya lalu tertuju ke jendela bertralis besi. Sial, sepertinya dia salah pilih kamar.

"Masih bisa ubah pilihan," ujar Ale.

"Nggak akan!" Grace memutuskan masuk dan menutup pintu. Saat hendak mengunci, dia tidak mendapati kunci yang menggantung. Bahkan tidak ada slotnya. Demi apapun dia tidak akan bisa mengunci pintu. "Aaaah!"

Ale menahan tawa mendengar teriakan itu. "Mau pindah, Sayang?"

Grace membuka pintu dan beralih ke kamar sebelah. Dia melihat kamar yang lebih luas dengan ranjang di bagian tengah. Nuansa kamar itu hampir sama, bedanya perabotannya lebih lengkap.

Suami Penggantiku Adalah BoskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang