7

799 40 3
                                    

Menghadapinya yang keras kepala butuh tenaga ekstra.

Tapi itu tak akan terasa jika didasari oleh rasa cinta.

Lelaki minim ekspresi itu menatap Grace yang belum sadarkan diri. Sekarang hidung Grace tertutup dengan alat bantu pernapasan. Tekanan darahnya rendah serta napasnya tidak teratur. Hal itu membuat Ale kian merasa bersalah. Yah, dia sadar diri dirinya yang harus disalahkan. Bagaimana bisa dia mengurung seseorang? Meski ruangan yang digunakan bukan gudang dan terdapat makanan.

"Emh...."

Erangan itu membuat Ale menegakkan tubuh. Dia mendapati kelopak mata Grace bergerak pelan hingga terbuka sepenuhnya. "Akhirnya kamu sadar," ujarnya lega. "Butuh sesuatu?"

Grace mengerjab saat matanya menerima cahaya yang begitu terang. Dia menggerakkan kepala ke kiri lalu meringis saat terasa pusing. Tangan kanannya terangkat ke kepala, memijitnya pelan berusaha meredakan rasa pusing itu.

Di depan Grace, Ale masih diam mengamati wanita yang baru sadar itu. Wajah Grace masih pucat dengan matanya berkantung. Dia juga menyadari wajah Grace lebih tirus daripada seminggu yang lalu.

"Ck!" Grace kembali menggerakkan kepala dan rasa pusing itu masih terasa. Dia lalu mengamati kamar bernuansa putih yang lebih luas dari kamar sebelumnya. "Aku.. ke.. kenapa?" tanyanya lirih.

Ale turun dari ranjang dan mengambil air putih di nakas. Setelah itu dia sedikit mengangkat kepala Grace, melepas alat bantu lalu membantunya minum. "Kamu pingsan," jawabnya. "Kondisimu lemah."

Grace mendorong tangan Ale lalu menghela napas panjang. Dia ingat ruang gelap dan dingin itu. "Gue pikir udah mati."

"Jangan ngomong gitu!" Ale meletakkan kembali gelas di nakas, tapi tidak beranjak dari posisinya. Dia menatap Grace yang bersandar di pundaknya. Satu tangannya terangkat hendak menyentuh anak rambut wanita itu yang turun. Tetapi, ada sesuatu yang menahan.

"Emang lo peduli kalau gue mati?" tantang Grace sambil menegakkan tubuh. Sayangnya, dentuman di kepala kian menyiksanya.

"Pedulilah." Kedua tangan Ale memegang pundak Grace lalu dia berdiri. Dia membantu wanita itu berbaring dan duduk di sebelahnya. "Dokter bilang kamu harus makan."

"Nggak mau!" tolak Grace sambil membuang muka.

"Makan nggak?"

"Enggak!"

"Mau aku kurung lagi?" ancam Ale.

Grace tertawa sumbang. "Keluar kandang buaya masuk kandang macan," candanya. "Palingan bentar lagi lo ngurung gue di sini."

Ale tersenyum miring. Dia lantas berdiri menatap wajah Grace yang memerah menahan amarah. "Jangan lama-lama sakitnya. Nyusahin!" Setelah mengucapkan itu Ale keluar kamar. "Ck!" Dia mengacak rambut, sadar telah mengatakan itu.

"Keluar kandang buaya masuk kandang macan," gumam Grace lagi. Dia memejamkan mata kala pusing yang mendera kian bertambah. Kedua tangannya mencengkeram selimut, meluapkan amarah yang menyelimuti.

Sepertinya Grace tidak bisa menggunakan cara ini lagi. Memberontak jelas percuma karena pasukan Ale lebih kuat. Ditambah, Grace muak karena tubuhnya lemah di saat dia harus bertahan kuat melawan Ale.

***

Ceklek!

Grace menoleh ke pintu yang dibuka dari luar. Dia mendapati Nina yang berjalan masuk dengan nampan di tangan. Wanita itu tersenyum sambil menahan rasa takut.

Pagi tadi Grace terbangun dengan kondisi lebih baik dari semalam. Pusingnya berangsur menghilang, tapi tubuhnya masih terasa lemas. Jadilah, dia sepanjang hari di kamar. Dia tidak lagi di kamar luas Ale. Beberapa saat yang lalu, dia dibantu Nina pindah ke kamar yang dari awal ditempati.

Suami Penggantiku Adalah BoskuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang