[1].Prahara 100 Tahun Lalu

36 3 1
                                    


Jika jiwa dan raga mampu membawa dan menyimpan kisah abadi. Begitu juga dengan jiwa dan raga yang mampu menyimpan kisah dan kenangan hingga ratusan bahkan ribuan tahun berlalu. Sagara dengan segala cerita, membawa, mengukir, dan mengubur semua semua kisah ini bermula. Lalu sang angin menerbangkannya hingga sepasang lengan dan pemilik mata bening dari jiwa yang suci dan terpilih menangkap dan menggenggamnya.

Kisah tentang cinta dan kesaktian ketulusan sejati. Juga kekecewaan, kesedihan, pembalasan dendam, dan makna memaafkan serta ketulusan. Kisah ini bermula dari bukit Cula 200 tahun yang lalu. Tahun 1870 dalam penanggalan Masehi--- Kurang lebih tahun 1792 dalam penanggalan Saka. Saat itu, langit tampak begitu cerah. Namun, angin terlihat bergulung-gulung dengan sangat pongah. Bukit Cula yang biasa dama puni terasa begitu bergelora, dalam cekam aura yang kuat dan menekan. Kematian.
__________________________________

Cakrawala biru membentang memayungi bumi. Di ujung sana, Raden Wirayasa berdiri di puncak tebing bawah Bukit Cula yang menjulang tinggi. Di ujung satunya lagi, Raden Tanuwidjaya berdiri kokoh. Jubah hitamnya yang dikenakannya tampak berkobar tertiup angin kencang.

"Hahaha, cepat serahkan pusaka itu atau kekasihmu akan mati, Wirayasa!"

"Kau masih saja sombong, Tanuwidjaya! Belum cukup kah kematian Bapakmu menjadi pelajaran, karena keserakahannya, berkhianat pada kerajaan, hingga ia memilih mati untuk menjadi antek penjajah?"

"Jangan bawa-bawa nama Bapakku, baj***n! Kamu dan keluarga mu sejak dulu selalu merebut apa yang menjadi milikku!"

"Kau salah, Tanu. Bukan aku yang merebut. Namun, sejak dulu kau dan keluargamu, yang selalu ingin memaksakan kehendak. Sadarlah, kita terikat tali sodara. Jangan kau rusak, kembalilah sebelum karma menyapa."

"Diam, bang**t! Serahkan pusaka keris dan kujang itu padaku! Atau Widuri akan mati di tanganku!"

"Mati? Bukankah kau mengaku mencintainya? Aku tidak yakin, Tanu. Bertaubatlah, sebelum pasukan kerajaan menyergapmu."

"Kalau begitu ...." Wirayasa merinding ketika menangkap kilatan penuh kebencian di mata sahabat dan saudara seperguruannya itu.

"Bersiaplah, sambut kematian kalian dengan tenang!" ucap Tanuwidjaya dengan pongah. .

Dia pun mengeluarkan aura berwarna merah membara.Tampaknya, amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Akal pikirannya telah kacau, sebab hasutan keluarga. Sejak dulu keluarganya memilih berseberangan hingga jadi pengkhianat kerajaan. Padahal, mereka adalah bersaudara. Kecemburuan itulah yang menjadi alasan sebab terjadinya perseteruan turun temurun dua keluarga besar keramat itu.

Awalnya, bapaknya mati karena memihak penjajah Belanda, orang yang sangat dikasihinya yang diharapkan mengobati lukanya malah menambah luka dengan memilih Wirayasa, gurunya pun memilih memberikan sepasang senjata pusaka keris dan kujang pada Tanuwidjaya. Kemudian, dari sanalah segala dendam itu bermula. Namun, sebenarnya, sebagai gantinya, sang guru memberikan satu kotak perhiasan dan koin gulden disertai sebuah permata mirah delima.

Tanuwidjaya salah paham, sang guru bukannya pilih kasih. Namun, memberi sesuai yang mereka butuhkan. Pemberian itu sesuai kharakternya. Perhiasan untuk bekal kejayaan keluarganya, batu mirah delima adalah baru pusaka pemikat yang mampu menjadikannya pengusa dunia, jika berada di jalan kebajikan. Sayangnya, keserakahan dan prasangka yang membuatnya iri dengki, menjadikannya berada di jalan yang sesat.

Selarikan merah membara terlempar ke arah Raden wirayudha, membuatnya harus melompat menghindari berkali-kali. Saat meleset, kekuatan yang di lemparkannya menimpa batu-batu tebing di sampingnya. Suara sambaran petir dan ledakan berasal dari tangan Tanuwidjaya itu menimbulkan kehancuran di bukit Cula. Tanah pun bergetar, tebing retak menganga, batu-batu besar kecil berhamburan. Langit pun mendadak gelap gulita berselimut kabut dan debu.

Perkelahian mereka terus berlanjut, hingga keduanya nyaris kehabisan tenaga. Di saat titik kritis, Tanuwidjaya mengeluarkan ajian pamungkas Sagarajiwa, ajian yang sangat berbahaya. Kelemahan ajian itu akan berbalik pada penggunanya jika dikeluarkan sembarangan. Semakin lama tubuh Tanuwidjaya semakin diliputi aura berwarna merah membara. Semakin pekat. Pertanda kemarahan dan kebencian sedang membakar jiwanya.

"Tidak Tanuwidjaya! Hentikan! Jangan kau gunakan ajian itu, raga dan jiwamu akan rusak. Keturunanmu pun akan kena kutukan!" Raden Wirayasa masih berusaha mencegah tragedi berkepanjangan yang akan merusak anak cucu keturunan mereka, terutama garis keturunan darah Tanuwidjaya. Sungguh sayang seribu sayang, jika dosa leluhur akan ditanggung anak cicit keturunan yang tidak tahu apa-apa kelak.

"Aku tak peduli, sejak kamu dan keluargamu ada, hidupku dan keluargaku sudah kau rusak. Terimalah kita akan sama-sama hancur!" Tanuwidjaya bergeming.

Layung merah membara semakin membesar memenuhi langit Bukit Cula. Dari kejauhan tampak seperti kobaran api dan langit terbelah merah membara. Wirayasa sudah pasrah. Dia tidak mungkin melawan ajian pamungkas itu. Hanya perisai energi yang dia aktifkan untuk menahan radiasi, dan benturan dari ajian dahsyat Sagarajiwa.

Suara yang sudah diselarasi tenaga dalam bergema di udara.
"Terimalah kematianmu Wirayasa beserta dendamku!"

"Hiyaaaaaaaah!"

Duaaaaarrr duaaaarrrr Bledaaaarrr!
Terdengar ledakan berulang di sertai kobaran api dan petir menyambar-nyambar di bukit Cula
hingga semua penduduk di bawah bisa menyaksikannya, dan merasakan gempa akibat getaran adu dua kesaktian itu.
Akhirnya, bukit Cula hancur terbelah menjadi dua. Satu di ujung timur satu di ujung barat. Sebagian menjadi lembah landai sebagian masih menjadi tebing tinggi. Kelak, nekas ledakan dan retakan yang menjadi daratan Itulah, asal mula desa Sagara ada.

Ketika Raden Wirayasa membuka matanya, sang guru sudah terbujur di hadapannya." Guru," gumamnya gemetar memburu raga tak berdaya itu. Ia diselamatkan gurunya, Surawiguna, ayah dari Widuri, dia yang telah memberikan perisai perlindungan pamungkas, ajian lebur sagara. Akibatnya, ajian Sagaranyawa mental dan menghancurkan Tanuwidjaya serta Surawiguna.

"Ke-kemarilah, Wira...." Dengan susah payah sang guru mencoba bicara. Wirayasa menggenggam lengan yang disodorkan gurunya.
"Guru, bertahanlah. Aku akan memindahkan tenaga dalamku!"
"Ti-tidak! Diamlah, sudah tidak ada waktu lagi. Dengarkanlah dan patuhi apa yang akan kukatakan." Gurunya mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sepasang senjata pusaka beserta kitab yang selama ini diperebutkan. Kemudian dengan terbata-bata ia meminta Wirayasa membawa pergi Widuri dan berganti nama menjadi Wirayudha.

"Ketahuilah, muridku. Keturunan Tanuwidjaya akan membalas dendam, ilmu dan energi iblisnya berpindah kepada anak cucunya. Aku titip anakku. Jaga dan lindungilah Widuri dan keturunannya dari keturunan Tanuwidjaya." Itu wasiatnya terkahir, sebelum mengembuskan napas terakhirnya dan pergi meninggalkan dunia fana.

Kaca-kaca di mata Wirayasa pun luruh seketika."Guruuu!"

Matahari telah terbenam seutuhnya di ufuk barat. Langit pun mulai gelap segelap pikiran Wirayasa. Sedangkan burung elang yang melayang telah kembali ke sarangnya, meninggalkan sisa-sisa kepiluan dan kehancuran hati insan yang tengah berduka. Suasana di sekitar Bukit Cuma terasa mencekam. Kini, oleh kesedihan manusia yang kehilangan gurunya dan alam yang kehilangan satu makhluk yang baik dan penebar manfaat. Lolongan anjing hutan di kejauhan terdengar menyayat hati, seakan-akan merasakan apa yang sudah terjadi, tragedi permulaan di Sagara.

**

Selanjutnya di aplikasi KBM App sudah 30 bab. Akun: GloriaPitaloka judul: Ketika Preman Jatuh Cinta

Link 🔗 Ketika Preman Jatuh Cinta - Gloria Pitaloka
Cinta itu seperti ikatan takdir. Dipertemukan, menjalin untaian, lalu kusut dan kemudian dipisahkan,...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/20002762-40a6-45bc-b86d-d5fbaa29682e?af=2102fbd9-c5f1-8bdb-bd29-00fbdbd94d7b

DENDAM WARISAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang