[9].

3 0 0
                                    

Sakti tersadar dan menyudahi dirinya yang tenggelam dalam pesona gadis kota itu. Lalu, dengan cepat ia mengulurkan tangannya, "Hai, Harum! Kita sudah ketemu kan kemarin? Ingat?"

"Ah, ya, tentu. Bagaimana bisa aku lupa." Harum tersenyum pahit seraya menyalami Sakti. Si berandalan itu lagi! Nasib buruk apalagi yang akan terjadi. Harum berdoa dalam hati semoga Tuhan berbelas kasihan dan menjauhkan si berandal ini dari hidupnya. 

Mungkin Tuhan punya rencana lain, karena beberapa hari setelahnya, Sakti terus mengekor kemana Harum pergi. "Harum, aku tidak mengerti bagian ini, bagaimana cara kau memasukkan angka-angka ini ke dalam tabel." Sakti tanpa permisi menyeruak masuk ke tengah diskusinya dengan Sissy dan Liana sambil menyodorkan setumpuk berkas kepadanya. Laki-laki jangkung itu berada terlalu dekat hingga ujung rambutnya yang panjang menyentuh pipinya. Dia beraroma musk, wanginya pas, tidak terlalu menusuk seperti kebanyakan parfum yang dipakai teman-teman prianya. 

Harum bisa saja menjauh, semestinya, tapi posisi tubuhnya tidak berubah. Keberadaan Sakti mendadak jadi hal yang lumrah. Panas tubuhnya, suara baritonnya, bahkan, sekarang dia melihat keangkuhannya sebagai sesuatu yang cukup lucu, menggemaskan. 

"Lihat deretan angka ini? Ini adalah nilai pengeluaran bulan lalu. Jangan lupa untuk membandingkannya dengan data di halaman satunya ...." Kata-kata Harum bagai alunan musik di telinga Sakti. Dia tak terlalu paham maknanya, tapi terdengar begitu merdu. Cara kedua bibir itu bergerak berpadu dengan kerlingan mata, sangat indah, mempesona. Menghipnotis.

"Hei, kau dengar tidak?" Sepasang mata bulat Harum kini beralih kepadanya. "Kau melihat kemana, sih? Aku tak mau lagi mengulangi kata-kataku."

"Jangan berhenti, terus lah bicara, Manis ...," ujar Sakti setengah melamun.

Harum memukul dahi Sakti pelan dengan kertas-kertas di tangannya. "Bangun, pemimpi! Bagaimana kau bisa menguasai pabrik kalo kau terus seperti ini?"

Sakti menangkap tangan Harum. "Ternyata kau cukup peduli juga denganku, ya. Terimakasih. Aku tersanjung."

Harum berusaha menarik tangannya tapi genggaman tangan Sakti terlalu kuat ataukah hatinya yang lemah? "Lepaskan tanganku, ikuti aku."

"Dengan senang hati. Kemana? Kita jalan-jalan? Ah, tunggu sampai aku mendapatkan mobilku kembali, aku akan membawamu ke tempat yang bagus. Kau mungkin tau ada air terjun di sekitar sini, tapi apa kau tau ada gua di baliknya? Oh, ya, makanan di saung liwet juga spektakuler! Orang kota macam kau pasti belum pernah menjajal masakan seperti itu. Bayangkan ... Pepes peda, ikan bakar, ayam panggang, sambel terasi, sayur asem, pemandangan indah, dan... Aku. Tak ada yang lebih menakjubkan selain aku. Dan semuanya, termasuk diriku, untukmu seorang ..."

Harum tertawa terbahak-bahak. "Kau bicara terlalu banyak. Perutku sakit."

Sakti tersenyum menatap Harum. "Aku suka melihatmu tertawa. Wajah jelekmu itu berubah jadi lebih baik saat kau tertawa. Harusnya kau sering-sering tertawa, daripada cemberut dan marah-marah. Bikin keriput!"

Harum mendesis. "Kau ..., bawel! Kita ke pengolahan limbah, sekarang."

"Ah, dasar perusak suasana. Tidak asyik!" Sakti cemberut tapi tetap mengikuti Harum. 

****

"Wow, lihat tumpukan kain itu!" Sakti berkomentar saat mereka tiba di tempat pengolahan limbah garmen. Dimana-mana, terhampar gundukan raksasa sisa-sisa kain perca yang belum diolah. 

Harum melirik laki-laki disebelahnya itu dengan pandangan aneh. "Kau baru tau?"

Sakti mengangkat bahunya santai. "Ya, ini pertama kalinya aku melihat dari dekat. Sebelumya hanya lewat-lewat saja. Ini sungguh menarik. Kau lihat di sana seperti gunung warna-warni. Bagus juga ya."

DENDAM WARISAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang