Siang ini langit terlihat begitu cerah tapi udara tetap sejuk dan nyaman. Tiga lelaki yang berada didalam sebuah cafe sama-sama menatap lekat kearah layar canggih yang menyala dihadapan mereka, seolah tengah menunggu 'sesuatu' muncul di layar tersebut.
Detik demi detik berlalu menjadi menit yang terasa begitu lama. Si rambut ungu akhirnya memutuskan meraih gelas coffee nya dimeja dengan kesal, sebab yang ditunggu-tunggu tak kunjung kembali menampakkan diri.
Merasa lelah dia memilih beristirahat sejenak. Akhirnya dia melepas pandang dari benda tersebut sembari meresapi hangatnya minuman yang mengalir menuju kerongkongannya. Matanya beralih memandang pada hamparan laut indah nan eksotis didepan matanya.
Si rambut ungu tersenyum tipis. Hatinya terasa ikut menghangat, teringat masa lampau. Dimana pun dulu dia pernah tinggal disebuah kawasan pantai yang indah seperti ini.
Tapi disisi lain keindahan itu selalu saja berhasil menyakiti hatinya. Membawanya kembali pada rasa sakit yang luar biasa hebat, yang dengan lihainya mampu bersembunyi dibalik segala perasaannya.
Kekosongan besar yang tak mampu dilihat siapapun diluar sana. Sakit yang tak akan pernah terlupakan dalam ingatannya.
"Oh dia muncul."
Secara bersamaan dua lelaki yang sama-sama melamun itu menoleh kearah teman mereka si rambut hitam. Dia terlihat menunjuk jarinya kearah layar membuat dua lelaki itu seketika mengikuti arah pandang dan terfokus pada layar lebar yang menampilkan sederet peta dengan background hijau dan garis garis koordinat berwarna emas.
Netra mereka sama-sama fokus menatap sebuah titik hitam yang tampak berpendar, dia ada dan hilang, lalu kembali lagi dan hilang lagi.
Si rambut hitam menatap kearah temannya, si rambut ungu. Pemuda itu menangkap pandangan yang sulit dijelaskan dari temannya. Dia berdehem memecahkan fokus si rambut coklat yang terlihat sedang sangat serius menatap layar menyala tersebut.
"Kau baik-baik saja?"
"Iya. Tapi itu-" Si rambut coklat masih tidak yakin dengan apa yang dilihatnya sekarang. Antara ragu dan tidak percaya. Berkali-kali dia mengerjap dengan sengaja, atau menggosok matanya berharap apa yang dilihatnya salah.
Si rambut hitam lantas kembali menatap benda menyala miliknya dengan lamat dan mengangguk dengan helaan nafas. "Itu nyata dan benar adanya. Kau tidak salah lihat sekarang."
"Demi tuhan, aku tidak bisa percaya ini. Bagaimana jika itu hanya glitch?" Si rambut coklat mendesah frustasi sambil menyisir rambutnya ke belakang.
"Sialan. Benda seharga rumah mu ini tidak mungkin terkena glitch. Anak gila," ujar si rambut hitam mendelik.
Mendengar itu si rambut coklat menganga. Si rambut ungu terkekeh melihatnya. "Berkediplah Mark. Lagipula sejak kapan kau percaya tuhan?"
"Ah aku jadi kristiani sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
WANDERLUST
FantasyMenginjak usia 23 tahun tak melunturkan semangat jiwa berpetualang seorang Victoria Kim ditengah kesibukan dunia kuliahnya. Tapi perjalanannya kali ini benar-benar di luar nalar dan akal sehatnya. Bahkan diluar rencana perjalanannya. Terdampar di da...