Matahari telah menunjukkan jati dirinya. Lalu ada Randra dan motornya melaju membelah jalan menuju sekolah. Udara dingin lumayan terasa.
Jam masuk masih 15 menit lagi. Namun hanya cukup 7 menit bagi Randra untuk sampai di sekolah, itupun dengan laju yang lambat sambil menikmati suasana pagi.
Jarak dari rumah ke sekolah tidak jauh. Tapi butuh waktu lumayan jika berjalan kaki dan pastinya cukup melelahkan. Sebagai orang yang berkecukupan dan sudah dihadiahi motor oleh orang tuanya, Randra pasti tidak akan sudi berjalan kaki.
Beda hal nya dengan Citra. 15 menit lagi bel masuk berbunyi, namun ia baru saja keluar rumah. Sedangkan jarak dari rumah ke sekolah butuh 25 menit jika berjalan kaki. Ia sadar betul pasti akan terlambat lagi.
Citra berjalan sambil berlari-lari kecil. Di tengah jalan motor Randra melaju. Citra tahu anak itu adalah teman sekelasnya, tapi ia tidak memiliki keberanian untuk memanggil Randra, meminta tumpangan.
Di sisi lain, Randra juga tahu bahwa anak perempuan yang terburu-buru itu adalah Citra, teman sekelasnya. Namun ia tidak ada niat untuk mengajak Citra menumpang. Entah karena ia tidak perduli atau karena ia merasa Citra tidak perlu tumpangan.
Citra menatap kesal motor Randra yang melewatinya begitu saja. Ia mengumpati teman sekelasnya yang sombong itu. Namun ia juga mengutuki dirinya sendiri yang tidak mau memberhentikan Randra. Ah! Sebenarnya siapa yang salah. Ia masih sempat sempatnya memikirkan gengsi memanggil cowok yang terkenal dingin itu dari pada terlambat ke sekolah.
***
Bel masuk sudah berbunyi. Randra sudah tiba di sekolah dan berjalan santai ke kelas.
Pintu pagar sudah tertutup. Anak-anak yang terlambat masih bisa masuk kelas dengan syarat dihukum untuk mengutip sampah sebelum diizinkan masuk kelas. Salah satu dari anak yang terlambat itu adalah Citra. Ini sudah ketiga kalinya ia terlambat.
Citra menyumpahi ketololannya. Andai saja tadi ia memanggil Randra dan meminta tumpangan, pasti ia sekarang sudah di dalam kelas. Namun di sisi lain ia juga memendam kesal kepada teman sekelasnya yang bodo amat-an itu. Rambut sebahu Citra yang tadinya terurai kini sudah diikat cepol, siap untuk bertempur memungut sampah. Oh, ya, sampah yang dipungut juga harus dihitung 50 sampah. Dan jangan harap bisa mengambil dari tong sampah. Kalau belum 50 potong sampah, tidak boleh masuk kelas.
Citra menyesali sekolahnya yang teramat bersih ini. Mencari 50 potong sampah saja harus memakan waktu 35 menit itu pun sesudah mengelilingi sekolah yang luasnya 2hektar ditambah dengan berebut dan berlomba dengan siswa lain yang terlambat.
Setelah sampahnya dihitung, Citra bisa masuk kelas. Bajunya sedikit dibasahi keringat. Rambutnya masih diikat cepol dengan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi. Tampangnya menyedihkan. Sekali lagi ia menyumpahi Randra atas kesialannya pagi ini.
Satu lagi hal sial yang harus dilaluinya yaitu memasuki kelas dan melihat wajah teman-temannya yang memandangnya remeh dan hina karena kelas ini terkenal teladan, muridnya pintar , banyak yang berprestasi, dan tidak ada yang pernah telat kecuali Citra.
Guru sedang berdiri di tengah kelas. Citra mengetuk pintu. Lalu guru dan 36 pasang mata lainnya di ruang itu menuju ke arah Citra.
"Masuk," ucap si Ibu guru.
Citra melangkah masuk dengan wajah masam lalu berdiri disamping Bu guru yang meminta penjelasan.
"Kamu udah berapa kali telat?"
"Tiga, Bu."
"Dan tiga-tiganya di jam pelajaran saya semua kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rame-Rame Coffe Shop
ChickLitMampukah Citra memantaskan diri untuk Randra agar ia bisa bebas mencintai pria itu tanpa dihalangi siapapun? Atau akhirnya mereka harus berpisah lagi. *judul mungkin berubah