.
.
.
.
Randra berjalan lebih cepat menuju parkiran motor mendahului Bima dan dua temannya yang lain. Ia yakin Citra belum keluar dari pekarangan sekolah, atau kalaupun sudah di luar sekolah, setidaknya belum terlalu jauh. Randra berniat untuk memberikan tumpangan pada perempuan yang tadi pergi dengan cucuran air mata di wajahnya. Ia sebagai satu-satunya pria di kelas tadi harusnya lebih tegas melerai pertempuran dua gadis itu sebelum terjadi adegan jambak-jambakan berakhir air mata. Tingkahnya membuat Bima dan dua temannya, Rey dan Fajar heran. Mereka merubah rencana dari nongkrong di cafe menjadi main PS di rumah Randra, tapi tuan rumah malah pergi duluan.Dari jauh Randra yang kini sudah mengendarai motor melihat Citra berjalan lesu ke gerbang sekolah. Buru-buru ia melaju menghampiri Citra dan berhenti tepat di sebelah gadis itu.
"Mau bareng?" tawarnya.
Citra hanya diam. Sejujurnya ia mau menolak, namun mulutnya tertutup rapat tak mampu berbicara. Akhirnya tanpa dikomando dua kali, Citra naik ke motor Randra.
Randra melirik wajah sembab Citra dari spion. Gadis itu terdengar sesenggukan sesekali meskipun tangisnya tidak terdengar lagi. Randra bingung mencari kalimat penenang apa yang pantas diucapkan di saat seperti ini. Jujur dia belum pernah menghadapi perempuan yang sedang menangis.
"Kamu jangan nangis lagi." ucap Randra akhirnya yang sejak tadi memilih kata, namun hanya kalimat itulah yang muncul di otaknya.
Tak dijawab, Randra melirik lagi wajah Citra dari spion. Masih sembab, dan masih sesenggukan."Jujur aku gak pandai bujuk cewek yang lagi merajuk, jadi kamu jangan nangis lagi, ya."
Citra tersentak mendengarnya. Tanpa sadar ia jadi sedikit tersenyum.
"Gue bukan nangis gara-gara lo. Jadi ngapain juga lo bujuk gue."
"Masa sih aku diam aja liat cewek nangis di boncenganku."
"Aku udah gak nangis lagi kok. "
"Tapi kan masih sesenggukan, sama aja dong?"
Citra tersenyum tipis mendengarnya.
"Iya iya, santai aja. Aku gapapa."
Randra melirik sekali lagi wajah gadis itu, tampak sedikit lebih segar namun kesedihannya masih terlihat jelas. Sadar Citra tidak ingin diganggu, ia tidak bicara lagi dan fokus mengendarai motor hingga sampai ke depan rumah Citra. Gadis itu pun turun dengan terlebih dulu mengucapkan terimakasih.***
Randra sampai di pekarangan rumahnya. Baru membuka helm, Bima, Bobby, Rey dan Fajar turut tiba.
"Cewek mana yang lu bonceng tadi?" Bima yang belum turun dari motor langsung mencecar Randra dengan pertanyaan nya.
Ternyata mereka melihat Randra membonceng Citra.
"Citra." jawabnya singkat sambil turun dan berjalan masuk menuju rumah.
"Citra siapa?" Bima menyusul dari belakang. Mempercepat langkahnya untuk merangkul pundak Randra.
"Teman sekelas gue."
"Pacaran?" tanya Bima dengan senyum terlebarnya sambil memegang wajah Randra dengan dua tangannya dan di arahkan ke wajahnya.
"Enggak." Randra menepis kasar tangan Bima dari wajahnya.
"Kalau gak pacaran ngapain lo bonceng?"
"Memangnya bonceng cewek harus pacaran dulu?" tanya Randra yang kini sudah duduk di sofa ruang tengah, tempat mereka bermain PS nanti. Yang lain juga sudah duduk.
Randra melepas tas nya dan tampak mengambil sesuatu yang ada di dalam tas. Ternyata ia mengambil Risol yang tadi pagi ia beli dari Citra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rame-Rame Coffe Shop
Literatura FemininaMampukah Citra memantaskan diri untuk Randra agar ia bisa bebas mencintai pria itu tanpa dihalangi siapapun? Atau akhirnya mereka harus berpisah lagi. *judul mungkin berubah