"Memangnya penjual risol gak boleh pacaran sama cowok tajir?" tanya Citra pada angin sore hari itu.
Angin yang mendengar pertanyaan Citra hanya diam tidak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya membelai rambut Citra dengan halusnya. Belaiannya di sore itu membuat Citra teringat belaian ibu nya bertahun-tahun lalu.
Ditambah pemandangan halaman rumah yang sangat kental dengan kenangan ibu nya.
Pot-pot bunga peninggalan ibu. Meski bunga nya sudah mati dan menjadi debu, pot-pot bunga itu tetap berada di tempatnya. Tak bergeser se-senti pun.
Juga sebuah meja dan empat kursi kayu yang berada di teras rumah, tempat Citra duduk saat ini, menambah kenangan Citra pada ibu nya.
Puncaknya saat melihat pot bunga di atas meja itu, satu-satunya pot yang masih berbunga dan selalu disiram ayah Citra setiap hari. Citra menangis melihat pot itu, lalu ia tenggelam pada suatu sore paling menyedihkan dalam hidupnya.
***
Sore ini masih saja ditutupi awan mendung sejak pagi, ditambah rintik-rintik kecil seolah alam menambahkan suasana lebih berduka untuk keluarga Citra.
Citra yang masih berusia 10 tahun menangis di pelukan Yuna. Ia takut namun tak mau melewati saat-saat terakhir bertemu ibunya.
Dua meter di bawah tanah itu, ayah Citra membaringkan jasad istrinya dan menutupinya dengan papan. Setelah itu dia naik untuk membiarkan orang-orang menimbun jasad istrinya dengan tanah.
Pria itu tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari jasad istrinya sampai sepenuhnya tertimbun tanah. Setelah itu ia mengambil kayu nisan dan menghunuskannya ke tanah merah itu. Sedetik kemudian dia tersadar istri tercintanya tak akan pernah terlihat lagi.
Setelah membacakan doa-doa, pelayat itu satu persatu pulang. Menyisakan ayah Citra dan dua anak gadisnya. Begitu orang-orang itu pergi rasa sepi menghujam dada ayah Citra hingga menembus ke jantungnya. Sembari memegang kayu nisan itu, ayah Citra menangis meraung-raung. Kecintaannya, teman hidupnya, pergi meninggalkannya dengan membawa separuh jiwanya ke dalam liang lahat itu.
Menyaksikan ayah nya menangis meraung, Citra dan Yuna ikut menangis hingga terduduk di tanah kuburan. Siapa yang akan menguatkan mereka jika ayah nya sendiri sudah sehancur itu.
***
Citra masih ingat betul suara isakan tangis ayah nya sore itu. Sebagai gadis kecil yang ditinggal mati ibunya, Citra harusnya dikuatkan. Namun malah ia dan Yuna yang terpaksa memahami hancurnya hati ayah mereka. Mereka terpaksa mengerti ayah nya yang menjadi lebih pemurung, penyedih, dan seolah tak punya semangat hidup.
Akhirnya Citra dan Yuna tumbuh dewasa dengan berusaha menguat-nguatkan diri mereka sendiri. Seperti sore ini Citra menangis mengingat momen pemakan ibu nya, namun ia tak mau berlarut-larut, segera ia menghapus air mata itu.
Untuk mengalihkan kenangan penuh duka itu, Citra mengambil ponselnya.
Citra sudah berganti pakaian sejak pulang sekolah tadi dengan kaus putih oblong dan celana training hitam. Ia memilih menikmati sore ini dengan scroll aplikasi Instagram ditemani secangkir kopi instan yang tertata di meja.
"Kayaknya lebih enak stalking akun Randra." gumamnya.
Ia pergi ke akun Randra. Menjelajahi akun cowok itu entah untuk yang kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rame-Rame Coffe Shop
ChickLitMampukah Citra memantaskan diri untuk Randra agar ia bisa bebas mencintai pria itu tanpa dihalangi siapapun? Atau akhirnya mereka harus berpisah lagi. *judul mungkin berubah