Delapan : Muncul Planning Dalam Sekedip

10 0 0
                                    

Sucita Rimanda atau Citra, berdiri dibalik pintu kamar mandi yang keropos itu dengan handuk yang melingkar di lehernya. Senandung false kakaknya dan suara guyuran air dari dalam kamar mandi, menjadi backsound nya melamun pagi ini. Dan Randra lah yang ada dalam lamunan nya.

Citra akui, ia menyukai Randra. Dia sudah memutuskan untuk tidak perlu move-on. Ia hanya akan menikmati perasaan ini, tidak akan mengharap balasan apapun. Cukup menyukai Randra diam-diam, nikmati momen bersama, dan kalau seandainya Randra punya pacar, Citra bersumpah tidak akan sakit hati.

"Suka doang kan gapapa, ya. Gak ngarep jadian juga kok," batinnya.

Pintu kamar mandi terbuka, Yuna keluar dengan rambut yang tergulung handuk. Ia mendapati adiknya yang kini sudah terjongkok.

"Woy."

Citra melirik ke atas. "Lama lo."

"Mending lo jongkong di lampu merah, sekalian megang mangkok."

"HAHAHA. Lucu banget lo sialan," Citra tertawa sarkastik.

***

Selesai mandi dan berganti baju, Citra keluar rumah dan menemukan Randra dengan motor matic nya terparkir di depan pagar rumah.

"Udah lama, Dra?"

"Baru aja." Randra menghadiahi Citra senyum tipisnya yang manis.

Meleleh hati Citra, senyuman Randra adalah awal yang baik untuk memulai hari.

"Kayaknya senang banget, Tra. Ada apa?" Randra penasaran setelah memergoki Citra yang senyum-senyum sendiri lewat kaca spionnya.

Ternyata bahagianya Citra ketahuan. Ia senang karena berhasil berdamai dengan diri sendiri, dan mendeklarasikan untuk menyukai Randra sebebas-bebasnya tanpa dikekang rasa insecure, karena ia tak mengharap balasan apa pun. Ia sudah puas dapat memiliki perasaan ini. Rasa suka yang mengisi kekosongan hatinya. Membuat hari-harinya yang biasanya datar dan membosankan menjadi lebih bergairah.

"Gak ada apa-apa kok, Dra." jawabnya, menyembunyikan perasaannya.

***

Langkah kaki Citra terhenti ketika merasakan bahunya didorong cukup kuat oleh seseorang dari belakang. Jika tak sigap, Citra mungkin sudah ambruk di lantai kantin ini. Segera ia mengutip earphone nya yang berguling di lantai.

Oh, Intan ternyata.

Sudah dua bulan ini Citra damai dari pengemis contekan itu. Juga sudah memaafkan Intan yang ternyata otak dari orderan fiktif Dilla. Citra tahu Intan yang punya ide jahat itu setelah mendesak Dilla, tetapi Citra memilih diam tak mempermasalahkan lagi. Namun apa lagi kali ini.

"Apa?"

"Dasar cewek gatal lo, ya!" Intan langsung mengamuk.

"Gatal apa sih? Gila lo, ya."

"Lo tahu kan gue gimana sukanya sama Bima."

"Ya, terus apa?"

"Terus ngapain lo dekatin dia?" tuduh Intan.

"Dekatin apa? Sakit lo?" Citra masih belum memahami maksud Intan.

Intan mendorong kuat dada Citra, hingga gadis itu terhuyung-huyung lalu amblas ke lantai. "Kenapa lo boncengan sama dia?" teriaknya. Wajahnya memerah dengan tangan yang terkepal kuat.

Rame-Rame Coffe ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang