1. Perempuan Kedua yang Mencintaiku

310 16 3
                                    


Perempuan Kedua yang Mencintaiku

Zafir

Aku menyukaimu, Mas Zafir.

Kamu yang selama ini aku nanti. Sudah berulang kali aku mencoba berpaling tapi sungguh tidak bisa. Perasaan ini begitu mendalam.

Apa yang harus aku lakukan Mas? Apakah aku berdosa jika telah mencintaimu sebesar ini. Tolong beri tahu aku. Maaf, aku tidak bisa melupakanmu. Tidak sampai kapanpun.

Lalita

Dadaku bergemuruh saat melipat lembar kertas di tangan. Sekali lagi, aku memastikan kalau sekarang tidak sedang berhalusinasi. Apakah benar Lalita mencintaiku dengan begitu hebatnya?

Gadis itu. Sungguh di luar dugaan.

Walaupun tidak berharap hal ini bisa membuatku merasa bahagia, tetapi ada secercah rasa bangga diperhatikan sedemikian rupa. Bibirku mengulas senyum samar. Entah mengapa. Padahal, aku tidak berharap ini semua terjadi. Bahkan sampai detik ini, aku tak bisa menampik jika surat ini membuat hariku lebih berwarna.

Namun, tidak. Tentu saja, ini hanya sekadar ungkapan rasa cinta yang tak perlu berlanjut apa-apa.

Bukankah demikian, Zafir?

Aku berbicara pada diriku sendiri menyenandungkan penolakan-penolakan atas cinta Lalita yang semakin hari telah memikatku begitu jauh. Tetapi, aku dirundung rasa ragu.

Aku tengadah menatap langit yang tampak biru cerah. Sesaput awan melayang lembut seperti seuntai kapas. Tanganku masih menggenggam kertas berisi tulisan tangan Lalita. Mungkin, dia ke sini tadi, dan meletakkannya di dalam buku agenda yang selalu kubawa.

Bisa jadi seperti itu.

Beberapa hari ini, aku tidak membalas pesan-pesannya yang memenuhi kotak masuk di salah satu akun media sosialku.

Kau tidak akan tahu, bagaimana rasanya berusaha menjauh dari perempuan yang telah menawan hatiku diam-diam.

Itu sebuah perjuangan.

Namun, usahaku itu kandas, saat surat Lalita kembali menggugah rasa hangat yang menjalar di dalam hati.

Aku mengembuskan napas panjang.

Jatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kosong.

Dadaku terasa agak sesak jika mengingat senyum Syahdu—istriku yang mungkin sekarang sedang mengingatku di antara aktivitas sehari-harinya di rumah.

Hatiku terasa melayang-layang, saat mendengar suara lirih tangisan Syahdu saat kami selesai menunaikan salat Isya—seminggu yang lalu.

Ketika aku masih membaca beberapa ayat dari surah An-Nisa, di rakaat kedua—kudengar suara tangis itu. Kukira aku salah mendengar, namun setelah selesai mengucapkan salam—dan Syahdu mencium punggung tanganku—ternyata setetes air matanya jatuh. Tanganku basah.

Aku ingin sekali mendekapnya. Semakin hari, tampaknya istriku menjadi sedikit pendiam, padahal biasanya dia selalu ceria dan penuh semangat.

"Ada apa, Dinda?" sapaku padanya, dengan lembut.

Tapi, Syahdu hanya menggeleng, "Aku hanya merasa sedih, Mas. Tapi, tidak tahu kenapa."

Aku memicingkan mata. "Benar begitu?"

"Iya. Insya Allah begitu, Mas."

"Apa anak-anak selama Mas di luar kota bikin ulah?" mungkin Syahdu agak lelah, mengingat di rumah tidak ada asisten rumah tangga. Sedangkan dua anak kami—sedang lincah-lincahnya bergerak. Aku memahami, dia pasti dirundung rasa letih.

SURGA YANG RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang