Pesona Lelaki Dhuha
Lalita
Setahun lalu.
"Lit, kamu lihat nggak penumpang yang ada di barisan sebelah kanan di deretan kursi VVIP itu?" tiba-tiba saja Hera menggumam tidak jelas padaku.
Saat itu kami berada di kabin pantry yang bisa melihat dengan sedikit terbatas ke arah yang ditunjuknya. Aku masih asyik menata cangkir-cangkir kopi di atas troli dorong. Sebentar lagi, aku harus mendorong troli ini untuk disajikan pada para penumpang. Sudah waktunya jam sarapan.
"Ada apa sih, berisik bener," gumamku melihatnya bertingkah, dan celingukan menatap sosok lelaki yang duduk dengan begitu tenangnya di dekat jendela.
"Dia ganteng bener, Say. Aih, tadi aku ke sana karena dia butuh kudapan. Ya, aku ke sana dong. Duh, nggak kuat jantungku," ungkapnya seraya memegang dadanya dengan dramatis.
"Jangan-jangan sudah punya istri," usikku, agar kehebohannya berhenti.
"Nggak dong, aku sudah tahu kok profil sosmednya. Kami tuh dah tukar nomor ponsel."
"Cepat banget, kalah pesawat jet."
"Harus dong, bentar lagi umurku tuh dah mau limit. Harus gercep kalau ada mangsa sebagus itu."
"Iya, deh. Iya."
"Eh, kamu nggak berburu jodoh?"
"Ah, sudah kan. Sama si dokter kemarin?"
"Terus?"
"Bosen."
"Lah kok begitu? Bukannya dia bucin banget sama kamu?"
"Itu yang bikin ilfil. Kayak nggak ada lelaki lain saja, aku benci cowok lemah kayak dia."
"Jangan-jangan tipe kamu yang dah punya istri. Kayak siapa itu? Pacar kamu tahun kemarin—si Lando," ucap Hera, tapi aku mengabaikannya. Memangnya salah, jatuh cinta sama suami orang?
"Nggak juga kok. Lagi malas saja. Mau break dari hubungan yang nggak jelas dan makan hati."
"Duh, yang suka sok melankolis di depan cowok. Kamu gitu kan my Bestie? Tapi, nggak apa karena aku juga akan begitu jika sedang berburu mangsa!" dia tertawa.
Mau tak mau aku tertawa cekikikan. Merasakan betapa kami ini betul-betul kurang berakhlak—itu bahasa pengajiannya. Duo centil yang suka sekali berganti-ganti pacar. Sepertinya seluruh pegawai di maskapai tahu, tapi karena rata-rata begitulah sisi lain kehidupan pramugari—tentu saja tidak semua, ya akhirnya biasa saja. Asal tidak mengganggu profesionalitas kerja saja sudah bagus.
"Hus!" sela orang di belakang kami—ternyata Santi. Siapapun tahu kalau Santi adalah salah satu pramugari yang sangat disiplin tapi skandalnya banyak. Jadi kami pun tahu sama tahu.
"Tenang, San. Kami cuma lagi negoisasi," bisik Hera dengan genit.
Lalu aku berinisiatif untuk mulai mendorong troli dan membagikan kudapan serta cangkir-cangkir kopi kepada penumpang. Hera merapikan seragamnya dan mulai membantuku melayani kebutuhan penumpang. Ketika kami sampai di deretan kursi-kursi VVIP di barisan paling depan, baru bisa kulihat siapa yang jadi incaran Hera saat ini.
Ternyata seorang laki-laki muda mungkin seusia Hera dengan kemeja rapi dan penampilan yang agak canggung. Terlihat sekali kalau dia bukan laki-laki bertipe flamboyan ataupun playboy yang biasa mempermainkan perempuan. Mungkin itu adalah gambaran dari suami masa depan Hera. Mengingat karakternya yang agak liar dan terkadang seenaknya sendiri. Hera butuh tipe yang sabar dan bisa momong. Bisa jadi sama sepertiku, tetapi tipe laki-laki yang bisa membuat aku takluk berbeda dengannya. Hingga saat itu aku tidak bisa mendefinisikan seperti apa.
"Ada lagi yang dibutuhkan, Pak?" sapa Hera dengan nada manis dan ramah.
"Tidak, Mbak. Terima kasih," sahut lelaki itu dengan suara canggung. Matanya terus lekat memperhatikan wajah Hera.
"Baik, Pak."
Hera mengakhiri dialog sangat singkat tersebut dengan tatapan mata penuh arti.
Nyaris saja aku tertawa dalam hati. Menyaksikan upaya temanku ini mencari calon suami masa depannya. Sebab, usia kami ini memang tidak lagi muda—boleh dibilang sudah matang untuk berumah tangga. Hanya saja gaya hidup di sekitar tempat kerjaku tidak terlalu mempedulikan status pernikahan seseorang. Jadi, sebenarnya tidak perlu terlalu terburu-buru untuk mendapatkan jodoh yang serius.
Aku mendorong troli ke sebelah kanan, sementara Hera masih mengobrol perlahan-lahan dengan lelaki yang diincarnya. Kupikir tadi dia sudah selesai. Aku menggelengkan kepala dan mulai menyapa penumpang.
"Maaf, Pak. Kopi atau—" tiba-tiba suaraku terhenti, karena kulihat lelaki itu terdiam dan sedang melakukan sesuatu yang menurutku agak aneh.
Aku menatapnya beberapa saat yang lumayan lama. Oh, iya aku mengerti. Dia pasti sedang salat—tapi salat apa pada jam 08.00 seperti ini?
"Dia sedang Dhuha," bisik Hera lalu mengajakku melewatinya dulu. Sementara aku masih mengerjap—menatapnya.
Sungguh aneh. Lelaki itu walaupun terlihat sudah di usia pertengahan tiga puluhan tapi tampak begitu berwibawa dan tampan.
"Sudah jangan diliatin terus, nggak sopan," tegur Hera.
Aku sudah mengerti hal itu tidak sopan. Bukankah itu sudah aku pelajari bertahun-tahun yang lalu. Tapi kenapa aku begitu penasaran kepadanya?
Masih ada ya lelaki seperti itu di zaman ini?
"Sepertinya aku jatuh cinta dengan Mas Bas—namanya Baskoro. Tadi dia mengajak minum kopi. Aku keren banget kan, Lit?" pipi Hera bersemu merah. Matanya berbinar-binar bahagia. Kalau dia sedang sangat-sangat serius—kebiasaannya adalah memanggilku dengan nama. Tidak memakai embel-embel 'sayang'.
Aku tersenyum dan mengelus lengannya. Tapi aku sempat menoleh ke arah penumpang yang sedang salat tadi. Rasa-rasanya tadi hatiku jatuh di sana.
Ada rasa kehilangan saat aku harus mengantarkan troli ke barisan di belakang.
Apa yang harus dilakukan untuk menyapa orang sealim itu? Aku sama sekali tidak tahu. Lagi pula kenapa aku harus memikirkannya? Seharusnya tidak perlu kan?
"Kok malah jadi ngelamun?" ucap Hera kepadaku, ketika aku merapikan troli. Meletakkannya di pantry kabin.
"Bulan depan ulang tahun Mama," elakku.
"Lha, terus?"
"Ya, kan biasa. Aku bingung juga milihin apa kira-kira hadiahnya nanti."
"Kalau masalah itu sih gampang, Lit. Ntar deh aku bantuin."
Aku mengulum senyum simpul.
OOO
Setelah landing dan menyelesaikan seluruh seremonial dan kerepotan seperti biasanya. Aku berjalan bersama Hera di sampingku, sembari menyeret koper menyusuri bandara yang masih selalu sibuk dengan keriuhannya.
Hawa hangat dan lembab, seketika menyapa begitu aku menginjakkan kaki di airport ini. Sudah kembali ke hutan beton rupanya. Walaupun di sekitar sini, tidak terlalu banyak gedung ketimbang di pusat metropolis sana. Tetap saja, suhunya sangggup membuat siapapun gerah.
"Eh, aku ke coffee shop dulu ya, Lit. Ada janji dengan Mas Bas!" celoteh Hera, sembari mengerling manja. Dia berlenggak lenggok memamerkan tubuhnya yang terbalut seragam ketat sepertiku—sepertinya banyak orang yang memandang kami—mungkin juga memandangiku.
Mata-mata yang terpukau dengan tubuh indah, kulit bersih, dan tampilan seksi. Sudah biasa bagiku. Malah, terkadang semua itu membuatku agak bosan. Tapi, ya kalau sedang dalam titik jenuh aku akan bersama para pengagumku—hanya sekadar melewatkan hari yang membosankan atau malam yang dingin.
Lalu, aku melihat kelebatan lelaki yang menenteng tas kerja, jaket, dan koper—begitu saja melaluiku.
Dia lelaki dhuha itu. Maksudku, yang kulihat salat di pesawat.
Ajaib, dia tidak menoleh. Tidak menyapaku—jelas-jelas aku tadi melayani makan siangnya. Juga mencoba akrab dengannya—walaupun tampaknya dia hanya menjawab santai dan ramah. Namun, aku mengerti dia tidak tertarik padaku. []
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA YANG RETAK
RomanceJatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kos...