Ini Pillow Talk atau Bahtsul Masail?
Zafir
Mulai lagi.
Begitulah Syahdu jika dia mencurigaiku melakukan sesuatu yang membuat hatinya gatal. Dia seorang pencemburu. Terkadang, wajahnya merona hingga aku rasa dia memang tidak perlu membubuhkan pemerah pipi di sana—sebagaimana lazimnya perempuan lain jika berdandan.
Apa itu namanya? Sepertinya Syahdu pernah mengucapkan itu. Blush on. Ya, dia pernah berkomentar saat kami sedang berjalan-jalan di dalam sebuah mal, karena ada seorang SPG kosmetik menawarkan produknya.
"Jadi, maksud Dinda apa sebenarnya?" aku merasa lucu dan sedikit gemas saat dia menggebu-gebu menceritakan bahwa ulama sekaliber Buya Hamka tidak pernah berpoligami dalam hidupnya—karena salah satunya adalah pesan wasiat dari KH. Mas Mansyur. Orang-orang pilihan dan hebat.
"Maksudku, bukankah Mas Zafir punya cita-cita besar? Jadi, mengapa merepotkan diri untuk mengambil amanah lagi? Bukannya nanti hisabnya jadi lebih berat?" nada-nada suaranya semakin lirih, pertanda kesedihan kembali menghampirinya.
Aku tidak ingin melihat Syahdu menangis lagi—namun dia harus mengetahui bahwa sebagai lelaki—syariat sudah memberi kebolehan padaku untuk memiliki istri lebih dari satu.
Namun, bukan berarti aku akan segera menikah lagi. Itu masih kupikirkan dengan baik, menimbang mudharat dan mafsadah-nya bagaimana. Harus seimbang.
Walaupun, aku tahu sekarang hati ini masih saja terkadang dibayangi wajah Lalita—yang tampaknya memang dianugerahi kecantikan yang unik. Ah, tidak. Aku tidak boleh mengingatnya terus-menerus. Itu sebenarnya kurang baik. Tapi, apa dayaku sekarang ini?
"Apalagi dengan pandangan Imam Nawawi—yang melajang karena ingin produktif menulis dan berdakwah, hingga menghasilkan karya monumental sepanjang zaman, Risyadhus Salihin. Atau Sayyid Quthb yang berjuang untuk umat dan menulis kitab Fi Zilalil Qur'an. Keduanya sama-sama melajang, Dinda. Apa sekalian seperti beliau-beliau juga tidak menikah sama sekali?" sahutku dengan argumentasi lainnya. Karena sepertinya diskusi ini menjadi semakin hangat.
"Iya, kan beliau-beliau ditakdirkan menjadi lajang, Mas. Tapi, Mas kan sudah menikah."
"Ya, begitu. Tak bisa kita hanya melihat satu tokoh saja."
"Oh, jadi Mas Zafir memang punya keinginan untuk berpoligami, begitu?"
"Bukan begitu. Dinda harus tahu kalau hal itu mubah saja."
"Artinya kan boleh Mas. Lalu, maksud Mas Zafir punya peluang begitu?"
"Dinda—" aku menggeleng, melihatnya berusaha keras mengeluarkan semua uneg-uneg dalam hatinya. Juga bisa untuk menambah keberkahan. Itu tentu saja ucapanku dalam hati. Aku masih kurang tertarik berdebat di atas ranjang, bisa-bisa mengganggu kemesraan nanti.
"Tapi, menolak bahaya atau mudharat itu lebih diutamakan ketimbang mencari maslahah (kebaikan) ya jangan dilakukan. Begitu kan, kaidah ushul fiqih-nya, masa Mas Zafir lupa?" Syahdu mengerling penuh kemenangan—dia tersenyum begitu manis—ketika aku hendak berbicara lagi. Namun tak bisa. Sebab, dia mulai mengurai rambutnya yang panjang bergelombang hingga punggung.
Aku menatapnya tanpa berkedip, teringat saat kali pertama bertemu dengannya.
"Dar ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashaalih," bibirnya menyenandungkan salah satu kaidah ushul fiqih andalannya.
Dahulu, saat pertama kali menikah—dia jarang sekali mengikat rambutnya, sehingga aku seringkali terpesona seolah-olah sedang melihat iklan shampoo di dunia nyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA YANG RETAK
RomanceJatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kos...