Doa yang Mewangi
Zafir
Apakah doa memiliki wewangian yang khas?
Aku merasa kalau kali ini tatapan mata Ustadz Hamim seperti mengaduk-aduk isi hatiku. Beliau adalah seorang ustadz yang berpengalaman, mungkin usianya sekitar sepuluh tahun di atasku. Tidak terlalu sepuh, masih tampak bugar sekaligus memiliki kebijaksanaan yang khas.
Aku sengaja memberikan sebagian besar jadwal kultum bakda Zuhur ini kepadanya, agar pegawai-pegawai di sini tidak merasa terpaksa menghadiri kajian singkat setelah salat. Rasanya beliau ini lebih fresh dan memiliki style yang bisa diterima anak-anak muda.
Tetapi, sanggupkah aku untuk bertanya kepadanya tentang poligami?
Kenapa belum-belum aku sudah merasa malu.
Seingatku, Ustadz Hamim hanya memiliki seorang istri saja, dengan lima anak yang sudah mulai beranjak dewasa. Keluarganya sungguh luar biasa romantis dan islami.
Tentu saja, beberapa kali aku dan Syahdu bersilaturahmi ke rumahnya. Bahkan kulihat Syahdu begitu akrab dengan istrinya. Sepertinya, istriku itu memang mudah bergaul dengan banyak orang. Dia terkesan luwes dan lebih banyak mengalah. Tetapi kenapa pada masalah ini, seakan-akan Syahdu tidak kunjung memberikan lampu hijau?
Sebersit keraguan mengumpul di hatiku. Antara desakan ingin bertanya, dan berkonsultasi tentang kegundahan-kegunaan hati yang semakin lama semakin menebal ini. Ataukah hal-hal lainnya.
Kemudian, apakah aku akan bertanya kepada beliau tentang ta'addud? Apa kira-kira cocok?
"Bagaimana Pak Zafir, kabar keluarga di rumah?" suara itu semakin membuat diriku merasa tersudut.
Bagaimana bisa aku bertanya tentang perkara menambah istri lagi, sementara ada keluarga yang seharusnya menjadi tanggung jawabku. Untuk membahagiakan serta memimpin mereka di jalan Allah. Agar selalu taat kepada syariat.
"Alhamdulillah, kabar saya baik-baik saja Ustadz. Tadi, saya mau bertanya sesuatu tapi—"
Tiba-tiba saja ponsel yang ada di saku celanaku bergetar. Tampaknya Ustadz Hamid mengetahui hal tersebut, sehingga ia memberi isyarat agar aku segera mengangkat panggilan tersebut.
Rasanya aku sedikit berdebar, merasa agak khawatir kalau Lalita yang menelpon. Gadis itu seperti tidak terkendali jika sedang jatuh cinta.
Jemariku berkeringat, sebelum mengetahui nama yang melayang-layang di atas layar tipis tersebut.
Syukurlah.
Serasa hatiku digenangi air salju yang begitu dingin. Demikian sejuk, dan terasa sekali aku mendapatkan ketenangan. Kenapa bisa begini?
"Assalamualaikum Mas Zafir?" suara renyah, terdengar manja, namun juga tegas itu berasal dari istriku tersayang, Syahdu.
Dia memang memiliki kebiasaan menelpon ketika jam makan siang. Hanya sekedar bertanya, memastikan kalau aku sudah menghabiskan satu porsi nasi beserta sayur dan lauk bergizi, dan menelan suplemen harianku.
"Waalaikumsalam Dinda, apa sudah makan?" sepertinya justru aku sekarang ingin mendahuluinya memberikan perhatian perhatian kecil yang manis.
Bukan kenapa-kenapa.
Tetapi rasa-rasanya sejak malam lalu, ketika dia memprotes kebiasaanku membaca surah An-Nisa—padahal sama sekali itu tidak sengaja, dia mulai mencurigaiku. Bahwa aku berkeinginan untuk menambah istri lagi. Padahal kan itu belum pasti. Sepertinya, dia agak murung dan aku merasa harus memberinya banyak perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA YANG RETAK
RomansaJatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kos...