2. Tidak Selamanya Perempuan Kedua itu Jahat

122 12 1
                                    

Tidak Selamanya Perempuan Kedua itu Jahat

Lalita

Aku menatap wajahku di depan cermin. Terasa seperti melihat lukisan renaissance, setidaknya itu adalah komentar kebanyakan teman-temanku.

Mereka selalu mengatakan bahwa aku adalah gadis yang beruntung mewarisi garis-garis kecantikan dari papa. Dia seorang WNA. Memiliki darah keturunan Kaukasia.

Seperti lazimnya orang-orang yang tinggal di negara-negara Skandinavia, wajah dan perawakannya tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang di Indonesia. Mereka menyebutnya bule.

Memiliki darah separuh Skandinavia dan Nusantara, tentu saja membuat penampilanku menonjol tanpa harus repot-repot melakukan operasi plastik—sebagaimana tren yang berkembang saat ini.

Tapi, itu semua justru membuatku tidak beruntung kecuali beberapa bulan terakhir ini.

Mau tidak mau aku tersenyum. Ada rona kemerahan di pipiku yang cenderung tirus dengan tulang pipi tinggi.

"Ceria banget sih, memangnya ada apa?" sapa Hera, di sampingku.

"Ah, apaan sih."

"Kamu, sekarang suka senyum-senyum sendiri. Lagi jatuh cinta, Lit?"

"Halah, masa senyum-senyum begitu dianggap jatuh cinta."

"Ya, sapa tahu. Selama ini kamu tuh paling rewel nyari laki, masa sudah dua puluh delapan tahun—cewek secantik kamu masih lajang," dia mulai bawel.

"Namanya juga jodoh, ngapain juga ngotot dicari. Ntar kalau sudah takdir datang juga," elakku.

Omongan Hera ada benarnya, walaupun tidak terlalu. Selama ini aku memang tidak ingin terikat komitmen karena laki-laki dalam bayanganku adalah pr^dator atau sekadar penakluk perempuan semata. Sedangkan, aku tidak mau menjadi mangsa.

Aku bukan perempuan seperti itu.

"Jadi, nyari hijab voal?" goda Hera.

"Iya, dong. Tempatku bekerja kan mewajibkan semua karyawan menutup aurat, nggak seperti kantor kita yang dulu," jelasku.

"Maksudmu maskapai kali, Lit."

"Iya, iya begitulah."

"Udah tobat saja, kamu sekarang."

"Hijrah, gitu istilahnya."

"Yang beneer? Jangan-jangan cowok yang kamu incer itu—"

"Ah, lebay. Ini profesionalitas saja kok."

Kudengar tawa Hera berderai, di antara toilet mal yang kami kuasai ini—rasa-rasanya memang agak susah menyembunyikan sesuatu darinya. Dia terlalu mengenalku, sahabatku sejak sekolah dulu.

"Nanti kamu dijemput sama suamimu, kan?"

"Iya, dong. Awas kalau dia nggak jemput. Nggak bakal aku kasih 'jatah' nanti malam," jawabnya dengan raut wajah galak.

Hera memiliki suami yang begitu baik—laki-laki konvensional yang berprofesi menjadi seorang pegawai di sebuah BUMN kelas atas. Jadi, setelah memutuskan keluar dari pekerjaan sebelumnya, sebagai pramugari—dia menikah dan bahagia. Sungguh sederhana.

Kenapa aku tidak bisa seperti itu? Apa karena aku terlalu rewel dan pemilih?

Tidak. Aku hanya belum menemukan laki-laki yang tepat. Selama ini aku hanya bertemu lelaki dengan spesies buaya darat dan sejenisnya. Sungguh membosankan dan membuat mual.

Namun, sekarang sama sekali tidak ada keraguan—aku sedang jatuh cinta.

Mungkin, saat ini Mas Zafir sedang membaca surat yang kuselipkan di dalam agenda kerjanya. Aku terpaksa melakukan hal kuno itu—menulis surat—semata agar dia mau membacanya.

SURGA YANG RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang