Jatuh Cinta Tidak Berjuta Rasanya
Lalita
Masih setahun lalu.
Aku tahu, tidak semua laki-laki kebal pada pesonaku. Bahkan, setiap kali menyelesaikan penerbangan dan rehat di bandara transit—mengecek kotak pesan merupakan hal yang sedikit menyebalkan, walaupun terkadang sangat-sangat menghibur.
Hallo, Mbak Lalita? Bagaimana kabarnya? Saya penumpang di deretan VVIP tadi, terima kasih jus jeruknya enak sekali. Kalau boleh tahu, bisa tidak kita ngobrol di Café Romea saat transit di Istanbul?
Lalita, ini teman sekolahmu dulu. Ingat kan dengan Dimas? Aku dulu duduk di belakang bangkumu lho. Oh iya, kamu sudah punya pasangan belum?
Hai Lalita. Nama kamu cantik, sejelita orangnya, bisa kenalan lebih jauh lagi? Mungkin kencan di klub terbaru di Singapore?
Lita, aku dapat nomormu dari Hera. Aku pilot di maskapai sebelahmu. Kamu tampak cantik dengan seragam batik dan syal merah. Kalau berkenan, bisa tidak kita ngobrol-ngobrol kalau waktumu luang. Kabari aku segera.
Hai Cantik, hadiah tas dari Paris sudah on the way ke apartemenmu. Kamu longgar kan malam ini? Balas pesanku. Jangan bikin penasaran.
Sembari menyesap cappuccino hangat dan menyilangkan kaki di pojok kafe bandara, aku hanya tersenyum geli menatap pesan-pesan membosankan yang tertimbun layaknya sampah di dalam kotak aplikasi hijauku.
Apa tidak ada pesan yang menarik?
Aku mengeluh, mengembuskan napas kesal. Sembari sesekali, mataku mencuri pandang ke arah Lelaki Dhuha tadi. Siapa dia? Sepertinya bukan orang sembarangan. Mungkin seorang pejabat? Tidak. Dia tampak lebih sederhana, walaupun pakaian yang dipakai elegan dan tidak murahan.
Sekarang, aku malah gugup ketika dia menoleh—seperti sedang mencari seseorang. Mataku mengerjap dan mungkin saja pipiku memerah. Seandainya, tadi aku sempat mengurai rambutku yang memang masih tergelung rapi, tentu saja aku akan tampak lebih menarik di matanya.
Hai, apa yang sedang kupikirkan? Dasar sinting!
Seharusnya, aku tidak bersikap senorak ini. Sudah lama sekali aku tidak tertarik dengan laki-laki. Setidaknya, ketika Lando dahulu tiba-tiba saja menghilang seperti ditelan angin. Dasar, laki-laki tak bermoral. Tetap saja, dia akan bersama dengan istrinya yang hanya mengandalkan kekayaan bapaknya—keluarga old money yang merasa paling berkuasa dan kaya di tanah air.
Padahal, di antara laki-laki lain yang pernah dekat denganku—Lando adalah termasuk yang terbaik. Dia alim artinya tidak jelalatan dan gonta-ganti pacar, royal, ganteng, serta wangi. Sayangnya, aku kalah cepat dengan istrinya itu. Tapi, tak mengapa. Masih banyak laki-laki lain yang mungkin bisa lebih baik ketimbang dirinya.
Aduh, aku bosan. Kenapa harus mengingat si Lando?
"Masya Allah. Iya, alhamdulillah. Kan baru tahun kemarin buka di sana pabriknya. Kalau nggak nyoba mana tahu potensi dari Allah buat kita? Syahdu? Dia baik-baik saja—"
Rasanya jantungnya berdebar agak cepat. Aku seperti sedang menonton film—atau apapun itu yang membuatku tidak bisa berpaling. Lelaki Dhuha itu sedang menikmati secangkir americano, mungkin. Ah, apapun itu sebenarnya. Lalu, dia tampak berbicara dengan suara bass yang tampak begitu ramah dan berwibawa.
Dia tidak terganggu dengan diriku—pramugari cantik, yang sedari tadi menatapnya. Mungkin, dia tidak tahu. Atau bisa jadi, aku ini bukan tipenya. Tapi, masa sih? Dia tidak tergoda dengan diriku?
Aaaarrghh.
Ini tidak bisa. Tentu saja tidak boleh. Mana ada lelaki yang menolak pesonaku ini? Hampir tidak ada.
Merasa kesal, aku memainkan bolpoin dengan mengetuk meja, membuat nada tak beraturan yang tentu saja bisa kudengar. Menyilangkan kaki jenjangku yang putih, dan seringkali membuat laki-laki salah berkonsentrasi—atau apapun itu.
Menunggu kedatangan Hera, yang sekarang mungkin saja masih ber-haha hihi dengan teman kencan barunya. Si Baskoro—calon suami masa depannya kelak. Itu katanya, kalau lancar.
Mangsa memang tidak boleh terlepas jeratnya walaupun sedetik. Harus, terus diburu hingga tidak ada waktu untuk mengelak lagi. Apa bisa trik itu digunakan untuk membuatku bisa mengenal si Lelaki Dhuha itu? Memikirkannya saja sudah membuatku gelisah dan kesal setengah mati.
Memangnya apa sih hebatnya laki-laki yang sedang salat di pesawat? Aku sering juga kok menemukannya. Tapi, kebanyakan sudah berumur, atau berpenampilan tak menarik alias jelek—maaf harus jujur. Seleraku memang agak berbeda dengan perempuan lain.
Aku mengusap kening. Mengembuskan napas berat. Mungkin ini memang harus segera diakhiri. Sebaiknya, aku mencari teman kencan nanti malam. Tak apalah.
OOO
"Cemberut saja sih, Say?"
Aku mendongak, menemukan senyum lebar Hera. Tentu saja aku memanyunkan bibir kesal, menunggu sahabat sedang kencan sebenarnya nggak berat-berat amat sih. Tapi, entah kenapa kok hari ini aku merasa cepat marah dan emosiku nggak stabil.
Eh. Sepertinya Lelaki Dhuha itu hendak pergi. Sialnya, aku merasa kakiku tidak bisa dihentikan lagi. Ini tidak mungkin. Aku sebenarnya bisa menguasai gejolak hati, sungguh memalukan. Apa sih istimewanya dia?
Sementara itu, Hera memanggilku beberapa kali. Tidak terlalu heboh, namun tetap saja kurang mampu menghentikan tingkah goblokku ini.
"Aduh, maaf."
Dia berhenti, saat kami bertabrakan di depan pintu masuk. Lelaki itu menyingkir—membukakan pintu untukku agar aku bisa melenggang pergi.
"Silahkan, Mbak duluan."
Dia berkata ringan, tanpa memandangku. Biasanya, para lelaki lain akan segera salah tingkah, meminta maaf dengan norak, mencoba akrab, atau menawarkan secangkir kopi, dan pertemanan.
Tapi, ini tidak Lita!
"Ah, iya Pak. Terima kasih. Oh iya, Bapak kan tadi di pesawat bareng maskapai saya ya?" aduh, ngomongku kok belibet begini. Lidahku seperti terlipat-lipat.
Dia terdiam agak lama. Nyaris seperti menunggu hari kiamat saja, lalu kulihat senyum simpul di bibirnya, "Iya. Terima kasih Mbak. Saya permisi dulu, sedang ditunggu istri di depan."
Ya, Tuhan! Dia sadar nggak sih sedang ngomong apa tadi itu?
Kurang ajar banget sih? Jadi, maksudnya jangan ganggu aku begitu? Karena aku sudah beristri?
"Oh iya, Pak."
Dasar Lita goblok!
OOO
"Sapa sih? Bete banget mukamu, Say?" Hera cekikikan memandangiku yang mungkin sekarang sedang terasa 'babak belur' serta kesal.
Aku melengos, mengambil cappuccino yang sudah habis uapnya sembari menatap jauh ke luar. Bayangan lelaki sialan tadi sudah hilang. Kasar sekali dia itu—memangnya siapa sih dia? Berlagak sekali tidak menaruh hati atau setidaknya tertarik padaku.
"Tahu deh."
"Kamu lagi naksir atau apa sih? Tadi siapa cowok yang di depan pintu itu? Gebetan baru ya Say?" dia tertawa berderai, "kok rasanya tadi dia nggak lihat kamu. Hebat juga ya, bisa ngalahin pesona Lalita sang ratu maskapai!"
"Bisa diem nggak Her?"
"Nggak," dia kembali ngakak, mencubit hidungku, "padahal hidung kamu ori nggak oplas."
"Sudah dong."
Dia masih cekikikan, terasa sekali sedang mengolokku, tapi hatiku terasa nyeri—ah itu berlebihan. Aku mungkin sedang terbius rasa penasaran hari ini. Jadi sudahlah, kenapa harus memikirkan orang yang tidak melihat kualitas diriku dengan baik?
Lupakan saja lelaki kasar nggak punya attitude seperti itu. Sudah, jangan dipikirkan lagi.
Tapi, ternyata itu hanya keinginan semata saja. Buktinya, aku salah duga. []
Note: Yelaah, Liiit. Segitunya sama suami orang, OMG deh pokoknya. Haiissshhh. 🤐
KAMU SEDANG MEMBACA
SURGA YANG RETAK
RomanceJatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kos...