3. Hati Istri yang Terpaut

85 11 1
                                    

Hati Istri yang Terpaut

Syahdu


"Ma, kok berhenti?" komentar Zayyan, saat aku tanpa sadar memejamkan mata sejenak.

Jagoanku itu mengerjap lucu dengan bola mata yang bersinar begitu terangnya, padahal sudah hampir sepuluh menit aku membacakan buku dongeng kesukaannya.

Aku tertawa—Zayyan walaupun terkadang agak susah berkonsentrasi pada sesuatu namun tetap saja tampak begitu lucu di usianya yang sudah menginjak tujuh tahun.

Ada perkembangan bagus, setelah menghabiskan ratusan jam terapi di sebuah klinik psikologi tumbuh kembang anak pada sebuah rumah sakit besar di kota ini.

Sebelumnya, sulungku ini memang mengalami speech delay (gangguan berbicara) sehingga nyaris di usia hampir empat tahun—kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya kurang begitu jelas.

Belum lagi, tantrum yang seringkali dilakukannya gara-gara kemauannya sulit dipahami. Bisa berjam-jam dia ngamuk dan melempar barang-barang. Sungguh menyulitkan.

Sampai-sampai saat itu aku curiga jangan-jangan ada gangguan pendengaran? Tapi, Zayyan bisa mendengar dengan sangat baik. Itu kurasakan sejak dia masih bayi. Walaupun, tetap saja dia harus melakukan tes berra untuk diagnosis awal sebelum melakukan terapi di psikolog.

Tahun-tahun itu sungguh berat. Jika orang tua lainnya, bercerita betapa cerewet dan bawelnya anak mereka—aku justru diam-diam menginginkan hal itu dilakukan oleh anakku. Sebab, bibirnya hanya mengucapkan sepatah dua patah saja.

"Umma—aku kok sudah mengantuk," ucapnya sembari menahan kuap. Matanya sudah agak sayu—pertanda jika dia sekarang sudah mulai mengalami kantuk.

Aku tertawa dalam hati. Anak-anak selalu saja bisa menghibur—bahkan pada saat tersulit sekalipun. Seperti yang kurasakan sekarang.

"Tidur saja dulu Kak Zayyan. Jangan lupa berdoa dulu," bisikku sembari mengelus kepalanya.

Dia lalu komat kamit membaca doa sebelum tidur, sementara aku beranjak mematikan lampu. Temaram cahaya di dalam ruangan—aku samar menatapnya dengan penuh kedamaian.

Kini, semua terasa begitu damai dan sunyi. Aku menarik napas dalam-dalam—merasa kesedihan kembali menghampiri. Setelah tadi, tanpa dapat kutahan aku begitu saja menangis dalam salat ketika Mas Zafir membaca ayat-ayat surah An-Nisa lagi.

Entahlah, apakah dia sengaja membaca ayat-ayat tentang poligami ataukah tidak. Hanya dia yang tahu. Ataukah dia sedang mendalami tafsirnya, hingga ketika dia mengungkapkan hasratnya untuk mendua—aku tidak bisa menolak.

Fankihuu maa thaaba lakum minannisaai matsna wa tsulasa wa rubaa ...

Nikahilah perempuan-perempuan yang kau sukai, dua, tiga, dan empat ...

Tiba-tiba saja, dadaku dilanda rasa sesak.

Mengingat beberapa hari lalu, aku menemukan begitu banyak pesan di dalam direct message Instagram suamiku. Kalimat-kalimat dalam chat-chat personal tersebut begitu intim. Begitu menyentuh hati. Bagaimana kah perasaan Mas Zafir ketika membacanya?

Tak bisa kubayangkan. Apakah perempuan itu tidak malu? Di mana kehormatannya sebagai perempuan?

Sungguh miris.

Kalimat-kalimat itu begitu menggoda dan terasa sekali jika dia sedang kasmaran dan jatuh cinta pada suamiku! Perempuan mana yang tidak cemburu?

Ingin sekali aku menghardiknya, tetapi setelah kulihat profil dan foto-foto di laman pribadinya—aku mengerti jika kemungkinan dia adalah gadis yang belum sepenuhnya memahami syariat.

Aku berkesimpulan, mungkin saja dia salah satu pengagum Mas Zafir. Beliau memang terkadang membagikan kegiatannya di laman social media tersebut—walaupun tidak kerap dan itu hanya beberapa kali. Mengingat kesibukannya mengatur perusahaan rintisan yang telah dibesarkannya sejak awal menikah dahulu.

Ketika aku masih harus menempati rumah kontrakan yang sempit dan banyak sekali tikusnya. Tapi, rasanya saat itu tidak ada banyak godaan dari beragam perempuan. Semua damai dan tenang walaupun dalam keterbatasan.

Sungguh berbeda dengan sekarang.

Saat Mas Zafir pernah mengunggah kegiatan liburan kami di Dubai dan Paris saja, sudah begitu banyak pesan-pesan mengular di dalam kotak masuk instagramnya. Bahkan, ada perempuan yang tiba-tiba saja mengirimkan PAP buah dadanya. Subhanallah. Mengerikan.

Aku nyaris saja gemetar—dan tiba-tiba saja menyentuh tombol delete dan memblokirnya—dengan akun Mas Zafir tentunya. Kenapa gadis-gadis ini? Padahal jelas-jelas Mas Zafir memfotoku dari belakang saat aku sedang memandangi Menara Eiffel. Lagi pula, kenapa sih Mas Zafir punya akun di Instagram?

Beliau berkata—terkadang ada klien perusahaannya yang memang ingin melihat akun social media-nya secara pribadi. Bukannya akun resmi perusahaan. Lalu setelah begitu lamanya, tidak begitu aktif. Tiba-tiba saja—pesan-pesan romantis itu berjubel di sana.

Pesan dari seorang perempuan yang begitu cantik dan masih tampak muda—Lalita. Kupikir awalnya, dia seorang model atau mungkin selebgram terkenal. Namun, sepertinya dia hanya beraktivitas di social media untuk hobi semata.

Lalu, apakah benar dia dan suamiku sudah menjalin hubungan yang serius? Atau aku hanya sedang dilanda rasa cemburu?

OOO

"Sudah beberapa minggu ini—sepertinya Mas Zafir suka sekali membaca surah An-Nisa dalam salat," ucapku saat akan beranjak tidur di sampingnya.

Kulihat dia menutup ponselnya dan meletakkanya di nakas begitu saja. Tampak agak kaget namun seperti biasa, Mas Zafir bisa begitu saja mengubah raut wajahnya dengan sangat piawai—keterampilan seorang pebisnis dalam bernegoisasi. Tapi, aku bukan kliennya sekarang, melainkan istrinya. Kenapa dia tidak berterus terang saja?

"Ternyata Dinda begitu khusyuk hingga tampaknya mendal^mi ayat-ayat yang sedang kub^ca dalam salat," balasnya dengan raut wajah tanpa dosa. Serta seringai senyum yang tampak begitu lebarnya.

"Aku kan tentu saja menyimak, Mas. Tapi, akhir-akhir ini konten ayat yang dibaca Mas Zafir hanya berhubungan dengan pernikahan saja. Apa tidak ada ayat-ayat lainnya? Misalnya saja tentang kiamat dan malaikat-malaikat pencabut nyawa, Mas bisa juga kan membaca Al Qiyamah atau An Naziat?" cerocosku tidak bisa kutahan lagi, "apa Mas mau mengisi seminar dan workshop pernikahan untuk mahasiswa lagi? Kok Dinda nggak dikasih tahu jadwalnya?"

Kulihat pipi Mas Zafir tampak memerah—atau ini hanya perasaanku saja? Wajahnya memang tampak bersih dan terawat—tentu saja karena aku yang menganjurkannya untuk melakukan itu semua.

Bukankah Mas Zafir seringkali bertemu dengan banyak orang? Kalau penampilannya dekil—tentu saja itu mengganggu aktivitasnya. Lagi pula, aku suka memberi sentuhan padanya agar tampak lebih berkilau lagi.

"Dinda, Mas hanya membaca surah-surah secara random saja. Tidak ada maksud ataupun hal lainnya. Nanti Mas bacakan ayat lainnya kalau begitu. Dinda mau Mas baca surah apa?" sanggahnya masih juga belum mau bercerita banyak hal.

"Tentang sakaratul maut."

Dia menelan ludah. Tampak menatap geli padaku, "Jangan judes begitu. Memangnya Dinda sedang cemburu atau kenapa? Coba cerita sama Mas."

"Apa Mas Zafir punya keinginan dan hasrat untuk menikah lagi?"

"Dinda, kenapa bertanya begitu?"

"Ya, siapa tahu sih, Mas. Kan Dinda hanya bertanya saja, apa tidak boleh?"

"Boleh-boleh saja. Tapi, nanti Dinda ngambek lalu Mas nggak diajak sarapan dan ditinggal di ruang makan sendirian."

"Memangnya betul ya, Mas Zafir mau menikah lagi?" napasku segera saja tampak semakin cepat dan rasa-rasanya emosiku sudah ke ubun-ubun.

"Kan Mas nggak ngomong begitu, Dinda. Jangan marah dulu."

"Mas, tahu nggak cerita tentang Buya Hamka dan poligami?" aku mengucapkan itu dengan nada canggung, karena sekarang pembicaraan ini semakin serius.

"Kenapa memangnya?"

"Saat itu Kyai Haji Mas Mansur pernah berpesan pada Buya agar beliau jangan berpoligami jika memiliki keinginan dan cita-cita yang ingin tercapai. Karena menurut Kyai poligami itu merepotkan." []

SURGA YANG RETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang