Bab 401 - Riana Was Confused

44 2 0
                                    

Pavlo malah cuek menghempaskan bokongnya di sofa besar. "Anjing malang, kemari!" teriak Pavlo memanggil.

"Sebaiknya kau kurung anjing itu Pav, aku takut dia melukai adik perempuanku," ujar Daniel, karena Aurora suka datang mengunjungi Pavlo.

Seketika Pavlo berwajah muram melihatnya. "Kau memberiku perintah, siapa kau?!" bentaknya.

Daniel menunduk, tidak berani melihat sorot mata itu padanya.

Bianca hanya menggeleng-geleng kepala melihat perilaku Putranya. "Apa kalian melihat Brian?" Bianca malah bertanya lain.

Revano menjawab, "Tidak Tante."

Suasana hati Pavlo masih kesal sebab temannya terus membahas Arora di hadapannya, padahal dia sendiri tidak suka pada adik temannya itu. Terlebih lagi Ibu dan Ayahnya selalu saja membahas perjodohan itu, padahal dia sendiri mencintai gadis lain. Siapa Arora yang selalu mengklaim dirinya sebagai kekasih kecilnya, padahal hanya Riana saja kekasih kecilnya.

Sudah 30 menit mereka terdiam di ruang tamu, namun tidak ada yang berani membuka suara.

Revano sejak tadi memperhatikan Pavlo seperti pikirannya ada di tempat lain. "Pav, are you okay? Kenapa aku melihatmu tampak berbeda dari sebelumnya." Revano mengerutkan alisnya, sebab Pavlo tidak menanggapinya.

Yustine berani-kan diri bertanya padanya, "Pav, bagaimana rencanamu membunuh Simsom? Kau tahu sendiri kan, dia lagi-lagi menangkap anak buah kita di pelabuhan seminggu yang lalu. Bahkan organ dalam yang akan di ekspor keluar Negeri, kini ditahan aparat kepolisian. Kalau ini terus berlanjut, aku tidak yakin akan keselamatanmu juga Pav," jelasnya.

Revano menghela nafas, ia tidak mengerti kenapa Pavlo terus saja menunda-nunda? Padahal waktu itu Pavlo sudah yakin akan membunuh Simsom dalam waktu dekat, tapi Pavlo malah berubah pikiran lagi, dan tidak katakan apa penyebabnya dia mengulur waktu. Maka dari itu semua anggota mulai ragu padanya, dan Dirgantara sudah mengancam Pavlo kalau gelarnya yang menjadi Raja penjahat, akan di cabut dan berikan pada Vano Wilson.

Pavlo memijat keningnya, ia bingung harus bagaimana lagi? Rasanya ia tidak tega membunuh Simsom. "Kalian boleh pergi, aku tidak ingin diganggu." Pavlo beranjak dari sofa.

Revano tidak tinggal diam dan berkata, "Kenapa kau bisa berubah seperti ini Pav, apa yang membuatmu seperti ini, kau seperti pecundang, tidak seagresif dulu. Seakan-akan ini bukan jati dirimu lagi."

"Hahaha..." Pavlo kembali duduk, dia marah di lawan seperti itu pada Sepupunya sendiri. "Yah, aku setuju Simsom mati, tapi jangan suruh aku yang membunuhnya. Kalau kau bisa membunuhnya, maka lakukan sendiri tugasmu, dan jangan libatkan aku atas rencana ini," ucapnya penuh penekanan.

Revano melirik kedua kawannya, lalu berkata dengan penuh ambisi kuat, "Oke, aku yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Daniel! Silahkan panggil Brian untuk berdiskusi denganku mengenai hal ini." Revano bicara sambil melirik Pavlo yang hanya diam dengan pandangan kosong. Dan entah apa yang dia pikirkan saat ini. Begitu juga dengan Revano mulai curiga padanya.

*
*
*

Vano mengajak Riana dan Sasa datang ke Apartemen. Terpaksa Vano membawa Sasa ke rumahnya, sebab tidak mungkin Sasa pulang dalam keadaan babak belur dan dia masih lemah.

"Kakak Vano, bisakah kau menelpon Danya untuk datang juga?" harap Sasa.

Vano mengambil ponsel di ranselnya. "Tentu saja bisa."

Riana melirik seluruh ruangan yang menurutnya 4 properti di jadikan satu apartemen. Ia lalu mengamati perabotan disana yang menurutnya Vano selama ini hidup mewah dan tidak kekurangan apapun itu. Entah bagaimana bisa Vano hidup berkelimpahan disini?

"Van, apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"

"Oh, boleh Riana," katanya sambil mengirim pesan pada Danya.

"Siapa yang sudah membiayai hidupmu selama ini? Terus, siapa pemilik rumah ini?"

Vano heran, menurutnya agak aneh Riana menanyakan hal ini. Padahal sebelumnya ia sudah beritahukan itu pada Danya dan Sasa. Apa jangan-jangan Riana belum tahu mengenai dirinya selama ini? "Oh, ini bukan rumahku Riana, ini milik temanku. Aku hanya numpang hidup saja dengannya," ungkapnya.

"Temanmu kaya sekali Van, dia murah hati," katanya senyum-senyum.

Vano senang dengar pujian itu. "Ia, dia memang baik. Kau tahukan, laki-laki berambut perak yang perna kau lihat di taman waktu itu? Dia anak pengusaha kilang minyak di Dubai."

Riana lupa mengenai pria itu. Lagian itu sudah berlalu 5 tahun lamanya. "Maaf, aku tidak ingat wajahnya seperti apa. Apa aku boleh lihat fotonya?" Riana malah penasaran dengan sosok pria yang selalu menatap buas dirinya waktu itu.

Vano meneguk ludahnya, dia tidak boleh perlihatkan Foto Pavlo, kalau dia sendiri sudah bersumpah untuk menjaga identitasnya. Vano pura-pura mengangkat telepon, padahal tidak ada siapapun yang menghubunginya. "Danya, Adikmu ada di rumahku, di tunggu yah?!"

Sasa menyenggol lengan Riana. "Yang jelas pria itu tampan sekali. Apa kau mau coba berkencan dengannya," kata Sasa usil.

Riana malah kesal mendengarnya. "Cuma Lukky levelku!" tegasnya sampai di dengar Vano, membuat perasaan Vano kembali hancur.

Vano kira Riana sudah melupakan Lukky, ternyata Riana tidak bisa melupakan pria yang sebentar lagi menjadi saudaranya. Padahal ini sudah berjalan 4 bulan dan Riana belum bisa move on.

"Riana kau mau makan apa?" Vano demi menutupi perasaan galaunya.

Riana geleng kepala, ia ingin diet demi membentuk bodynya agar lebih baik lagi. Dia pikir kalau dia semakin cantik, maka Lukky akan memaafkan dirinya. Tapi hanya satu yang membuatnya bertanya-tanya dalam pikirannya, kenapa Lukky sampai memblokir kartu kredit-nya juga? Padahal dia ingin membeli skincare dan mempercantik diri di klinik kecantikan. Hah, sungguh ironisnya dia yang hanya andalkan seluruh kekayaan Lukky. Sungguh memalukan ia, menjadi wanita super matre hanya ingin bersain dengan artis papan atas.

'Bagaimana caraku mendapatkan uang banyak? Apakah aku harus mengemis pada Lukky, atau Ayahku?' tanyanya dalam hati, sampai lamunan-nya terhenti karena Danya mengagetkan dirinya.

Transmigration Agent's Daughter (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang