Bab 406 - Our Relationship

5 0 0
                                    

Johan kebingungan, sebab timnya tidak menemukan sidik jari lain disana selain 6 orang penjahat itu. "Lalu, kenapa bisa ada senapan di toilet? Dan sedang apa kalian di toilet saat kami dan tim datang?"

Johan banyak tanya, karena ada banyak yang mengganjal dengan kejadian ini sampai tim-nya di buat kebingungan akan kasus tersebut. Yang mengherankan lagi, dari mana asal penembak berbahaya ini? Orang itu bukan sembarang penembak biasa sampai tembakan sasaran selalu tepat di dahi, dan rata-rata 6 korbannya meninggalkan bekas yang sama.

Riana merasa aneh pada Sasa sampai berbohong mengenai dirinya yang pingsan, yang dia tahu Sasa inilah yang berada di belakang pintu waktu itu. Terus kenapa Sasa malah berkata sebaliknya. Apa jangan-jangan Sasa memang ingin melindungi dirinya, dari banyaknya pertanyaan Johan?

Sasa menjawab, "Saya juga tidak tahu kenapa Pak, itu saya sendiri yang membopong Riana masuk ke kamar mandi agar dia cepat sadar dari pingsannya," alasannya sambil melirik diam-diam Riana.

Johan menghentikan ketikannya. "Baik Nona Sasa, cukup sampai disini saja, karena ini sudah larut malam juga. Besok saya akan memanggilmu lagi."

Johan tidak mau menyerah karena dia harus tahu siapa penembak hebat itu, sebab ia sendiri perna menangani kasus tembakan yang sama, dan pelakunya adalah Mafia dari Negara asing yang tega bantai keluarga CEO otomotif SUV, namun Mafia itu berhasil kabur menggunakan Helikopter anti badai menuju laut Barat saat tengah malam.

Sasa menghela nafas saat Johan sudah keluar ruangan.

"Sasa, memangnya itu benar?" tanya Riana masih penasaran.

Sasa tidak tahu mau berkata dari mana kalau Riana sendirilah yang membunuh orang itu. "Riana, apa kau merasa kesurupan waktu itu."

Riana tersentak kaget sampai bulu romanya merinding. "Maksudnya?"

Sasa bicara dalam hati, 'Padahal kau sendiri yang menyuruhku untuk tidak katakan kebenarannya Riana.' Sasa berkata lain padanya, "Riana, benar yang kau katakan, kalau sebenarnya rumah itu angker deh—"

Keluarga menghampiri mereka.

"Anakku, bagaimana, apakah kalian sudah katakan semuanya?" tanya Puspa mengelus kepala Riana dan Sasa, ia merasa bersalah sudah meninggalkan terlalu lama Putrinya di rumah.

"Sebaiknya kita cari tempat lain untuk bermalam. Rumah itu tidak bisa dihuni dulu."

"Ia, mungkin kita harus pindah rumah lagi," gumam Puspa.

"Lukky, tolong kau pesan beberapa kamar hotel!" suruh Sandy.

"Hotel yang mana Ayah? Aku kurang paham hotel disini." Lukky perlihatkan ponsel pada Sandy. Maklum Lukky sudah lupa jalan.

Riana spontan berbalik badan, karena ia heran kenapa Lukky seperti orang yang sangat polos. Padahal terakhir kali Lukky paham betul dengan masalah hotel dimanapun itu. "Lukky, apa mau aku bantu?"

Lukky bergegas mengambil alih ponselnya. "Boleh-boleh Riana! Tolong bantu aku." Senang sekali ia di tawarkan bantuan.

Riana melihat nama hotel yang sudah disinggahi tertera di sana. "Lukky, ini saja," ucapnya dengan suara lemah.

Lukky malah gemas mencubit pipinya. "Jangan sebut namaku! Kau harus memanggilku Kakak juga, paham nggak?!"

Seketika wajah Riana berubah menyembunyikan perasaan sedihnya. Sampai segitunya kah Lukky sampai lupa kenangan asmara mereka waktu itu. Riana tidak sadar menyentuh tangan Lukky, seperti selalu ia lakukan kalau mereka bertemu. Katakan saja dia merindukan sosok Lukky yang selalu membuatnya nyaman, penuhi kasih sayang, dan sangat romantis seakan dunia mereka berwarna.

Ia juga mengingat Lukky memiliki wajah tegas yang kadang moodnya suka berubah menjadi sosok dingin, datar, dan tidak tersentuh, namun semuanya itu akan sirna saat mereka bersama. Senyuman Lukky bagaikan mutiara di hatinya dan tidak bisa dilupakan. Tapi kenapa ia melihat Lukky yang sekarang seperti orang bodoh, seakan lupa akan masa itu. Tidak ada wajah tegas yang di perlihatkan Lukky pada siapapun itu, seolah inilah sifat lembutnya.

Tangan Riana menyingkir saat Lukky bicara pada Ayahnya.

"Ayah, ayo kita pergi, aku sudah bayar hotelnya."

Mereka semua berjalan ke depan meninggalkan Riana berjalan sendiri di belakang Lukky. Riana tidak sadar meneteskan air matanya. Sangat sulit ia melupakan masa-masa bersama Lukky, ingin rasanya ia teriak dan mencium paksa cintanya sekarang, namun ia urungkan itu saat melihat Ibunya bergandengan tangan dengan Sandy, hanya perasaan sakit hati saja yang ia pendam saat ini dan entah sampai kapan ia memendam perasaannya? Andaikan saja orang tuanya tidak bercerai, mungkin dia dan Lukky masih bersama.

Riana tersenyum kecut membayangi itu semua. 'Sejak awal seharusnya kau tidak memberiku harapan.'

Tiba-tiba Lukky mundur jalan menggandeng tangan Riana, agar tidak tertinggal. "Adik, kau lama sekali berjalan," katanya senyum-senyum seperti pria tak berdosa.

Riana menampilkan wajah jutek karena seakan Lukky ini tidak punya salah. "Lukky, bisa kau berhenti menyentuhku. Urusan kita cukup sampai disini." Ia hempaskan kuat tangannya, lalu berlari mendepani Puspa sampai di kejar Sasa dan Danya.

Lukky melihat telapak tangannya sendiri, ia heran kenapa Riana bicara kasar seperti itu. Apakah tangannya ini sudah melukainya? Lukky geleng kepala tidak tahu sambil berjalan.

"Riana! Riana! Kau kenapa lari?" tanya Danya menggapai tangan adiknya saat berada di depan mobil.

"Tidak apa-apa Kakak, entah kenapa badanku sakit semua." Ia lalu memijat lengan atasnya sendiri.

Sasa tahu apa yang menyebabkan dia seperti itu. Tentu saja tubuhnya sakit karena dia bertarung melawan 6 perampok itu sendirian. Riana memegang senjata saja sudah jelas senapan itu begitu berat, di tambah aksi brutalnya yang berlari sembunyi, menunduk, dan menembak itu saja akan menguras tenaga orang awam seperti dirinya.

Transmigration Agent's Daughter (Season 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang