episode 32 [] something that looked familiar

26 11 0
                                    

Begitu apron berlogo kafe telah terpasang di atas kausnya, Navea keluar dari ruangan karyawan dan menyusul Seli di belakang kasir. Ketika berdiri di samping gadis yang lebih tua 4 tahun darinya itu, ia mendapati bahwa pandangan Seli terarah pada salah satu pengunjung yang duduk di meja samping jendela.

"Liatin apa, Kak?" Navea akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

"Gue curiga aja, tuh, anak bolos dalam rangka kabur dari rumah versi mini."

"Huh?"

"Itu anak udah duduk di sana sejak dua jam yang lalu, Na. Emang selalu mesen kalau makanan atau minumannya abis, sih, tapi gue gak mau kafe kita jadi tempat pelarian bocah yang sok-sokan kabur dari rumah."

"Tahu dari mana kalau dia kabur dari rumah?"

"Ya belum pasti, sih. Gue cuma keinget sama temen gue waktu jaman SMA dulu."

"Jangan mikir yang nggak-nggak, deh, Kak. Mungkin aja dia emang suka sama makanan atau minuman sini terus gak jadi pulang. Kan, lo sendiri yang bilang dia pesen makanan sama minuman mulu." Navea berusaha untuk tidak ikut dalam drama yang muncul di kepala rekan kerjanya itu. "Lagian, kalau nguntungin kafe, ya, bagus dong."

Kemudian gadis yang Navea tebak masih berada di jenjang SMP itu bangkit dari kursinya. Terlihat menuju ke arahnya dan Seli yang berada tepat di belakang kasir.

"Permisi, Mbak. Boleh tanya toiletnya di mana?"

"Ah, bisa lurus aja. Ada di ujung lorong sebelah kanan," jawab Navea dengan cepat setelah tanpa sengaja memperhatikan gadis itu.

Mengucapkan terima kasih sembari tersenyum, lalu gadis itu beranjak.

Entah mengapa, senyum gadis itu terasa familiar di mata Navea. Cukup sering ia lihat, tetapi lupa siapa pemiliknya. Namun, berusaha untuk mengenyahkan pemikiran itu, ia menggeleng kecil lalu melihat ke arah luar kafe.

"By the way, Na ...." Seli menggantung ucapannya sampai Navea menoleh. "Gelangnya cantik. Kayak gelang couple."

"Oh, ini gue beli waktu di bazar kapan hari."

"Bazar yang barengan sama music fest itu?"

"Iya, Kak."

"Gue juga ke sana waktu itu. Suka sama beberapa band-nya. Suara vokalisnya nyaman di telinga gue."

"Berarti lo nonton sampe selesai, dong, itu acaranya?"

"Kan, mumpung akhir pekan dan gue gak punya tugas dengan tenggat dekat. Jadi, ya udah gue gas aja bareng temen-temen gue."

"Kirain Kak Sel gak punya temen gegara sibuk di kafe sini," ujar Navea dengan sengaja untuk menggoda rekannya itu. Membuatnya teringat pada Januar yang dulunya tidak percaya jika sebagai anak baru, dirinya bisa membuat pertemanan dengan cepat.

"Enak aja lo. Gini-gini gue di kampus juga bangun relasi sama anak sekelas yang masih bisa satu frekuensi sama gue." Seli membalas dengan berapi-api. "Gue juga butuh bersosialisasi biar gak mumet kali."

"Terus lo sendiri ke sananya sama siapa? Kan, tumben-tumbenan seorang Navea mainnya jauh banget. Ini aja kerja gegara deket sama rumah."

"Ya gue sama temen."

"Temen apa temen, nih? Sounds like concert date."

"Tahu dari mana kalau temen gue yang bareng ke sana itu cowok?"

"Nah! Gue bener berarti lo concert date sama doi! Itu gelang juga pasti couple-an sama cowok lo itu, kan? Astagaa Nanaku udah besar, ya."

"Apaan, sih, Kak? Dia bukan cowok gue. Kita bener temenan doang."

"Temen tapi demen, kan?"

"Capek gue sama lo, Kak."

"Jujur aja kenapa, sih? Cowoknya itu yang mana di antara yang sering ke sini?"

"Udah, Kak! Gue beneran gak pacaran!" Navea berseru kesal, tetapi tidak begitu dihiraukan oleh rekan kerjanya itu. Malah Seli memecahkan tawa di detik selanjutnya.

"Nanaku gemes banget, sih, kalau kesel gini." Seli berusaha untuk meraih kedua pipi Navea, tetapi gadis itu bergerak lebih cepat untuk menghindar. "Apa perlu gue telponin ayang lo biar gak kesel lagi?"

"Stop, Kak Sel! Gue beneran marah, lho." Navea memasang wajah garang sambil menatap Seli.

Saat ingin memberikan sahutan lain, Seli dihentikan oleh bunyi lonceng kecil yang berada di atas pintu. Seorang lelaki berkacamata memasuki kafe lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Navea terus memperhatikannya sampai lelaki itu memutuskan untuk memesan terlebih dulu.

"Hai, Na!"

"Hai juga, Kak!" Navea membalas sapaan singkat itu. "Jadi mau pesen apa?"

"Mango smoothies aja satu."

"Oke, tunggu bentar, ya."

Baru akan beranjak untuk membuatkan pesanan milik Aidan, Navea urung melangkah beberapa saat kala mendapati gadis berseragam SMP tadi terlihat memanggil Aidan dengan begitu akrab.

"Kak Aidan! Kakak lama banget, sih. Aku udah nunggu dari tadi."

"Kamu ngapain di sini?" Aidan menunjukkan keterkejutannya. "Sekolah kamu jauh di sana kenapa bisa main sampe ke sini? Udah izin? Udah dari kapan juga di sini?"

"Kejutan ...." Gadis itu menjawab dengan ragu sekarang.

"Itu gak ngejawab pertanyaannya."

"Santai aja, dong. Lagian aku nge-chat Kak Aidan, kok, sepuluh menit lalu. Pasti Kakak gak liat."

"Misi.. pesanannya." Navea datang dengan cup plastik tinggi di tangannya—pesanan milik Aidan.

"Na, gue mau nanya. Ini anak udah di sini dari kapan?" Aidan bertanya sambil menunjuk gadis yang tidak Navea ketahui namanya itu.

"Kata Kak Seli, sih, udah sekitar dua jam. Iya kan, Kak?" Navea menoleh pada Seli, yang langsung ditanggapi dengan anggukan.

Seketika Aidan kembali menjatuhkan pandangannya pada gadis itu. "Dua jam dan kamu baru ada nge-chat aku sepuluh menit lalu. Good, Ly."

"Aku gak ada niat telat ngasih tahu."

"Udah, gak usah alasan lagi. Beresin barang kamu terus tunggu di motor sana."

Tidak bisa membantah lagi, gadis itu akhirnya beranjak dengan gerakan lesu. Setelah gadis itu keluar dari kafe sambil menenteng tasnya, Aidan pun mengeluarkan dompetnya.

"Gue bayar sekalian sama semua yang belum dia bayar. Jadinya berapa?"

Seli yang lebih dulu menjawab pertanyaan itu lalu menerima beberapa lembar uang diberikan oleh Aidan.

"Siapa lo, sih? Cewek? Galak amat lo." Seli bertanya seraya memberikan uang kembalian pada Aidan.

"Bukan. Adek gue."

Pantas saja Navea merasa tidak asing dengan senyum gadis tadi. Ternyata benar pernah melihatnya, pada Aidan.

"Oh, kirain selera lo yang masih kecil gitu, bukan kayak temen gue yang satu ini." Seli mendaratkan tangannya di atas kepala Navea.

"Kak, apa-apaan, sih?" Navea menepis tangan Seli dengan raut wajahnya yang sudah berubah masam.

Aidan terkekeh melihatnya. "Tenang aja, Kak, Navea tetap yang paling depan, kok. Kalau gitu gue langsung balik, ya. Bye, Na!"

"Iya, Kak!"

Setelah kepergian Aidan, Seli menatap Navea dengan sorot kejahilan. "Katanya tetep lo, tuh, yang paling depan. Gak perlu risau ada yang nikung, Na."

"Kak Seli!"

[✓] MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang