episode 15 [] another busy day in tenara cafe

41 15 0
                                    

Sibuk.

Kata itulah yang menggambarkan kegiatan si gadis sekarang.

Kafe lebih ramai hari ini. Kebanyakan adalah para mahasiswa yang tampaknya memang mencari tempat tongkrongan baru. Pun sekadar mencari tempat baru untuk diskusi kecil mengenai tugas mereka.

Sakti sampai disuruh oleh Tama untuk membantu Navea di belakang kasir dan melayani para pengunjung itu. Ya, seramai itu sampai Navea sudah bolak-balik berulang kali dalam waktu dekat untuk mengantarkan pesanan ke meja-meja.

"Na, pesanan ini buat meja tiga," ujar Sakti begitu Navea kembali ke depannya. "Ini terakhir buat diantar."

"Oke."

Navea bergerak dengan gesit menuju meja nomor tiga sambil membawa nampan berisi pesanan. Meja nomor tiga itu ditempati oleh sekumpulan siswa SMA. Ketika tiba di samping meja itu, Navea baru menyadari bahwa mereka berasal dari sekolah yang sama dengannya, bahkan dia mengenali salah satunya.

"Hai, Na! Sibuk banget, ya, hari ini gue liat-liat."

"Ah, iya." Dia membalas singkat seraya memindahkan gelas-gelas serta piring berisi pesanan mereka dari nampan di tangannya.

"Lo kenal sama cewek ini, Van?" Salah satunya bersuara, melontarkan pertanyaan pada Kaivan. Di penglihatannya, yang ada di depannya sekarang ini merupakan hal langka karena Kaivan belum pernah terlihat akrab dengan para perempuan. Melihat temannya itu yang menyapa duluan membuat dia berasumsi kalau keduanya sudah dekat sebelumnya.

"Bukan urusan lo."

"Halah. Giliran dapat cewek cakep langsung simpen buat diri sendiri."

"Ya, terserah gue. Yang kenal juga gue, ngapain harus ngasih tahu lo pada."

"Parah lo." Yang lainnya menyahut sambil menendang kecil kaki Kaivan di bawah meja.

"Pesanannya gak ada yang kurang, 'kan?" Navea berusaha untuk tidak menghiraukan dan menjalankan pekerjaannya seperti biasa.

"Iya, udah semua, kok. Makasih, Na," jawab Kaivan.

"Sama-sama."

Navea berbalik untuk kembali ke belakang kasir. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu bagaimana dirinya bisa menjadi dekat dengan Kaivan. Mungkin karena lelaki itu adalah saudara Januar, pun mungkin karena ia sering meladeni lelaki itu ketika datang sebagai pengunjung dan menempati salah satu stool chair.

Setelah semua pesanan yang sebelumnya memenuhi buku catatannya telah diantar, kini suasana terasa lebih tenang—bukan secara harfiah. Bising tetap memenuhi atmosfer kafe tentu saja, hanya saja sekarang Navea bisa mengistirahatkan kaki dan tangannya yang sudah berkerja keras mengantarkan pesanan.

Baru beberapa menit beristirahat, lonceng kecil di atas pintu yang berbunyi membuat Navea harus kembali berdiri dan bersiap melayani customer.

"Hai, Na!"

"Oh. Hai, Kak! Mau pesen apa?"

"Minuman kayak biasa aja, Na."

"Okey, tunggu bentar, ya."

Langsung membayar pesanannya itu. Kemudian Januar berucap, "Gue di tempat biasa."

Beberapa saat kemudian Navea sudah menghampiri Januar di bar table yang selalu dipilih lelaki itu ketika mendatangi kafe. Di depan Januar sudah terbuka buku paket yang jika Navea lihat merupakan buku sejarah.

"Lo sama Kak Kaivan janjian, ya, buat nongkrong di sini." Navea berceletuk setelah Januar meneguk sekilas minuman pesanannya.

"Janjian apaan, gue ke sini gegara pengen suasana baru buat ngerjain tugas rangkuman ini. Gue juga baru tahu kalau dia ada di sini."

"Ooh, kirain."

Tidak menemani Januar seperti biasanya ketika laki-laki itu berkunjung, setelah percakapan kecil itu Navea kembali sibuk untuk membersihkan meja begitu para customer meninggalkannya. Juga mengantarkan pesanan lain untuk dibawa ke meja yang ditempati Kaivan dan teman-temannya. Mereka masih betah berlama-lama di sana sambil mengobrol entah apa saja.

Lonceng kecil di atas pintu kembali berbunyi. Seorang gadis sepantaran Navea yang memasuki kafe, kacamata yang setia bertengger di batang hidungnya membuat Navea langsung mengenalinya. Ia segera pamit meninggalkan Kaivan dan kembali ke belakang kasir walaupun Sakti masih ada di sana.

"Hai, Ru, mau pesen apa?" Navea mengambil alih tempat Sakti dan sudah siap dengan pulpen serta buku catatan di tangannya.

"Oh, hai, Na. Weekend gini lo masih kerja, ya."

"Iya, dong. Lagian Kak Tama gak selalu buka pas weekend, dua kali sebulan paling."

"Oh, gitu." Aruna mengangguk kecil. "Gue mau beli kue-kue pastri, tepatnya empat macam buat di-take away karena perlu dibawa buat ketemuan sama sepupu-sepupu gue."

"Kalau gitu mau yang mana aja? Silakan milih."

"Gue pengen yang kayak waktu itu, yang gue dapat sampel gratisnya itu."

"Oh, iya. Oke. Terus yang mana lagi?"

"Menurut lo yang pastri yang cocok buat acara kumpul-kumpul gitu gimana? Eh, bentar. Kue sus berinya, gue penasaran. Terus macaron-nya di-mix ... dan yang ini."

"Oke, udah gue catet semua. Mau berapa ini?"

"Masing-masing satu kotak. Pembayarannya pake debit aja, ya."

Sakti yang sedari tadi berada di samping Navea langsung menyiapkan pesanan Aruna, sedangkan Navea yang ditinggalkan mengurus pembayaran milik gadis itu yang cashless.

"Makasih ya, Kak," ujar Aruna setelah menerima kantung besar berisi kue-kue pastri miliknya. "Na, minggu depan gue main ke rumah lo lagi, ya."

"Iya, silakan. Gue buka pintu selebar-lebarnya."

"Oke. Nanti kalau fiks gue kabarin lagi."

"Hm. Hati-hati di jalan, Ru."

[✓] MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang