episode 22 [] got a yelling of concern from him

32 12 0
                                    

Hujan sedang mengguyur kota ketika Navea sedang berdiri di samping salah satu meja kafe untuk membersihkannya. Gelas-gelas tinggi ia letakkan di atas nampan dan ditaruh di atas kursi saat tangannya yang memegang kain lap membersihkan basah bekas embun yang ada di atas permukaan meja.

Navea membawa gelas-gelas tinggi itu ke belakang untuk ia cuci. Ketika selesai ia kembali bergabung dengan Seli di belakang kasir.

"Istirahat, Na. Ini juga belum jam kerja lo. Belajar aja, gih. Lo, kan, lagi ujian."

Gadis yang sebentar lagi menginjak usia 16 tahun itu memang datang lebih awal ke kafe karena saat pekan ujian seperti ini jam pulang mereka datang lebih cepat. Karena tidak ingin berlelah-lelah pulang ke rumah lalu terburu-buru ke kafe saat jam kerjanya, Navea memutuskan untuk langsung saja ke kafe.

"Oke. Kalau gitu gue ambil buku dulu."

"Belajar di ruang karyawan juga gak papa, Na. Gue masih bisa nanganin di sini sendirian, lagian sepi gegara ujan gini."

"Gak papa, Kak Sel."

Ia pun menghilang sebentar untuk kembali sambil membawa beberapa buku catatan di tangan. Kemudian mengambil satu bangku tinggi untuk ia gunakan menghadap bar table. Sebelum membuka buku catatannya, Navea melirik sekilas ke luar melalui kaca jendela kafe yang besar. Hujan masih setia turun dengan derasnya.

Sambil membaca ulang materi-materi yang ada di dalam buku catatannya, Navea menyumbat telinganya dengan earphone yang tersambung ke ponselnya. Ia belajar dengan tenang sampai ketika merasakan presensi lain di depannya. Mengangkat wajahnya, Navea menemukan lelaki berkacamata yang merupakan kakak kelasnya.

"Lo kerja di sini?" Lelaki itu langsung menembakinya dengan pertanyaan sembari melihat apron yang terpasang di tubuhnya.

"Iya," jawab Navea dengan ragu, entah mengapa.

Aidan, lelaki berkacamata itu, menghela napas panjang. "Lo tahu sekarang lagi ujian?"

"Tahu."

"Terus kenapa kerja segala? Sejak kapan juga lo kerja? Lo itu harusnya fokus belajar aja sekarang."

"Gue bisa manage waktu biar gak keteteran, kok. Lo gak perlu mikirin gue."

"Jangan-jangan waktu gue anterin itu lo emang udah kerja di sini? Karena itu lo buru-buru."

"Gue emang udah kerja lama di sini."

"Kenapa harus kerja sih, Na? Lo itu gak seharusnya udah mikir-mikir kerja gini, fokus sama ujian lo. Orang tua lo tahu kalau lo kerja?"

"Kak Aidan, berhenti dulu." Navea menyela sebelum lelaki itu bersuara lagi. "Gue emang kerja di sini, tapi bukan berarti gue gak peduli sama urusan sekolah. Gue tetap belajar, Kak Seli juga biarin gue belajar walaupun lagi jam kerja gini. Pokoknya lo gak perlu mikirin gue, karena gue bisa handle semua ini."

"Gue gak percaya," tukas lelaki itu dengan singkat.

"Terserah lo aja, Kak." Navea mengalah, tidak ingin memberikan argumen lainnya lagi. "Lagian lo, kok, bisa ke sini? Sebelumnya, kan, gak pernah."

"Nyari cake buat adek gue. Gue lupa seharusnya kemarin, jadi dia ngambek."

Navea melirik ke belakang kasir, Seli tidak ada di sana, kemungkinan besar berada di belakang untuk menyiapkan pesanan kakak kelasnya ini. Pantas saja tidak ada yang melerai mereka tadi.

"Gue mau ngecek ke belakang dulu kalau gitu."

Belum sempat Navea turun dari bangkunya, Aidan sudah lebih dulu memegang pergelangan tangannya untuk mencegah.

"Gak usah. Tadi udah ada temen lo. Gue tinggal nunggu aja, jadi lo temenin gue di sini."

Tidak membalas, akhirnya Navea mengurungkan niatnya. Ia sebenarnya ingin menghindari kakak kelasnya ini. Untung saja kafe sedang sepi sehingga tidak ada yang menontonnya 'diomeli' oleh lelaki di depannya ini.

Akhirnya Seli pun datang sambil membawa pesanan milik Aidan. Langsung diserahkan ke depan lelaki itu karena tadi sudah dibayar.

"Lo pulang kerja jam berapa?"

"Setengah lima."

"Nanti gue balik ke sini buat anterin lo pulang."

"Eh, gak usah, Kak! Rumah gue deket, tinggal masuk ke kompleks depan sana, tuh." Navea buru-buru menolak. Setelah mengomeli lelaki itu ingin berlaku baik? Membuat ia berada di situasi awkward saja.

"Bukan cuma alasan lo aja, kan?"

Entah mengapa Navea merasa dejavu karena pertanyaan yang dilontarkan Aidan itu.

"Buat apa juga gue boong. Gak ada untungnya."

Aidan menatap Navea untuk beberapa saat. "Jangan kecapekan sampe sakit. Kita masih ujian  dua hari lagi."

"Iya, Kak, gue tahu."

Setelahnya lelaki itu pamit pergi. Hujan yang sudah berubah menjadi gerimis membuat Aidan melangkah cepat ke arah motornya dan segera memakai helm. Navea memperhatikannya hingga hilang dari pandangan.

"Temen lo?"

"Kakel gue di sekolah."

"Kenalan lo kebanyakan cowok ya, Na. Biasanya yang dua cowok itu, sekarang nambah satu."

"Gak banyak, ya. Tiga doang dibilang banyak."

"Kan, lebih dari satu."

[✓] MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang