Suho & Irene [4]

279 14 2
                                    

Irene diam mematung, tangannya mengenggam erat tali tas slempang yang ia pakai. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah ceria, dengan seutas senyum di bibirnya.

Sejenak ia mengeyahkan pikiran akan kejadian di taman kampus, ia tak ingin wajah murungnya diketahui sang ibu.

"Bu aku datang." Panggil Irene menggeser pintu kedai tempat ibunya bekerja.

Mata Irene mengerjap, ia melihat sang ibu dan Karina, adik perempuannya bersama laki-laki yang ia benci. Suho tengah lahap memakan kimbab, membuat mulutnya menggelembung menampung semua yang sedang ia kunyah.

"Hai kak."

Suho melambaikan tangan ke arah Irene, matanya menyipit karena berusaha tersenyum.

"Ayo makan Ren." Sambut sang ibu menuntunnya ke meja makan.

Napas Irene tak beraturan, matanya tak lepas menatap Suho yang tengah menggeserkan kursi untuknya duduk.

"Duduk Ren, ibu tahu dari pacar kamu kalau kamu bakal datang kesini." Ucap sang Ibu yang membuat amarah Irene semakin berkobar, sialan kenapa laki-laki itu mengaku-ngaku saja.

Detik kemudian tangan Irene terkepal dan memukul kepala Suho di sampingnya, ia muak akan kejadian kemarin yang membuat hidupnya ruyam karena pria itu. Setelah seenak jidatnya masuk ke dalam apartemen miliknya, kini ia dengan tak sopannya datang ke kedai ibunya. Dari siapa juga ia bisa tahu alamat kedai sang ibu.

"Hei, jangan memukul orang yang sedang makan." Peringat sang ibu memukul pelan punggung Irene yang masih berdiri.

Suho mengusap belakang kepalanya. "Tak apa ma, sudah ku bilang kita sedang bertengkar." Jawabnya, sembari tersenyum.

Karina yang melihat pertengkaran kecil tersebut hanya mampu mengigit bibir, ia tak pernah melihat kakaknya semarah itu.

Irene berteriak kencang. "Kenapa harus ke sini, pergi!" Usirnya mengguncang bahu Suho.

"Rene, ibu selalu ngajarin kamu jangan ganggu orang yang sedang makan sekalipun kalian sedang bertengkar!"

"Dia bukan pacarku ma!" Teriak frustasi Irene menunjuk Suho yang melanjutkan makan, ia lalu bergegas masuk ke dalam memasuki kamarnya.

"Kayanya serius banget kak marahaanya, aku gak pernah liat kak Rene semarah itu!" Celetuk Karina.

Suho tergelak kecil, ini juga pertama baginya ia tak pernah melihat Irene dengan wajah merah marah.

"Kalian lanjutkan makan di dalam saja, sebentar lagi kedai mau di buka."

***

Suho melambaikan tangan ke arah ibu dan Karina, sebelum berbalik mengikuti langkah Irene yang berjalan cepat di depannya. Setelah menghabiskan satu malam menginap di rumah yang di sulap juga menjadi kedai tempat usaha ibu Irene, mereka memutuskan kembali ke kota dimana mereka kuliah.

"Pelan kan langkahmu, Rene." Dengan menarik lengan Irene yang memegang erat tali slempangnya.

Irene berbalik dengan wajah yang sejak kemarin terlihat kusut dan tak bersahabat.

"Gak usah pura-pura lagi, kita sudah jauh dari kedai ibuku. Pergilah!" Usirnya dengan wajah datar.

Wajah Suho berubah masam tak suka. "Jangan seperti itu kita masih sepasang kekasih."

Kedua gendang telinga Irene hampir copot mendengar, kata sepasang kekasih yang hampir membuatnya tuli. Tak ingin memperpanjang masalah dengan sekali sentak ia menarik lengannya, hingga tangan Suho terlepas begitu saja.

"Jangan egois, Rene. Ibumu sudah memintaku untuk selalu menjagamu." Suara Suho disampingnya yang sudah berhasil menyamakan langkahnya.

"Pergi ku bilang Suho!" Bentak Irene, menghentikan langkahnya. "Kamu sudah liat bagaimana kehidupanku selama ini, ibuku hanya seorang tukang salon. Aku tidak tau alasanmu mendekatiku akhir-akhir ini, aku mohon pergilah jangan usik hidupku. Minta maaflah pada calon tunanganmu, bilang bahwa aku bukan siapa-siapamu." Sambungnya menatap lekat Suho di depannya menyalurkan rasa lelah selama ini diikuti olehnya, yang diam mendengarkan.

Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang