Martin
Aku adalah cucu dari seorang founder perusahaan yang di didirikan kakekku, dan saatnya kini aku akan menggantikan ayah yang mulai semakin tua. Namun, aku menolak saat saat aku akan menduduki jabatan tertinggi itu. Seharusnya aku mulai memikirkan teman hidup dan aku sudah memilih siapa yang akan menjadi ratu di hatiku.
Namun sangat susah bagiku untuk mendekatinya. Dia terlalu dingin untukku luluhkan.
Suara supirku terdengar dari balik kaca penghalang mobil. "Pak kita sudah sampai." katanya memberitahu.
Aku hanya mengangguk, bertanda terimakasih. Seseorang dari luar membukakan pintu mobil. Saat aku keluar dari mobil, aku bisa melihat betapa gagahnya gedung perusahaan yang di bangun oleh kakekku. Dengan langka mantap, aku memasuki gedung tersebut.
Beberapa karyawan yang melihatku membungkuk hormat, ada juga yang menyapa mengucapkan selamat pagi.
"Anda sudah di tunggu di ruangan rapat, Pak." kata asisten pribadiku, yang mengikuti dari belakang.
Bibir terbuka saat hendak menanyakan sesautu namun, aku lagi-lagi mengangguk sebagai jawaban. Pintu tertutup, aku bolak-balik menatap jam tangan karena merasa gugup. Apa dia datang? Kira-kira blazer warna apa yang dia pakai, hitam, abu-abu, atau abu-abu kelam seperti suasana hatinya.
Aku menarik napas saat pintu lift terbuka di lantai tempat rapat di adakan. Mataku secara otomatis mengedarkan pandangan mencari sosok dia. Saat melihatnya sedang berbincang, tanpa sadar aku menahan napas. Hitam. Blazernya berwarna hitam, sangat dirinya.
Langkah kakiku semakin cepat, saat di hadapannya dia hanya menatapku sesaat tanpa senyuman. Seperti biasa. "Anda sudah di tunggu, Pak." astaga, aku tak pernah bisa membencinya saat mendengar suaranya yang serak dan tegas miliknya.
***
Aku tahu dia adalah, wanita yang tak suka di ganggu dan penyendiri. Namun, aku malah semakin tertarik dengannya yang selalu menolak ajakanku tentang makan bersama dan pulang bersama.
Pernah beberapa kali berpikir, tentang kenapa aku bisa tertarik dengan sekretaris ayah yang dingin dan jutek. Namun, jawaban yang ku dapatkan selalu itu itu saja.
Hari ini, aku sudah merencanakan untuk mengajak wanita itu untuk makan malam di restoran temanku. Mudah-mudahan sekretaris es itu mauku ajak dinner.
"Pak, Miss Julia sudah datang." suara dari interkom mengagetkanku dari pekerja yang sedang aku kerjakan.
Aku berdehem sebelum, menyuruh sekretaris ku di depan agar menyuruh Julia masuk.
Tak lama suara ketukan terdengar dengan disusul daun pintu jati terbuka, menampilkan wanita pujaanku yang sialnya belum aku luluhkan hatinya. Kali ini, blazernya berwarna abu-abu pekat.
"Bapak memanggil saya?" katanya, suaranya memang datar. Namun, di telingaku itu adalah suara paling merdu yang pernah ku dengar.
"Silahkan duduk, Julia." aku menunjuk sofa yang terdapat di ruangan.
Aku menatapnya tertegun, alih-alih dia duduk di sofa yang muat dua orang. Wanita itu malah duduk di sofa yang cukup untuk dirinya saja. Aku berdehem, duduk di sofa single lainnya. Jarakku dengannya kini sangat jauh, juga terhalang oleh meja kaca di depan.
"Anda ingin membicarakan soal rapat kemarin?" tanyanya terlalu cepat, padahal aku belum menawarinya minum.
Baiklah kalau dia tak ingin berbasa-basi, begitu juga denganku. "Tidak. Aku hanya ingin mengajak kamu untuk makan malam. Apa kamu mau?" Ajakku, dia menatapku tanpa berkedip.
Suasana berubah hening. Julia di depan merubah posisi duduknya.
Aku tahu, dia pasti akan menolak ajakkanku lagi. Kalau memang begitu, aku tak akan pernah memaafkan dirinya—hatiku yang dengan mudah memaafkan Julia walau wanita itu sudah melukai egoku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story
RandomWARNING!!! ADULT CONTENT DILARANG PLAGIAT... INFO : Cerita ini belum sepenuhnya sempurna dalam penempatan tanda baca, dan lain-lain. Mohon bila ada kesalahan harap maklum. Terima kasih... JANGAN LUPA VOTE, SHARE, DAN COMMENT🌹 @copyright2018