Seorang cowok berjaket abu itu melangkah masuk pada sebuah bangunan besar berwarna putih. Tampak banyak orang yang sedang berlalu lalang disana. Beberapa dari mereka tengah mengenakan baju pasien yang sangat khas.Cowok itu mempercepat langkahnya menuju sebuah ruangan, ia membuka pintu ruangan tersebut hingga menampilkan sosok perempuan yang sedang telentang dikasur sembari menatap langit langit ruangannya hampa.
Kaki cowok itu kian mendekat. Membuat perempuan setengah baya itu menoleh karena mendengar suara sepatu yang beradu dengan lantai. Tangannya melambai lambai keudara berusaha menggapai orang yang baru saja datang.
" Siapa??"tanyanya parau.
" Aku... anak mama "
~(◕ᴗ◕✿)
Meja makan milik keluarga itu kini penuh sajian makanan. Ketiga saudara itu tengah menikmati makan malam dengan sesekali bercengkrama tentang sehari hari.
" Payah sih, masa kak alea malah ngumpet dibalik pot, udah tau badannya besar kan jadi ketahuan " cerocos avara yang disambut oleh gelak tawa kedua abangnya.
Namun, kehangatan itu tak berlangsung lama saat sebuah majalah terlempar keras dipiring makan Alvaro. Mereka semua terdiam tak kala Daniel -sang ayah kini berjalan kearah mereka dengan sorot mata tajam.
" Masih ada muka kamu untuk makan malam??" Daniel
Mendekati Alvaro memandang anak itu dengan sinis.Alvaro menunduk terdiam.
" Setelah kamu mengecewakan papa dengan tidak bisa masuk sepuluh besar. Masih sempatnya kamu ikut makan malam dikeluarga ini?" Daniel memukul rahang Alvaro membuat avara sontak menjerit ketakutan. Alvarey segera membawa anak itu pergi dari sana.
" Kamu kira untuk apa saya membiayai kamu jika kamu tidak bisa membuat saya bangga sama sekali, hah?? Enak sekali kamu menikmati harta saya begitu saja " Daniel memaksa Alvaro untuk bangkit lalu menceburkan wajah anak itu dengan bengis pada sepanci sop yang masih mendidih diatas kompor, Alvaro jelas memberontak. Ia kesulitan untuk bernafas ditambah bumbu yang terdapat disana membuat mata Alvaro terasa perih. Namun, Daniel tidak memberikan ampunan sama sekali.
" Mati saja kamu! Mati! Anak seperti kamu memang hanya bisa mengecewakan" Daniel menjambak rambut Alvaro, menarik wajahnya yang sudah memerah dengan beberapa bagian yang terlihat melepuh. Lalu, Daniel membawa wajah anak itu lagi keatas piring makan Alvaro barusan. Ia menekan wajah Alvaro disana sembari memutarnya hingga membuat seisi piring berantakan.
" Kamu juga sudah membolos tanpa sepengetahuan saya bukan? Bagus sekali.. anak bodoh seperti kamu memang tidak perlu sekolah. Hanya menghabiskan biaya " Daniel kini melepas cengkraman nya. Lalu menendang tubuh Alvaro hingga menubruk kursi dibelakangnya. Pelipis Alvaro kini mengeluarkan darah segar akibat terhantam pucuk meja.
Daniel menyeringai lebar. Ia mencengkram pipi anaknya itu kuat. " Kamu tahu apa yang sangat saya sesali disini?"
Alvaro hanya menatap Daniel sendu.
Sedangkan pandangan Daniel justru menggelap " bukan, bukan karna saya telah menyakitimu. Melainkan, saya menyesal karna tidak bisa membunuhmu malam ini, anak sialan" desisnya sebelum pergi.
Alvaro menatap tangannya yang terkepal kuat, tubuhnya bergetar hebat menahan tangis ia tidak munafik untuk mengatakan jika ini terlalu sakit. Seluruh kulit wajahnya terasa terbakar. Matanya terasa sangat perih untuk dibuka. Kepalanya terasa berdengung nyeri dengan kondisinya yang terlihat sangat berantakan.
Siapapun akan terenyuh melihat kondisi alvaro yang sangat mengerikan saat ini.
Cowok satu ini menangis dalam diam terlebih luka dihatinya yang bahkan lebih parah dari luka difisiknya. Ia berusaha untuk bangkit. Mencuci wajahnya yang sebagian tertutupi oleh darah segar. Namun banyangan disaat Daniel menyuruhnya untuk mati membuat tubuh cowok itu ambruk begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kapal Alvarey
RandomTidak. Dia tidak menginginkan banyak hal didalam hidupnya. Dia hanya ingin, bahagia. Namun takdir tidak secara percuma memberikan kemurahan. Ada luka yang harus dirasakan. Ada hilang yang tak pernah terusai. Sebelum ia mengerti apa arti kebahagiaan...