Ada perasaan yang menghangat ketika ia mendapat telpon darinya, sosok yang selama ini ia nanti. Sekadar untuk menanyakan hal basi seperti “Apa kabar?” setelah lama tak berjumpa.
“Menurutmu bagaimana?”
“Entahlah, aku bukan peramal. Aku tak pandai menerka-nerka.”
“Pandaimu mah hanya merekayasa,” ucapnya di ujung tawa.
“Kau dari dulu tak pernah berubah.”
“Memangnya sejak kapan kau kenal aku?”
Gadis itu mengulum senyumnya sekali lagi, entah sudah berapa kali garis lengkung itu muncul. “Menurutmu sejak kapan?”
“Entahlah, aku bukan pengingat yang baik.”
“Ah, aku juga terlupa.” Gadis itu membenarkan posisinya, mengeratkan pelukannya pada bantal. Berharap bisa meredam degup jantungnya yang melompat-lompat tak berkesudahan. “Ayahku ...”
“Ada apa lagi dengan dia?” Nada suaranya yang ramah berubah seketika.
“Aku juga tidak tahu, tapi hei! Dengarkan aku bercerita dulu bisa tidak?” Terdengar suara deheman dari ujung sana. “Ayahku mengirimku bekerja di salah satu perusahaanya, di agensi yang bergerak di bidang hiburan dan periklanan itu. Aku tidak disuruh menjadi orang penting sih di sana, bahkan tidak diperkenalkan sebagai putri pemilik perusahaan. Hanya seperti anak magang biasa. Entah apa tujuannya.”
“Kenapa? Kau ingin diakui sebagai anak di perusahaan besar?”
“Maksudku begini, seolah-olah dia memikirkanku. Bukan, bukan. Bagaimana ya menjelaskannya, aku hanya merasa tindakannya tidak beralasan.”
“Aku rasa dia hanya ingin memberimu kesibukan dari pada kau berdiam diri di rumah saja yang kau bilang tidak pernah aman itu.”
“Ya, dan sekarang Alden tinggal bersamaku.”
“Hah? Apa katamu? Kau tidak sedang menipu, bukan?” Ada kegusaran di setiap kata yang ia lontarkan.
“Untuk apa? Ah, yasudahlah. Beginilah takdir membawaku, yang bisa kulakukan hanya menjalani.”
“Jangan bertingkah pasrah begitu dong. Kau bisa mencari tempat lain.”
“Ya, dan kau pikir itu mudah?” Ia sudah muak membicarakan topik itu, ada rasa kelu setiap hal itu disinggung-singgung. “Sudahlah jangan kau bicarakan itu lagi. Hari ini aku masuk kerja dan bertemu dengan orang-orang satu tim. Mereka memberikan sambutan yang tidak bagus untuk permulaan. Walau pun aku sebenarnya tidak merasa begitu, tapi salah satu di antara mereka berusaha meluruskan segalanya. Aku merasa seperti ... Dihargai? Dan tidak hanya dia, teman-temannya yang lain pun segera memberbaiki sikap mereka yang tidak disengaja itu. Aku merasa baru kali ini ... Dan terasa mengganjal.”
“Baguslah, setidaknya kini kau dapat yang lebih baik.”
“Setidaknya untuk sementara ini?”
“Ya untuk sementara ini—”
Pintu kamar gadis itu berdebum kerasa dan menjeblak menampakkan sorot mata yang penuh kemarahan.
Telepon terputus.
*
Johnny meletakkan keranjang belanjaannya. Sudah terhitung beberapa kali teman-temannya menginap di rumahnya. Padahal mereka bukan gelandangan, tapi bertingkah seperti tidak punya rumah.
Dengan sisa-sisa keringat habis olahraga, ia memasak di dapur. Hari ini ia hanya mau memasak yang simple-simple saja. Cukup telur matah sapi dan roti panggang. Ia ingin segera mandi! Keringatnya membuat tidak nyaman. Memang bukan tipe keringat yang membuat gatal-gatal, tapi rasa basah bercampur minyak yang ia rasakan di sekujur tubuh membuat tidak nyaman.
Teo masih mengucek matanya ketika Johnny memecah telur-telur yang hendak ia masak. “Udah bangun belom? Dari mana aja kemarin? Baru pulang jam sebelas.”
“Ngobrol sama temen,” jawabnya sambil menuang segelas air. “Masih jam segini udah rajin aja lu.” Teo melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima.
“Kalo hari kerja jam segini tuh dah mepet, Yo!” Ia tak menggubris alasan Teo pulang larut malam, palingan hanya hak tidak penting karena galau soal pacarnya.
“Yaudah kalo gitu, gue mandi duluan ya. Nanti keburu si Yuda bangun.”
“Lo yang masuk akal dikit dong, bilang mau gantiin gue masak kek. Udah gak betah nih keringatan mulu.”
Dan pada akhirnya Teo menggantikan Johnny untuk memasak. Di tengah-tengah kegiatannya sebuah notif dari ponselnya muncul.
Hari ini aku datang telat. Tolong sampaikan ke yang lain. Terima kasih, Teo.
*
Folia masih menatap kusyuk pada komputernya, ia cepat menyesuaikan diri. Segera menyelesaikan desain yang diminta oleh klien. Sekilas memang tak nampak, namun mata Johnny yang teliti bisa menangkap gurat-gurat sendu dalam ekspresi Folia.
“Kenapa? Ngeliatinnya sampe segitu amat.” Teo masih berkutat dengan laporannya bertanya pada Johnny.
“Ya, cuma bingung aja. Tadi dia masuk telat tanpa alasan jelas. Terus omong nya irit.”
“Kan tadi dia udah bilang kalo mobilnya mogok di tengah jalan.”
Entah kenapa Johnny tidak merasa itu adalah alasan Folia. Sebagai sosok yang kerap berinteraksi dengan banyak orang, lebih-lebih lagi ia anak jurusan komunikasi. Tentu ia bisa membaca bahasa tubuh yang diberikan Folia.
“Udah jam segini nih, pulang yuk.” Yuda dari pintu bersuara. “Gue udah kasih laporan bulan lalu ke atasan.”
“Lonya udah, guenya belom. Masih ada yang salah katanya di bagian keuntungan.” Teo mendengus dari mejanya. “Btw ini si Dion kemana deh.”
“Gue suruh nyari tempat buat makan. Lu pada belum makan, kan?” tanya Yuda. “Kayaknya lembur lagi nih. Makan dulu aja yuk. Folia ayo makan dulu, lo dari tadi ngebut ngerjain itu terus.”
“Deadlinenya hari ini, Yud.” Info Johnny pada Yuda.
“Gila ya si sundul.” Tiba-tiba ponsel Yuda berbunyi. “Halo, Yon. Udah dapet tempatnya?”
“Yoi, makan pecel nih di tempat makan bu Jong. Yang lagi viral itu, kebetulan banget masih ada meja.”
“Cukup kan buat kita semua?”
“Cukup dong, lo bawa orang lain lagi pun masih cukup, Yud.”
“Yaudah deh, lu pesenin sekalian ya. Biar nanti tinggal makan.” Telepon pun ditutup. “Ayo, Dion udah dapet tempatnya. Pecelnya bu Jong, coy. Kapan lagi enggak si?”
“Asik makan pecel!” seru Teo yang kemudian beranjak dari mejanya. “Ayo, Folia. Tinggal aja dulu.” Senyumnya manis pada Folia, awalnya Folia ragu tapi kemudian mengangguk lalu mengikuti Teo dan Yuda.
Johnny menatap mereka berdua dengan sedikit bingung.
*
Author's Note
Selamat hari sabtu. Terima kasih pada diriku yang konsisten update di antar h jumat-minggu. Kesel deh, minggu depan banyak banget ulangan mana materinya banyak bener. Doakan aku :')

KAMU SEDANG MEMBACA
I think is not u
FanfictionSiapa sangka penggemar senyumanku itu jadi bagian dariku. Halaman-halaman yang terisi serangkaian hal monoton, tiba-tiba saja berubah menyenangkan. Tapi entah mengapa aku merasa bukan kamu orangnya. Ah, aku memang tak tahu diri Start : 14 Juli 2023 ...