[3] Monachopsis

44 21 5
                                    

Johny sudah hendak pulang setelah membereskan meja kerjanya. Ia keluar dari kantor sambil memakai jaket tebalnya, ketika itu Teo sekonyong-konyong menghampiri Johny dengan hidung yang memerah.

“Kenapa lagi?” tanya Johny yang memasukkan tangannya ke dalam jaket. Ia memandang Teo lekat-lekat, sudah hapal dengan gelagat temannya yang satu ini.

“Johny, rasanya kayak mimpi!” Teo kini duduk berjongkok sambil merengek-rengek. “Bisa enggak bilang kalau ini gak nyata.”

“Hidup ini enggak cuma tentang tidur, bro. Ada saatnya untuk bangun. You know It.” Johny mengulurkan tangannya kepada Teo, agar ia segera berdiri. Pipinya yang memerah sudah ia tutupi dengan telapak tangannya. Berpasang-pasang mata menatap ke arah mereka.

Johny ikut berjongkok di sisi Teo. Mengelus-elus punggungnya. Orang-orang yang berlalu lalang lantas memberi tatapan sinis lewat ekor mata mereka. “Teo ayo, jangan di sini. Banyak orang lihat ini.”

Teo tak menggubris, ia malas menangis semakin kencang. Demi Tuhan! Petugas keamanan keluar dari posnya, mereka masih di area kantor. Di halaman kantor tepatnya.

“Pak Johny, itu tolong temannya dikondisikan. Menganggu kenyamanan,” ucap security itu setelah berhasil menghampiri mereka berdua. Johny mengangguk patah-patah dengan senyum canggung. Setelah mendapat respon dari Johny, security itu kembali ke posnnya.

Ditarik-tariknya lengan Teo, dengan sekali hentak tubuh kecil Teo terangkat. Berdiri dengan kaki yang oleng. Akhirnya Johny memapah Teo untuk keluar dari halaman kantor, menuju gerbang.

“Aduh, kepala gue pusing banget.” Keluhan Teo dan ulahnya yang bertambah itu menghentikan langkah Johny.

“Eh, Teo. Lo ke sini pake apa?” Yang Johny maksud adalah mobil Teo.

“Hah?” Teo seperti orang dungu tak bisa menjawab pertanyaan Johny.

“Kenapa, sih pake minum segala. Mana datengnya ke kantor, gak sekalian ketemu sama atasan aja?” Johny kesal sekali dengan tingkah Teo malam ini.

“Hm .... Utututu.” Teo mengguman-guman tidak jelas. Seperti kebiasaan orang yang mabuk lain, mereka suka mengatakan hal yang memalukan.

Awalnya Johny ingin langsung keluar gerbang kantor, karena berpikir Teo memarkirkan mobilnya di luar kantor, itulah kebiasaan Teo. Tidak pernah memarkir mobilnya di tempat yang disediakan kantor. Tapi mengetahui respon Teo yang tidak dapat diharapkan itu, membuat Johny harus menuju tempat parkir. Ditemani dengan netra-netra yang mengering ke segala arah menatap mereka.

“Johny, Johny, sebentar.” Teo menahan langkah Johny dengan salah satu telapak tangannya.

What's next?” Rasanya malam ini Johny harus mensuplai kembali stok kesabarannya.

Teo berdehem sesaat dan memutar lehernya perlahan, seperti sedang melepaskan rasa pegal atau semacamnya. Ia terlihat meringis seperti menahan sesuatu. Dan sejurus kemudian, jaket Johny sudah menjelma menjadi comberan. Semua makanan yang Teo nikmati bersama kekasihnya sudah hancur lebur tak berbentuk dan menempel dengan ciamik di jaket Johny. Membuat Johny berdecak sebal.

*

“Non, saya permisi ya. Itu barang-barangnya sudah saya naikkan semua ke kamar.”

“Oh, iya. Terima kasih, ya,” balasku yang dijawab anggukan olehnya.

Setelah sopir itu keluar dari rumah, aku hendak menaiki tangga menuju kamarku. Sebelum suara pintu terbuka kembali terdengar. Sontak aku berbalik badan, mengira si sopir kembali lagi. Tapi ternyata bukan laki-laki yang berjalan ke arahku itu memakai setelan jas formal. Wajahnya masih sama dari tahun ke tahun. Mungkin dia bertambah sedikit tinggi, dulu tinggiku hampir sama dengannya, sekarang aku hanya sedagunya. Bulu-bulu halus di tubuhku menegang ketika dia mendekat, spontan aku mundur ke belakang. Menujukkun sikap defensif. Ada rasa ngeri yang tiba-tiba menguar di seluruh ruangan.

Aku menatapnya tajam. “Kenapa ada di sini?” Aku mulai menguasai diriku. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapan laki-laki itu.

“Aku hanya ingin menyambut kepulangan adikku.” Ia tersenyum, kutepis jarinya yang mengelus pipiku yang memanas. Dia tersenyum meremehkan melihat responku.

“Bukannya kau tinggal di rumah lain?”

“Tidak. Aku akan tinggal di sini.” Ia tersenyum kemudian berlalu meninggalkanku yang masih tercekat menuju lantai atas, agaknya ia pergi ke kamarnya.

Kujelaskan saja, dia adalah Alden. Kakak kandungku yang hanya terpaut dua tahun denganku. Aku tidak yakin ini hanya sebuah kebetulan jika ia memilih tinggal di rumah ini. Beberapa tahun yang lalu setelah kakek meninggal. Segalanya jadi tak menentu dan kacau. Aku dikirim oleh ayahku ke sekolah khusus wanita di Inggris, sedangkan Alden dengan tidak adilnya tetap berada di Indonesia. Kemudian ketika aku pulang delapan tahun yang lalu. Rumah ini tidak lagi menjadi rumah yang utuh. Maksudku bukan rumah penuh kehangatan yang berubah jadi neraka. Karena tidak ada yang berubah soal itu, dari awal suasana rumah ini sudah buruk. Yang aku maksud tidak utuh, kami semua berpencar. Ayahku jarang pulang ke rumah ini, ia tinggal di rumah yang dekat dengan perusahaanya. Sedangkan Alden ia tinggal di setiap rumah yang kami miliki dengan seenaknya. Dia tidak pernah menetap, tapi kali ini kenapa dia menetap? Aku terduduk di sofa ruang tamu, aku sadar tanganku sedang bergemetar hebat. Dari awal aku tahu ini bukan tempat yang tepat, dan sekarang aku malah masuk di kandang hewan buas.

Author note
Awalnya aku mau bikin sapaan antara Johny dan teman-temanya dengan aku-kamu tapi kok rasanya agak kaku untuk temen deket. Akhirnya aku ganti pake gue-lo.




I think is not uTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang