Prolog

17 5 3
                                    

Hai! Aku Freya Adellaide, sedikit mengenai kisah hidupku, kali ini aku ingin berbagi cerita tentang seseorang yang pernah masuk dan menjadi salah satu tokoh utama dalam kisah hidupku, seseorang yang ga akan pernah bisa aku lupakan, meski mungkin pada akhirnya dia bukan milikku untuk seutuhnya.

Vanilla Milo, nama yang aneh tapi begitu cocok dengan sosok yang hendak aku ceritakan. Perawakannya tinggi besar, bukan berarti besar karena otot yang kuat tetapi karena lemak yang banyak. Bagaikan sebuah sihir, senyum manis yang Milo punya begitu mujur mengubah suasana buruk yang sedang melanda hariku menjadi sesuatu yang indah tak tergambar.

Aku mengenal Milo sudah sejak saat kami belum bersekolah. Saat itu aku dan mama yang hendak pulang dari toko swalayan mendapati Milo tengah bermain sendirian di pinggir jalan depan rumah hingga mama menanyakan nama dan memberinya tawaran untuk bermain denganku. Milo tak menolak tawaran mama, sedangkan aku yang dijadikan tumbal hanya mengangguk dan menurut.

"Hai aku Milo!" jika diingat-ingat, Milo kecil begitu lucu saat ia memperkenalkan dirinya. Suara yang keluar dari mulutnya begitu nyaring, senyum yang terukir di bibir manisnya begitu indah sampai membuatku terpana. Masih jelas dalam ingatanku saat itu Milo mengenakan kaos berwarna merah dengan boneka beruang kecil yang ia genggam di tangan kirinya.

"Aku Freya!" gugup aku memperkenalkan diri seraya menjabat tangan kecil Milo yang menjulur ke arahku. Jemarinya bengkak, tak seperti punyaku yang kecil. Bahkan Ketika kami berjabatan tanganku sama sekali tak terlihat.

"Kalau Milo panggil Eya Mola boleh?" Milo kecil begitu cadel, tak bisa menyebut huruf R dengan fasih, terlebih huruf R dalam namaku yang bersanding langsung dengan Huruf F. Meski semakin dewasa Milo semakin fasih berbicara pun, nama Mola masih Milo gunakan untuk memanggilku dan tentunya hal tersebut membuat diriku merasa special. Sejujurnya aku tak pernah tahu mengapa Milo memberiku nama panggilan seperti itu.

Bukan hanya itu, perlakuan Milo terhadapku di saat aku sedih, juga respon positive yang ia berikan setelah mendengar cerita bahagiaku sekarang menjadi hal yang paling aku rindukan.
Milo adalah satu-satunya orang yang dapat aku percaya setelah aku kehilangan mama. papa? papa menikah lagi dengan seorang wanita baik hati yang saat ini aku panggil bunda. Namun meski begitu, kehadiran bunda di hidupku tidak terlalu berpengaruh.

Kehadiran Milo begitu berarti bagiku, Jemari besar yang ia miliki selalu menaut, menggenggam milikku saat kami sedang berjalan berdua, tangannya selalu terbuka lebar, membiarkan tubuhku masuk ke dalam pelukan hangatnya, canda tawa selalu hadir di kala gundah gelisah tengah menguasai diri, tak peduli jam sudah menunjukan pukul 12 malam, ia akan datang ke rumah, menyelundup masuk lewat jendela dan tak akan pergi sebelum aku dapat tidur kembali. Terdengar seperti berlebihan tapi memang itu adanya, itulah Milo.

Bahagia memang, seperti tuhan memberikan Milo padaku sebagai hadiah terbesar yang harus aku syukuri. Namun apa jadinya jika tuhan sudah tak menghendaki kami untuk bertemu kembali? Hampir genap dua tahun aku tidak mendengar kabar tentang dirinya. Semenjak aku pindah ke Constanta untuk berkuliah, Milo menghilang, tak ada lagi kabar darinya, tak terdengar lagi suara tawa renyah yang ia Miliki meski sebatas lewat sambungan telfon. Padahal peran Milo dalam usahaku untuk dapat berkuliah di salah satu universitas bergengsi itu cukup besar. Lantas sekarang bagaimana caranya agar aku dapat berterimakasih dan bercerita tentang apa yang selama ini aku rasakan? Dia benar-benar hilang.

Selama di Constanta aku hampir selalu merasa sendirian meski teman satu kamarku begitu baik dan sangat perhatian, meski aku bercerita panjang lebar tentang keseharianku padanya dari hal terbesar hingga yang abstrak sekali pun rasanya tak membuat hati ini lega, seperti ada yang mengganjal. Mungkin sudah 1000 kali aku menangis sebab merindukan Milo, juga tak terhitung berapa kisah mimpi yang tuhan kehendaki padaku dengan hadirnya Milo di sana. Sungguh aku rindu.

Sampai temanku bilang bahwa aku harus memiliki kekasih dan mulai melupakan Milo karena rasa rindu ini sudah tak dapat dibendung tapi sayangnya usaha itu gagal sebab mulut ini terlalu licin untuk mengunci rapat nama Milo dalam-dalam agar tak keluar terucap. Kalaulah ada kalimat yang lebih mewakilkan dari pada sebatas 'Aku rindu kamu' mungkin dari dulu sudah aku ucapkan.

Vanilla Milo, jika suatu saat kamu membaca cerita ini, aku harap kamu mengerti dan memaafkan segala tingkah konyol tak jelas yang selalu aku lakukan sehingga membuat kesal dan merepotkan, juga tentang perasaan yang mungkin kamu kira tertolak, aku yakin perasaanmu tidak tertolak sebab aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, hanya saja aku bingung bagaimana cara mengungkapkan sebab selama ini aku memandangmu sebagai sahabat yang selalu hadir dalam setiap detik di hidupku. Aneh saja jika tiba-tiba perasaan itu malah mengubah warna tembok persahabatan yang sudah lama kita bangun.

Terimakasih atas segala kenangan indah yang pernah kamu ukir begitu manis di setiap hari- hariku. Pelukan hangat yang selalu kamu beri, telinga yang dengan jelas mendengar setiap ocehan yang keluar dari mulutku, juga setiap usaha yang selalu kamu lakukan hanya untuk membuatku senang. Semua hal itu tak pernah aku dapatkan lagi dan tak pernah ada yang bisa menggantikannya
Satu hal yang tak dan tak akan pernah berubah untukmu adalah seluruh rasa sayangku.

(Maaf sebab tak dapat aku jabarkan semua kebaikan yang pernah kamu buat, karena itu terlalu banyak dan tak terhitung jumblahnya. Tapi aku harap cerita ini dapat mewakilkan betapa bodohnya diriku yang begitu saja melepaskan seorang yang berharga sepertimu.)

To The Fat Cute Boy I Ever MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang