Part 17

7.6K 479 75
                                    

Jaselle hanya bisa memandangi Galtero yang tak sadarkan diri itu dipeluk oleh Abigail

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jaselle hanya bisa memandangi Galtero yang tak sadarkan diri itu dipeluk oleh Abigail. Ada desiran sedih melewati rongga dadanya. Miris sekali, dia tak bisa mendekap orang yang telah menolongnya, tak sempat mengatakan terima kasih, dan yang lebih menyakitkan lagi adalah ditampar oleh kenyataan bahwa pria itu sebatas bisa dipandangi tanpa dimiliki.

Menyaksikan Abigail yang histeris karena Galtero tak kunjung memberikan respon, membuat Jaselle perlu berpikir lebih tenang. Dia tak boleh tinggal diam begitu saja. Maka, membuat inisiatif sendiri. "Aku akan carikan dokter," ucapnya.

Telapaknya menyentuh lantai dan bertumpu hingga terbantu berdiri. Abigail sebatas mengangguk, Jaselle pun segera keluar melewati sepasang calon pengantin itu.

Baru juga melangkah dari pintu, Jaselle dikejutkan oleh kehadiran Felicia yang penasaran. "Ada apa di dalam? Kenapa aku mendengar suara orang menangis?"

"Aku hendak terjatuh tertimpa koper, tapi Galtero menyelamatkan aku. Jadi, dia yang mengorbankan diri." Selepas menjelaskan, Jaselle menepuk pundak sahabatnya. "Jaga mereka sebentar, aku akan cari tenaga kesehatan untuk memeriksa."

Zermatt memang bukan tempat tinggal Jaselle. Dia tak tahu di mana lokasi rumah sakit atau setidaknya klinik kesehatan. Bermodalkan mulut, ia bertanya pada orang yang berlalu lalang. Hingga pada akhirnya menemukan tempat yang dicari.

Dengan napas terengah-engah karena sambil berlari, Jaselle masuk ke sebuah bangunan yang merupakan klinik praktik seorang dokter.

"Apakah ada dokternya di sini?" tanya Jaselle, pandangannya menyapu ke seluruh penjuru ruangan yang tidak ramai.

Ada seorang pria muncul dari sebuah pintu. "Saya, ada yang bisa dibantu?"

"Bisa ke rumah klienku? Ada seseorang yang tak sadarkan diri di sana karena tertimpa barang berat."

"Tentu, tunggu sebentar." Dokter itu masuk ke dalam ruangan lagi, tapi kembali keluar dengan membawa sebuah tas. Mungkin itu berisi alat-alat medis dan beberapa obat.

Jaselle berhasil menemukan dan membawa dokter. Cara jalannya sangat cepat karena buru-buru dan takut seandainya terlambat penanganan akan terjadi hal fatal pada sang mantan.

"Bisakah kita berlari saja supaya cepat sampai?" pinta Jaselle. Disetujui oleh dokter itu, dan akhirnya keduanya mengayunkan kaki dengan gerakan berkecepatan tinggi.

Sampai juga di rumah Abigail. Jaselle menunjukkan kamar tempat Galtero terkapar.

"Kau di luar saja." Abigail mendorong dada Jaselle yang hendak ikut masuk melihat pemeriksaan.

Tidak mungkin Jaselle membantah, dia cukup mengangguk dan membiarkan sepasang kaki membeku di depan pintu. Tatapnya sendu pada kayu di depan mata. Miris sekali karena tak bisa berada di samping penolongnya.

Felicia tidak banyak bertanya, dia pasti sudah bisa menebak apa yang dirasakan oleh sahabatnya. Tangan tergerak untuk merangkul, menepuk pundak Jaselle agar wanita itu tak mendalami kesedihan.
.....
Dua jam berlalu sejak dokter selesai memeriksa Galtero. Jaselle belum juga diizinkan masuk oleh Abigail. Tapi, tak membuatnya langsung pergi begitu saja. Sampai sekarang masih duduk di ruang tamu bersama Felicia.

Cigarettes After SadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang