Danisa meringis kesal ketika mendengar suara ribut di luar. Hari ini hari Sabtu dan percayalah, gadis berusia tujuh belas tahun ini masih ingin menikmati tidurnya lebih lama. Apalagi, dia baru bergadang semalaman menyelesaikan tontonan serial yang baru saja dia unduh.
Urgh!
Suara berat di luar masih begitu terdengar keras. Dan jujur saja, Danisa malas untuk keluar dan menghardik orang-orang di sana. Percuma! Oknum dan pelaku utama dari keributan itu adalah Daniel, kakak lelakinya sendiri. Dan di depan, Danisa rasa, ada setidaknya lima lelaki tengah bergerombol sambil membahas hal-hal yang bahkan tak bisa dimengerti.
Ia berdecak pelan. Jam berapa sih, sekarang? Bukannya mereka masih main futsal? gumamnya dalam hati. Tangannya mengucek mata sebelum mengambil ponsel. Sudah jam sembilan! Danisa menarik napas keras-keras.
Tanpa beranjak dari kasur, Danisa melakukan panggilan telepon. Tak butuh waktu lama untuk suara lelaki terdengar mengangkat panggilan itu. Suara si penjawab juga ikut terdengar dari balik pintu.
"Kenapa sih, Nis?" tanyanya.
"Sumpah ya, Kak! Bisa nggak, temen-temen lo sedikit aja ngecilin volume bacotnya?" Danisa langsung menembak kesal tanpa tendeng aling-aling.
Daniel tertawa dari ujung telepon. Tawa yang bahkan terdengar sampai ke kamar Danisa. Suara bisikan penuh tanya mulai terdengar baik dari telepon maupun dari balik dinding.
"Bentar," ucap Daniel cepat.
Beberapa detik berikutnya, suara bisikan itu mereda, berganti menjadi langkah kaki yang mendekat ke arah kamar. Danisa menghela napas. Ia tahu, kakaknya berada di depan pintu kamar.
"Ngapain lo di depan kamar gue?" ucap Danisa ketus.
Daniel tak menjawab. Sebaliknya, dengan sembarangan, ia membuka pintu kamar Danisa dan langsung menatap adiknya yang masih berwajah ketus sambil duduk berselimut di atas kasur.
Senyum jahil mengembang di wajah Daniel. Ia mematikan panggilan mengingat lawan bicaranya sudah di depan mata.
"Apa?" tanya Danisa lagi. "Ngapain lo di sini? Bikin ribut aja. Biasanya juga siang baru balik."
Daniel tak menjawab. Ia meletakan tangan di saku sambil mengangkat bahu kirinya. "Mau join, nggak? Tadi kita beli sarapan, lumayan banyak. Soalnya, rame kalau makan di sana."
Danisa memegang perutnya sendiri. Ada rasa menggelitik mulai menyergap. Tetapi, ia buru-buru menggelengkan kepala cepat. "Nggak, makasih."
Senyum miring tercetak di wajah Daniel. "Yakin?"
Danisa mengangguk penuh kepastian. Ia malas bergabung ke depan.
"Nggak kita sisain loh!" bujuk Daniel lagi.
Danisa bergeming di tempat. Kepalanya menggeleng pelan. "Lo tahu, kan? Gue paling malas dan anti sama temen-temen lo itu!" Decakan terdengar dari lidahnya. "Mending gue mati kelaparan daripada makan sama mereka."
"Nis, come on." Daniel menarik napas panjang. "Kenapa sih, lo selalu bermasalah sama temen-temen gue?"
Danisa menggetarkan bahu sebagai tanda jijik sebagai jawaban. Sejak dulu, ia dan Daniel punya preferensi lingkungan teman yang berbeda. Ralat! Ia dan Daniel selalu punya keberuntungan yang bertolak belakang dalam berteman.
Daniel punya segudang teman. Ia supel, populer, kapten tim futsal, ketua OSIS, banyak cewek yang mengantre berbondong-bondong untuk menjadi pacarnya.
Sementara, Danisa? Jangan ditanya! Temannya bisa dibilang hampir tidak ada sama sekali. Tidak ada satu orang pun yang bisa bicara dengannya di sekolah.
Semua anak perempuan membicarakan tentang fesyen atau grup idola terbaru atau drama Korea yang sedang tayang di beberapa platform televisi daring. Sementara, pengetahuan Danisa soal itu nol besar. Sebagai gantinya, Danisa punya segudang teori penggemar soal komik pahlawan super, cerita sains fiksi hingga fantasi.
Ketidak sinambungan itu membuat Danisa perlahan tak punya teman dengan sendirinya di tahun pertama. Ia tak butuh memulai permusuhan. Perlahan, beberapa orang menjauh karena tak tahan dengan obrolan yang jelas-jelas tidak nyambung sama sekali. Dan, Danisa juga tidak bisa terus-terusan berpura-pura menyukai hal-hal yang sekelilingnya sukai. Setidaknya, Danisa merasa punya batasan tak kasat mata yang dia pikir tak ada masalah.
Ya, semua tidak ada masalah hingga tahun kedua, semuanya semakin buruk. Secara tiba-tiba, banyak orang mulai berbisik-bisik buruk tentangnya. Memang tak terbukti secara nyata. Tetapi, pandangan judgmental yang mengata-ngatai Danisa sebagai anak aneh mulai tampak. Pada akhirnya, dalam sebuah kelompok sosial, setidaknya butuh satu nama yang dikorbankan sebagai orang gila. Danisa, mungkin salah satunya.
Kita nggak bisa menyenangkan hati semua orang. Menurut Danisa, kalimat itu jadi andalannya di saat seperti ini. Jadi, yang Danisa inginkan sekarang cuma satu. Lulus dan pergi dari sekolah itu secepatnya.
"Udah, lo keluar aja. Kalau lo di sini, entar lo ketularan dikata-katain kayak gue," usir Danisa dengan ketus.
Daniel menggeleng. "Nggak lah! Semua itu cuma ada di pikiran lo. Mereka nggak terbukti melakukan sesuatu yang salah, kan?"
Danisa merinding. Ia malas mendengar kakaknya terus membela teman-temannya.
"Lagian, di depan ada Kiano loh."
Mendengar nama Kiano, punggung Danisa langsung menegak. Dan gestur itu ditangkap baik oleh sang kakak yang langsung membariskan senyum di wajahnya.
"Gimana?" tanya Daniel lagi. "Lo bukannya naksir sama dia?"
Danisa menggeleng. "Lo lupa kalau Kak Kiano udah punya pacar?" Ia bergidik.
"Dan sekarang, Isabella lagi nggak ada!"
Danisa mendesis. Kakak gila! Ia menggelengkan kepala cepat.
Kiano Jiva Pranadipta. Danisa mengenalnya sejak kecil. Teman main Daniel yang saling mengenal satu sama lain nyaris seumur hidup.
Kiano yang pertama kali memperkenalkan Danisa pada ketertarikannya akan dunia-dunia fantasi, pahlawan super dan fiksi sains. Ia ingat bagaimana mata Kiano berbinar ketika membicarakan hal-hal itu. Hingga hari ini, Kiano masih begitu.
Ketika pertama kali mengenal cinta, Kiano yang pertama kali membuat Danisa mabuk kepayang. tetapi, Kiano juga yang akhirnya mematahkan hati Danisa hingga jadi serbuk tak bersisa ketika dirinya resmi berpacaran dengan Isabella, pentolan grup pemandu sorak yang super cantik dan populer.
Lagi-lagi, Danisa kalah oleh golongan-golongan itu.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu sebanyak tiga kali membuat Danisa dan Daniel saling pandang. Keduanya mengerenyitkan hidung nyaris bersamaan.
"Niel, lo mau sampai kapan di dalam?" Suara familiar dari lelaki yang baru saja dibicarakan terdengar. "Makanan udah mau abis nih!"
Daniel menengok ke arah pintu sebelum menatap Danisa lagi. "Lo denger sendiri, kan? Itu Kiano."
Danisa mendesis. Telinganya masih belum tuli. Ia bisa dengan jelas mendengar siapa yang berada di balik pintu.
"Nis..."
"Nggak, Kak. Makasih." Danisa menolak lagi.
Daniel menghela napas keras-keras. Ia mengangkat dua bahunya menyerah. "Oke, kalau begitu."
Lelaki itu membalik badan. Membuka pintu kamar Danisa.
Dari celah, Danisa bisa melihat Kiano. Berdiri dengan pandangan bingung saat menyambut Daniel yang baru keluar. Raut wajahnya sedikit khawatir.
"Ada masalah sama Sasa? Sampai lama begitu..." Suara Kiano terdengar dari luar.
Danisa menahan napas. Sasa adalah nama panggilan kecil Kiano untuknya.
"Nggak. All good." Daniel sekali lagi menengok ke arah Danisa. Pandangan kakak beradik itu beradu sebelum terhalang pintu yang tertutup.
Suara langkah terdengar menjauhi pintu bersama dengan helaan napas dari mulut Danisa. Sepertinya, ia akan melewati pagi ini dengan lapar dan kantuk bersamaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
PERFREAKTION
Teen FictionBagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano mengajaknya bergabung dalam tim Publikasi-Dokumentasi Festival Sekolah. Walaupun Samudera-si anak kepala yayasan...