19

2 0 0
                                    

"Bagaimana di sana tadi?" Tidak biasanya Papa lebih dulu tiba dariku di rumah.

Pertanyaannya menarik, karena aku bisa saja menjawabnya dengan, seperti kelihatannya. Menara Piza dan Colosseum, mereka menakjubkan. Dari batu kapur, yang satu benar-benar miring dan yang satu lagi benar-benar setengah runtuh. Italia ramah dan menyenangkan sekali. Arsitekturnya, kulinernya, tahu tidak, Pa, ini adalah kali keduanya aku menyantap piza autentik. Dan yang ini malah makan di negaranya langsung. Enak, sangat enak, kejunya lumer di mulut dan harum minyak zaitunnya bertahan lama sekali di mulut.

Tapi tentu saja bukan itu yang ingin dia dengar. Aku mengangkat bahu dan mencebik. "Lebih banyak turis mancanegara yang hadir. Kulit mereka merah waktu kami membagikan makanan di Jalan Cempaka." Percabangan dari rute belok ke kanan setelah pom bensin Soma di Jalan Kamboja.

"Kau pasti lelah."

Tidak ada yang bisa membayangkannya. Jalan kaki 40 menit saat subuh, turun menyusuri Bukit Janiculum dan berfoto-foto di depan air terjun, mengelilingi Museo Van Gogh di Genova, dan berburu makanan di restoran Bintang Michellin di sekitarnya. "Ya, ada 500 kotak semester ini, peningkatan sebanyak sekitar 70 persen. Aku akan ke kamarku, meluruskan kaki sebentar." Aku berusaha tersenyum sambil lalu.

"Buk Laras memasak cumi balado, Nak. Makanlah setelah selesai berirahat."

"Oke." Aku membuka pintu, mengangguk pada Buk Laras yang duduk di teras, mengupasi petai. Sebaskom potongan terong sudah selesai dikupas terletak di sebelah pinggangnya, dan aku pun masuk ke kamarku.

Hal pertama yang kulihat setelah berada di balik pintu adalah daftar negara dan cetakan peta yang kupin di papan munhil. Aku mendekatinya. Senyum langsung terasa merobek wajahku dan aku mulai menahan kikik tawa seperti orang gila.

Belanda, Swedia, Denmark, Austria. Kemudian kami akan pergi ke Asia.

Hari dengan hari kuhabiskan dengan menyusuri jalanan kota-kota di Eropa, naik bus, kereta, menghirup napas yang sejuk dan cenderung dingin di luar pagar ladang rumput, menari bersama Soma, diam-diam menyapa penduduk asli tanpa diketahui Soma, makan masakan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Kami berangkat dan pulang mengikuti durasi waktu kerjaku di acara kegiatan relawan. Dan selagi beristirahat di suatu kedai, aku akan mempelajari isi postingan Duggan, membayangkannya seolah-olah aku memang melakukannya. Mengoseng tempe manis, menyendoknya ke kotak kertas setelah menimbangnya dengan adil, mengepak kotak ke kantung kanvas, menggotong kantung-kantung itu ke berbagai tempat sambil tertawa-tawa dengan beragam turis mancanegara yang tidak tahu kakakku menderita AIDS.

Dan kalaupun tahu, tampaknya mereka tidak akan peduli. Edukasi terkadang membuat orang-orang menjadi bersikap lebih terbuka. Dan boleh kubilang orang-orang yang punya pengalaman tinggal di negara lain biasanya lebih teredukasi.

Betapa mudah melakukan semua itu. Bicara dengan mereka tanpa khawatir mereka bisa menduga masa laluku. Tertawa pada orang-orang baru ini yang berkomunikasi menggunakan bahasa yang berbeda dariku. Membayangkan perlakukan hangat mereka, kerja sama yang bagus, dan kekompakan setelah membagi-bagikan makanan, kami akan makan bersama di belakang restoran sambil bertukar kontak.

Mudah membayangkannya karena sebagian besar dari semua itu memang kulakukan selama berhari-hari, di bagian berinteraksi dengan orang-orang asing. Dan lebih mudah lagi karena imajinasiku telah terlatih. Bayangkan kincir angin, ladang bunga tulip, dan daratan yang sesungguhnya ada di permukaan laut, sampailah aku di dekat Amsterdam. Orang sana tinggi, kulitnya hampir seperti susu madu, hidungnya ramping dan tinggi, bibir tipis, mata kecil. Aku mengingatnya dengan baik, penting sebagai referensi, kata Soma. Begitu pula yang kulakukan dengan seluruh negara di Eropa yang kami kunjungi.

Don't Make it a Wrong PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang