Rusia adalah negara besar yang punya wilayah sangat luas dan tempat-tempat menakjubkan. Kebingungan pun meliputiku. Soma sudah jelas-jelas memberi instruksi hanya pergi satu hari untuk setiap negara, tapi bagaimana jika aku berkeras ingin pergi ke Krai Kamchatka untuk melihat rantai Pegunungan Koryak yang terletak jauh sekali di timur, sementara aku juga ingin mengunjungi Red Square di Moscow?
"Tentukan satu. Kamchatka atau Moscow?"
Sudah bisa kutebak sebenarnya, aku pasti akan berhadapan dengan rahangnya yang langsung tegang dan matanya yang langsung menatap dengan penuh tekad. Aku berpaling darinya dan menoleh ke depan, memandangi sejumlah motor yang berbaris di belakang lampu lalu lintas. Hari sudah berwarna putih keemasan, cahaya matah tumpah ke segala tempat. Kupejamkan mataku sambil membayangkan selaput salju di atas Gunung yang besar, yang membuatnya tampak seperti sherbet vanila di atas piring bumi.
Tubuhku pun ditarik ke dalam, bergerak secara lembut tapi kuat. Angin mengempas seluruh tubuhku, menuju puncaknya, sampai rasanya hanyalah rongga yang disisakannya di dalam. Setelah siklus hampir kembali normal, aku melonggarkan cengkeramanku di motor dan lalu organ-organ di tubuhku berangsur normal.
Aku membuka mata.
Kalau Koryak sebesar dan seputih itu ... bagaimana dengan Everest?
Sepulangnya dari Kamchatka, aku memeriksa pesan-pesan ysng masuk di ponselku. Jaga-jaga apabila ada sesuatu yang tidak beres. Ternyata Duggan, Terry, dan Liana dari kelompok sukarelawan semester lalu menghubungiku. Mereka pikir akan menemukanku di kelompok semester ini karena Duggan sempat melihatku meminta formulir pendaftaran di meja administrasi.
Aku ingin datang, sungguh, tapi ada banyak dokumen serta percobaan tes yang harus dicicil. Kulihat nanti, apakah aku bisa datang untuk menyapa kalian.
Lalu aku masuk ke rumah, menemukan Buk Laras sedang merapikan sofa dan meja dari ....
"Buk? Siapa yang berkunjung tadi?"
Buk Laras berhenti membungkuk, menekan pinggangnya sambil mengangkat tangan yang memegang lap kotak-kotak pink-putih ke atas. "Kakaknya Ali, Mat. Kamu masih ingat Ali? Temannya Dimens?"
Sesaat aku sulit bernapas. "Temannya Dimens ke sini? Jadi dia turun ke bawah?"
Buk Laras menatapku dengan senyum sendu bergelayut di wajahnya yang lebar dan panjang. Matanya sempit tapi tidak sipit dan ketika menunjukkan wajah prihatin, dia tampak sangat sedih dari manusia pada umumnya. "Dimens hanya menerimanya di ruang tamu di atas. Hampir saja dia tidak keluar, tapi kakaknya Ali tidak berkunjung lama. Cuma datang untuk ...."
"Untuk?"
Dalam keheningan ini, aku bisa membayangkan kain baju peach Buk Laras yang tipis tapi bertumpuk-tumpyk dan dijahit di bagian kerah dan ujungnya berdesir karena bergesekan satu sama lain. "Memberi kabar duka. Ali meninggal hari Selasa lalu."
Mendadak aku bisa merasakan beban ransel di punggungku semenjak turun dari motor, seolah memberati tubuhku sebagaimana palu terus memukul paku hingga tertancap ke permukaan bumi. Buk Laras melewatiku dengan nampan berisi teko teh, tiga cangkir, dan stoples lidah kucing.
Ini dia, yang tak ayal ditunggu-tunggu Dimens walau sebenarnya tak dia inginkan sama sekali.
Kabar duka pertama dari kalangan teman yang dia bawa ke rumah.
Aku menurunkan ranselku yang berat dari bahu, berlari ke kamarku, membuka pintunya, dan melemparkan ransel itu ke atas sebelum berlari ke tangga. Ali. Aku ingat yang mana dia. Tulang matanya cekung, tapi bola matanya menonjol. Rahangnya berbentuk segitiga lancip dan mulutnya mengerucut ke depan, menghitam bibirnya. Sembari mengetuk pintu, aku berusaha membayangkan rambutnya. Dia adalah anak yang berantakan, rambutnya selalu dipangkas pendek di atas telinga, tapi mencuat tinggi ke segala arah di bagian atas kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Make it a Wrong Place
Fantasy"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...