Sungai itu merah karena tanaman sejenis alga berwarna semerah burung nuri menghuni dasarnya. Dari batangnya tumbuh lembaran lumut licin yang oleh arus air bergoyang lembut ke kanan dan kiri. Kami turun ke sana tadi, untuk memastikan keabsahanku dalam memilih tempat tujuan yang aman. Ternyata alga itu tidak menggigit seperti venus. Hanya perlu melangkah dengan sangat hati-hati di atasnya karena seluruh lembaran lumutnya yang pendek itu luar biasa licin.
Aku dan Soma sedang piknik di bawah naungan pohon berbatang cokelat tua. Dedaunannya berupa garis-garis kuning dan jingga yang menjulur ke bawah, agak mirip pohon willow, tapi tidak selebat itu dan bentuknya tidak seperti serabut. Seluruh cabang pohon di sini tumbuh menganjur ke arah sungai, menciptakan tajuk yang panjang di satu sisinya. Hewan-hewan yang mengitarinya berbulu lebat dan lembut, seperti anak ayam tapi bulat sempurna, dengan kedua mata sebesar biji buah naga yang terus berputar. Tubuhnya juga terus saja melompat-lompat.
Kami makan kacang dan buah-buahan yang tumbuh di jalan berliku menuju sungai ini. Planet ini punya dua matahari berukuran kembar. Aku menatap ke atas dan membayangkan dua mata itu milik naga Tiongkok. Besar, menyeruak tajam, dan menyala-nyala.
Jadi beginilah rasanya tinggal di sebuah planet yang punya sistem bintang ganda. Aku tidak tahu kapan salah satu atau keduanya akan tenggelam. Mereka membiaskan warna merah di langit, atau mungkin itu disebabkan oleh alga juga? Jadi bisa kuduga sebagian besar sungai di dunia ini ditutupi alga merah?
Satu kulit kacang lagi mendarat di atas tumpukan sampah. Soma berkonsentrasi menyalakan api unggun, sayangngnya kami tidak menemukan apa pun yang lebih keras dari tanah dan batang pohon di sini. Tidak ada batu untuk menimbulkan percikan api.
"Coba pakai kulit kacangnya," saranku. Kulit itu lumayan keras, hanya bisa dibuka setelah dibasahi dengan air. Kurang lebih sekitar setengah jam. Unsur yang membingungkan. Mudah disusupi air, berarti struktur senyawanya tidak rapat, tapi ketika tidak terkena air, rasanya mustahil bisa membuka kacang berbentuk oval itu.
Soma menuruti perkataanku. Aku memperhatikannya menggosok-gosok dua kacang yang belum dibasahi dengan air di keranjang yang kami buat dari jalinan ranting pohon.
Bagaimana bisa kami sampai kesulitan membuat api di suatu planet yang namanya pun tidak kami ketahui padahal menghasilkan api di Bumi hanya tinggal menjentikkan tuas korek? Apa yang membuat kami bisa pergi sejauh ini? Apa yang membuatku bisa pergi sejauh ini? Karena Soma sudah terbiasa melakukannya. Aku tidak akan ada di sini sekarang, makan kacang-kacangan dari planet berlangit pink ini jika bukan karena hasratku untuk bepergian ke tempat-tempat yang jauh. Jauuuh sekali. Sejauh-jauhnya dari Dimens.
Mataku terpejam dan dalam aliran kegelapan yang menyebar di balik kelopak mata, aku tahu di situlah awalnya. Awal mula aku bersedia melakukan semua perjalanan ini dengan Soma. Karena aku ingin tahu rasanya hidup di Inggris sebelum tinggal sepenuhnya di sana.
Bagaimana perasaan Dimens jika dia tahu aku pergi karenanya? Untuk menghindarinya?
Kata-kata Lindu seperti racun yang membakar dadaku. Aku tidak dibiarkannya merasa tentram.
Dimens sendiri yang tidak mau dikunjungi siapa pun, dia selalu bersikap tidak stabil. Tapi lalu tiba-tiba dia bilang aku boleh mengunjunginya kalau mau. Itu berarti sebenarnya dia suka sedikit dipaksa, kan? Dia suka saat ada yang memperjuangkannya. Dia suka melihat orang berusaha lebih keras untuk bisa menemuinya. Kenapa dia harus sesulit itu kalau dia memang membutuhkan dukungan.
Tapi, memangnya kau mau mendukungnya jika dia memintanya?
Tidak. Aku merasakan penyesalan dan kemarahan yang berkobar hebat dalam diriku.
Bukan Ali yang pergi lebih dulu, kau tahu itu. Pasti gadis itu, kan? Dialah penyesalan utama Dimens.
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat dan menghela napas. Sebelum menyadari sesuatu yang berbeda. Derak dan bau panggangan. Aku membuka mata. Asap membumbung di hadapanku. Kacang sebesar buah zaitun ditusuk seperti sate dan digulingkan di atas api putih. Apinya putih. Aku melirik Soma dan tersenyum. Dia membalasnya dengan melompatkan kedua alisnya sejenak ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Make it a Wrong Place
Fantasy"Kak Matra pikir aku bisa pulang kalau gak beli bensin di sini?" "Harus ... harus beli di sini?" "Iya, lah! Kalau beli di tempat lain, sama saja kayak buang-buang uang. Tangkinya akan terisi, tapi aku gak akan bisa pulang." "Memangnya kenapa? Rumah...