34

2 0 0
                                    

Keesokan paginya, aku berangkat ke sekolah dengan Mily. Papanya memaksa agar kami mau dia antar dengan mobilnya, jadi aku sama sekali tak berdaya menolaknya. Penolakan pertamaku langsung disambut gelengan kebapakan yang meruntuhkan pertahanan. Mobil keluarga Mily berbau segar, seperti air terjun di tengah-tengah hutan. Perasaanku waswas, Soma dan kemarahannya bisa saja sudah menungguku di gerbang sekolah yang terlipat ke dalam. Tapi begitu kami tiba, arus macet motor mengalir seperti biasanya tanpa kehadiran Soma.

Aku mengembuskan napas lega dan langsung merasa heran. Bagaimana bisa hanya dalam waktu semalam orang yang keberadaannya paling kuinginkan bisa berubah jadi paling kutakutkan?

Duggan mengirimiku pesan sewaktu aku dan Mily sudah berbaring di kasur empuknya yang berwarna putih kekuningan, seperti sinar matahari pukul 9 pagi. Everything's okay? katanya. Kubalas dengan kalimat yang sama percis tanpa tanda tanya. Dan dia mengirimiku emotikon senyum.

Lindu tidur lagi di pelajaran Penjaskes teori. Tapi begitu bel berbunyi, tubuhnya menegak. Pipinya digoresi lubang dan garis di meja. Dia mengusap wajahnya yang berminyak dan mengacak-acak rambut cepaknya yang mulai memanjang. "Kantin?" tawarnya padaku.

"Tidak ada proyek untuk digarap?"

"Ada yang untuk ditunggu hasil rapatnya. Sementara ini otakku vakum. Ayo!" Dia lalu melangkah lebar-lebar ke pintu kelas, seperti preman yang memimpin anggota gengnya.

Mily menyandungnya dan Denta langsung terbahak-bahak ketika Lindu tersentak ke depan, tapi untungnya tidak sampai terjengkang. "Makanya, kalau jalan itu sesuai ukuran kaki saja!" Mily memarahi.

Lindu cuma memelototinya. Dia menolehku lalu menyundulkan wajahnya ke arah pintu. Aku mengikuti di belakangnya dan saat kami berada di lorong, aku tertawa sampai memegangi perutku dan menepuk-nepuk dinding kelas lain.

"Menyandung, tapi memarahi." Dia mengomel sepanjang jalan. Mataku sampai berair. Aku sampai harus selalu mengusapnya.

Kami duduk di dekat tangga menuju lantai dua, deretan ruang kelas 12. Jauh dari meja favoritku dan Soma di pojok sana. Aku menyapukan pandangan ke sana dan kembali mengembuskan napas panjang saat tidak menemukan Soma. Lindu memesan nasi bungkus 5000-an untuk kami. Sudah lama aku tidak makan masakan kantin. Biasanya Soma akan memesan bakso setiap kali aku menghabiskan makanan yang dia bawa sepulangnya dari perjalanannya di malam hari. Atau kadang aku makan bekal masakan Buk Laras.

Makan berhadapan seperti ini dengan teman sekelasku membuatku merasa diterima di tengah lingkungan. Kakakku terjangkit HIV, tapi dia bukan penderita AIDS. Dan aku tidak berbahaya, seperti kata Lindu. Aku ingin seperti itu. Kini aku merasa begitu.

"Masih ada masalah internal? Menginap lagi saja di rumah Mily," saran Lindu. Dia mengunyah nasi dan suwiran ayam pedas sambil menungguku menjawab.

Aku pun akan merepotkan keluarga Mily sungguhan. Kebohongan lainnya yang akan segera menjadi kenyataan. "Nanti kupikirkan lagi."

"Mily pasti akan memaksamu, paling dia akan mengundang Denta juga supaya bisa mengadakan pesta piyama boneka beruang."

Aku kembali tertawa, padahal baru saja menyuap nasi. Buru-buru aku mengunyahnya sampai halus lalu menelannya. Kupelototi Lindu, tapi tak sanggup memarahinya karena aku sudah kembali terpingkal. Timbul pertanyaan yang menusuk ulu hatiku. Apakah kau pernah seceria ini saat bersama Soma? Pernah, pasti aku pernah mengalami masa-masa seperti ini. Pertemananku dan Soma hanya sudah terasa seperti saudara. Kami tak harus selalu menertawakan sesuatu, kan? Kami hanya harus tertawa sesuai porsi, seperti kata Mily. Melangkah sesuai ukuran kaki.

Kami mengembalikan piring plastik pinjaman ke stand nasi bungkus dan membayar tambahan berupa kerupuk dan air mineral gelasan. Ponselku di kantung rok bergetar. Aku mengeluarkannya. Kontak Papa mengerlip berulang kali.

Don't Make it a Wrong PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang