37

1 0 0
                                    

Sebelum pulang, aku meminta bantuan Soma untuk mengantarku ke rumah Mily, mengambil motorku. Mily dijemput oleh papanya yang menggunakan jam istirahat di kantor untuk mengantarnya pulang. Mereka berkendara di depan kami. Pesan Lindu sampai waktu aku turun dari motor Soma dan Mily sedang membuka gerbang. Hubungi aku kalau dia bersikap aneh. Tapi aku dan Soma sudah melakukan puluhan perjalanan dan tak sekali pun dia pernah bersikap aneh. Lindu masih mengkhawatirkan luxvux merah Soma, dia melihat itu dengan kedua matanya sendiri, aku mengerti. Tapi luxvux itu tidak berbahaya.

Mily memandangiku mengeluarkan motor dari garasinya sambil memasang tampang cemberut, setengah merengut untuk menampik cahaya siang karena dia berdiri di bawah perbatasan bayangan kanopi rumahnya dan langit. "Kapan mau menginap lagi?"

"Kapan-kapan, Mily, tapi aku pastikan, akan menginap bukan karena punya masalah dengan keluargaku."

Mobil papanya memutar balik di percabangan gang lima rumah jauhnya dan sekarang sedang melaju ke arah kami. Klakson dibunyikan waktu mobil melewati rumah. Mily mengangguk padaku. "Hati-hati di jalan, Matra." Dia menatap Soma dan tersenyum. "Kau juga."

"Soma." Soma memperkenalkan diri.

"Di kelasnya Karina Ava Yulistya?" tanya Mily. Soma mengangguk. "Kalian hati-hati, nanti hubungi kalau kau sudah rumah, Matra."

Aku dan Soma berpisah jalan di perempatan pom bensin kami. Aku membelok ke arah Surface Wave untuk mampir ke pasar ikan di selatan dan dia melaju lurus. Hewan laut berukuran besar ditempatkan dalam box putih dan ditata di bawah atap-atap seng yang ditegakkan oleh pilar beton. Tanah dilapisi semen kasar yang ditumbuhi lumut di bawah meja berlapis seng. Keranjang plastik mewadahi kerang, udang, dan kepiting berbagai jenis di atas meja. Aku memilih kerang bambu, scallop, tiram, kerang hijau, dan kepiting. Total kelimanya seberat 4,5 kg.

Langit berwarna jingga terbakar sekeluarku dari pasar ikan dengan kantung plastik hitam. Aku menggantungnya di motor setelah berjalan di lorong-lorong licin berbau amis dan asin. Pintu rumah terbuka sewaktu aku memarkir motor di garasi. Dimens keluar dan merentangkan tangannya di teras. "Pesananku?"

"Lengkap."

Dia meraih kantung plastik belanjaan. "Scallop berapa kilo?"

"Satu, Dim, aku tahu, setengah kilo untukmu sendiri dan setengahnya lagi untuk kami."

Senyumnya begitu semringah. Ketika dia berbalik masuk ke rumah, dia tidak tahu aku tersenyum di balik punggungnya. Setelah berganti baju, aku menghampirinya menempatkan kerang dan usang ke mangkuk-mangkuk kaca yang berbeda. Keran menyala di sebelahnya, aku mengisi mangkuk dengan air dan membersihkan kerang bambu satu per satu. Kucuran air dan bak buk laci kabinet yang dibuka dan ditutup mengundang rasa penasaran Buk Laras. Dia beberapa kali keluar dari kamarnya untuk memeriksa, masih dengan wajah merengut pada Dimens.

"Sebentar lagi, kurasa," aku berbisik padanya sambil melirik Buk Laras berjalan ke ruang tamu. Televisi pun menyala. Dia duduk di sofa. Volume televisi sengaja dikecilkan, mungkin agar dia bisa mengawasi bebunyian yang kami kerjakan di dapurnya.

"Buk Laras bisa marah lama sekali kalau dia mau," balasnya. Aku mengangkat alis sebagai tanda setuju.

Kami berniat membuat lima saus berbeda untuk setiap jenis kerang dan kepiting berbekal resep dari internet. Saus padang, asam manis, lemon, kecap, dan kacang. Aku terlalu segan bertanya pads Buk Laras, apalagi Dimens. Tapi pada masakan kedua, setelah kerang bambu saus kacang, kami tahu saus padang adalah andalannya Buk Laras, jadi aku memberanikan diri untuk menariknya ke dapur.

"Cangkangnya sudah disikat?" tanyanya sambil mengusapkan ibu jari di cangkang kerang hijau. Aku melirik Dimens yang melipat bibirnya lalu menggeleng pada Buk Laras. Dia menghela napas lalu menunjuk dua mangkuk kerang lainnya. "Bantu Ibu menyikatnya. Sikatnya Ibu letakkan di dalam lemari atas, di sebelah kepalamu itu, Dimens."

Meski sambil cemberut pada Dimens, Buk Laras membantu kami sampai selesai. Kerang bambunya manis sekali, aku menuangkan gula yang terlalu banyak, dan aftertaste-nya amis luar biasa. Aku sendiri langsung dipenuhi desakan untuk muntah saat bernapas di dalam mulut. Dimens menertawakanku dan segera menutup mulutnya saat dilirik Buk Laras. "Baguslah kalau kau mulai belajar masak, Matra," pujinya. Dalam waktu dekat ini, dia pasti hanya ingin membuat Dimens merasa sangat-sangat menyesal.

Sesuatu yang tak diketahui Buk Laras telah diraskannya selama hampir empat tahun. Sendirian.

Pukul delapan malam, dengan perut kembung penuh kerang dan kepiting, Papa berjalan tertatih-tatih ke kmarnya di sebelah kamarku. Aku buru-buru memanggilnya. "Pa," kataku. "Aku mau menginap lagi. Kami akan jalan-jalan dulu malam ini baru kemudian menggarap tugas kelompok." Ini terakhir kalinya aku berbohong padamu, Pa, tentang perjalanan ini. Jadikan ini yang terakhi, Matra.

Papa mengernyit, lantas melirik arlojinya. "Kenapa malam-malam begini? Biasanya kau sudah berangkat sejak sore."

Aku mengarahkan dagu pada Dimens yang duduk di meja makan. "Dim mengajakku masak scallop."

Perlahan-lahan kernyitan di dahinya menghilang, digantikan sapuan senyum tipis di bibirnya. Papa berusaha melirik ke belakang tanpa menoleh, tapi tentunya di tidak bisa menemukan anak pertamanya tanpa melihatnya. Dia juga masih marah para Dimens, memutuskan untuk mendiaminya percis seperti Buk Laras. "Kalau begitu hati-hati ya, Nak. Di rumah Mily lagi?"

Aku melipat bibirku ke dalam lalu menelan ludah. Mily sudah bersikap baik sekali padaku dengan menerimaku menginap di rumahnya, tapi beginilah caraku membalas kebaikannya: menjadikannya kambing hitam agar aku bisa bepergian di alam semesta.

Aku mengangguk. Kebohongan terakhir. Papa mencium puncak kepalaku lalu masuk ke kamarnya.

Dimens sudah menungguku mengatakan sesuatu padanya. Buk Laras tengah membersihkn dapur sebelum tidur. "Menginap lagi?"

"Cuma satu malam saja." Aku menepuk bahunya. "Kau bisa melapisi tubuhmu dengan baju pelindung lebah atau baju astronot sekalian, dan besok aku akan mengajakmu nongkrong di tempat ini, ada arena skate-nya. Mereka jual minuman boba dan crepe."

"Cepat pulang, Matra," katanya. "Masalahmu sudah kau selesaikan? Yang kemarin kau bilang padaku?"

"Hampir." Aku harus berbohong, dia tidak boleh menghalangiku mengucapkan selamat tinggal pada perjalanan interstelar bersama Soma. Berdasarkan istilah gagasan Dimens, ini adalah satu dari momen peluncuran kapal bagiku.

"Pergi." Soma memberi tahu pegawai wanita yang bertugas, berambut sepanjang lengan atas kali ini, dimasukkan ke lubang topi merah di belakang kepalanya. Lengkungan topinya menutupi tigaperempat wajahnya yang bundar. Aku bisa melihat seluruh lehernya yang pendek sebelum mendorong motorku ke arah reservoir tanam. Soma menyusul beberapa menit setelahnya.

Dia bilang pergi? Apa aku tidak mendengar waktu dia bilang pulang?

Setang motor kami berjajar, Soma berdiri di sebelah jok motornya, menghadapku. "Aku ingin dengar cerita yang bisa membuatmu membatalkan keputusan terbesar dalam hidupmu." Seperti seorang tukang pukul yang menagih cerita jujur dari musuhnya, dia menyilangkan tangan di depan dada.

"Dia menceritakan segalanya, bagaimana dia memperoleh penyakit itu. Tapi dia bukan seorang penderita AIDS, Soma, seperti yang dikatakan ibunya Ali dan Lindu kapan hari. Dia bilang kadar virus dalam darahnya cukup rendah sampai bisa dikategorikan tak terdeteksi." Aku memastikan semua kejadian sejak Papa menjemputku kemarin siang tidak luput dalam ceritaku. Soma mendengarkan tanpa menginterupsi sekali pun.

Dia melangkah ke arah jalan raya dan berhenti di antara kepala motor kami. Figurnya tampak seperti tiang bertangan dan berambut dari belakang. "Tapi, Kak Matra, sayang sekali aku harus memberitahumu bahwa kau tidak bisa begitu saja membatalkan rencanamu untuk pindah ke Tarpas."

Don't Make it a Wrong PlaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang