2007 Berduka

23 4 0
                                    


September 2007

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

September 2007

Malam itu, tepatnya pada hari senin adekku, Itsna tiba-tiba sakit. Badannya panas dan juga mengalami muntah-muntah. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12 dini hari, namun Itsna belum bisa terlelap. Ibuku pikir apa yang dialami oleh Itsna merupakan akibat dari dia jatuh di sekolah dua hari yang lalu. Kata salah satu guru yang mengajar bilang bahwa dia tidak sengaja jatuh saat mengikuti sebuah acara di sekolah. Aku lupa waktu itu ada acara apa? Tapi saat ditanya, Itsna bilang tidak apa-apa. Waktu itu Itsna masih sekolah nol besar (istilah TK B jaman sekarang). Itsna bersekolah di salah satu taman kanak-kanak di dekat rumah kami. Jaraknya dapat ditempuh dengan jalan kaki sekitar 35 meter saja. Aku dan ibuku sebenarnya sangat khawatir dengan kondisi Itsna. Ditambah dia memiliki salah satu penyakit tumor di sekitar alat vitalnya. Tumor itu sudah ada sejak Itsna lahir atau bahkan pada saat dalam kandungan. Kami takut bahwa apa yang dialami Itsna saat itu akan berdampak dengan penyakit yang ia bawa.

Kala itu, di rumah hanya ada kami bertiga. Kalau tidak salah saat itu ayahku dapat kerjaan di luar kota dan bisa pulang keesokan paginya. "Kamu jaga adekmu sebentar. Ibu mau siapin kompresan" cletuk ibuku yang membaringan Itsna dan pergi menuju dapur. Aku menyalakan kipas angin dan mengarahkannya ke badan Itsna. Terdegar ibu sedang mengambil es batu di dalam kulkas. Jarak kamar dan kulkas yang ada di dapur memang tidak jauh bahkan bersebelahan. Jadi, jika ada seseorang yang memasak atau melakukan aktivitas di dapur, pasti akan terdengar. Tak lama kemudian, ibuku datang dengan membawa sebaskom air dingin dan handuk kecil berwana kuning.

"Ini sakit, nak?" tanya ibuku dengan menunjuk ke arah benjolan yang dimiliki adekku.

Adekku hanya menggeleng kepalanya pertanda bahwa dia tidak merasa sakit di daerah sana. Ibu mulai mengkompres kepala adekku dengan handuk yang sudah dibasahi air dingin. Tak berselang lama, adekku bisa tidur meski badannya masih panas. Kami bertiga pun tidur barsama. Saat itu di rumah kami memang hanya memiliki satu kamar. Aku, adek, serta ayah dan ibu tidur di satu kamar. Itu karena ayah dan ibu hanya mampu menyewa satu rumah kontrakan kecil. Rumah tersebut sudah cukup layak daripada sebelumnya. Sebelum menempati kontrakan, kami berempat tinggal di kos-kosan kecil yang hanya berukuran kamar yang saat ini kami gunakan untuk tidur.

Dua hari setelah itu, Itsna masih belum sembuh. Sehingga ayah dan ibuku membawanya ke rumah sakit. Kami berangkat menggunakan mobil. Seingatku, waktu itu kami menggunakan mobil L300. Itu adalah mobil pertama yang dibeli ayahku untuk bekerja dan bahkan untuk mudik ke desa. Jarak dari rumah ke rumah sakit sekitar 30 hingga 40 menit jika menggunakan mobil. Tergantung juga dari macet tidaknya lalu lintas dan jalan raya. Aku duduk di samping ayahku yang sedang mengemudi. Sedangkan ibuku sedang merangkul Itsna yang duduk di samping kiriku. Raut wajah ibu nampak jelas khawatir dengan kondisi Itsna. Jelas, semua ibu di dunia ini pasti khawatir ketika melihat buah hatinya sedang sakit. Terlebih lagi, saat itu Itsna sangatlah lemas seperti kekurangan cairan tubuh. Karena di perjalanan ia juga sempat muntah dua kali. Untung saja, ibu sudah menyediakan tempat dari rumah.

MY AMYGDALA : Elnaura Indriana SyailendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang