Persatruan Keluarga

14 3 0
                                    

Cerita ini akan mulai tahun 2018

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini akan mulai tahun 2018. Dimana saat itu kami sudah mempunyai rumah pribadi untuk tempat tinggal. Kami pindah di daerah perbatasan Kota Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo. Namun walau begitu semua surat seperti kartu keluarga, KTP dan surat penting lainnya, kami masih tetap tercatat sebagai penduduk Kota Surabaya. Sejak ayahku membuka usaha besi tua, banyak sekali perubahan dalam segi ekonomi. Sedikit demi sedikit ekonomi keluarga kami kian membaik. Lebih tepatnya cukup baik dari sebelumnya.

Tapi, hal ituu juga membuat keluarga kami banyak ditimpa cobaan. Salah satu mantan pacar ayahku menghubungi ayahku. Awalnya aku tidak tahu siapa perempuan yang sering mengirim pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp. Perempuan itu bernama Lilin. Dia seringkali mengirim pesan secara pribadi terus menerus. Aku menduga bahwa mereka hanyalah partner bisnis. Ternyata dugaanku salah. Firasat perempuan bagai sebuah kenyataan yang belum terungkap.

Hari itu, ada satu foto yang tidak pantas muncul dari panel notifikasi ponsel milik ayahku. Satu foto perempuan yang hanya meggunakan pakaian dalam. Perempuan itu tersenyum lebar ke arah depan kamera. Bukannya malu, perempuan itu terlihat senang ketika foto tersebut diambil. Kulihat secara teliti, foto itu memang real. Tidak ada pengaruh editan atau semacamnya. Setelah mengamati foto tersebut dengan sedikit mengingat wajahnya. Aku langsung ngeh. Perempuan di foto tersebut adalah Lilin Asmawati. Hal lain yang membuatku kaget adalah ayah mengakui semuanya. Ayah mengakui bahwa dia memag berhubungan dengan perempuan itu.

Aku mencoba mencari tahu informasi Lilin dari saudara ayah. Seperti Bu Wiwik, adek kandung ayah dan semua yang pernah bekerja dengn ayah dulu. Ternyata Tuhan memudahkan jalan. Aku mendapat berbagai banyak informasi. Lucunya ternyata saudara perempuan itu adalah teman dari sepupunya ayah sendiri. Aku juga dengar bahwa ternyata Lilin masih mempunyai suami yang saat itu sedang sroke. Pikiranku melayang kemana-mana. Kesimpulanku saat itu, pertama dia sudah ada niat untuk meninggalkan suminya. Kedua, dia ingin menghancurkan rumah tangga kedua orangtuaku. Ketiga, dia hanya ingin mengincar harta ayahku. Mungkin seperti itu kesimpulan yang kuambil.

Beberapa waktu setelah itu, aku sudah tidak kuat. Hatiku sudah tidak sanggup untuk memendam semuanya. Terlebih lagi kala itu kondisi sedang kacau dan tidak baik. Ayahku kian menjadi-jadi. Ibuku yang juga sering sakit karena melihat kelakuan ayahku. Ditambah lagi dengan adanya kabar bahwa Mas Nanang tergeletak di rumah sakit. Mas Nanang mengalami penyakit Lupus eritematosus sistemik. Kabar itu terdengar ketika aku dan ayahku sedang berada di Banyuwangi. Aku lupa alasan kami ke Banyuwangi karena apa.

Waktu itu aku di rumah Bu Wiwik, banyak orang disana. Tiba-tiba dering ponselku berbunyi. Kulihat nama Mbah Sarni tercantum di layar ponsel. Setelah kuangkat, ia bilang bahwa Mas Nanang sedang dalam kondisi parah dan dirawat di RSUD Dr.Soetomo Surabaya. Karena sinyal tak terlalu kuat, suara telepon agak sedikit bising. Hal itu yang membuatku harus meninggikan suaraku.

"Halo"

" Halo Ra, kamu kondisinya Mas Nanang tambah gawat"

"Hah? Mas Nanang gawat?"

"Mas Nanang masuk rumah sakit sekarang. Kamu gak tau ta?"

"Mas Nanang masuk rumah sakit?"

"Iyaaa!!"

"Loh, gak tau. Aku sekarang di Banywangi"

"Sama siapa? Ayahmu?"

"iya. Sama ayah."

"Lha ayahmu masak juga gak tau?"

"Loh, kalau itu ya gak tau juga aku"

"Gimana toh ayahmu itu?"

Telepon pun mati. Ternyata Mas Iyank (Anak Bu Wiwik) dan beberapa saudara lain yang berkumpul mendengar apa yang aku bicarakan. Mas Iyank langsung menanyakan ke Bu Wiwik apa yang sebenarnya terjadi pada Mas Nanang. Ternyata nihil. Bu Wiwik pun juga tidak mendengar kabar apapun yang mengenai Mas Nanang. Aku langsung bertanya pada ayahku tentang hal ini. Ternyata ayahku sudah tahu tapi tidak memberi tahu tentang hal ini kepada saudara lainnya. Bu Wiwik pun langsung marah karena kabar seperti ini tidak ada satupun yang memberi tahu.

Beberapa saudara dan keluarga dari Banyuwangi datang ke Surabaya. Kondisi Mas Nanang saat itu memang sudah dibilang cukup serius. Kalo tidak salah, waktu itu mereka ke Surabaya dua minggu sebelum hari raya idul fitri. Salah satu dari mereka yang aku sering panggil Mak Sri, menitipkan pesan kepada ibu dan juga ayahku. Mak Sri menitipkan pesan bahwa ayahku tidak usah pulang ke Banyuwangi untuk lebaran tahun ini. Tujuannya untuk mendampingi dan bisa mengetahui perkembangan Mas Nanang. Karena saudara yang paling dekat dengan rumah Mas Nanang adalah ayahku. Itulah kenapa ayahku yang diminta dan paling diandalkan untuk urusan ini. Tapi pesan tersebut tidak dijalankan oleh ayah. Ayah nekat untuk mudik ke Banyuwangi. Entah alasan apa, mungkin saja ayah ingin bertemu dengan wanita simmpanannya.

Sebelum berangkat, kami berpamitan dengan istri Mas Nanang di rumah sakit. Sewaktu kami berkunjung, keadaan Mas Nanang membaik. Bahkan sempat bisa berbicara sedikit dan pelan. Melihat kondisi Mas Nanang yang terlihat baik, ayahku semakin yakin untuk pulang ke kampung halamannya. Namun, ibuku bilang untuk menunggu sampai hari raya pertama. Agar semakin yakin dengan keputusan yang diambil oleh ayahku. Sebenarnya ibuku tidak tega harus meninggalkan Mas Nanang dalam kondisi seperti itu. Terlebih ayah dan ibu juga mendapatkan amanah dari Mak Sri untuk menunda perjalanan mudik. Tapi tanpa adanya musyawarah keluarga, ayah mengambil keputusan secara sepihak. Itulah sifat yang tak pernah aku dan ibu suka dari ayah.

**********

Aku, Ayah, Ibu, dan juga Mbah Sarni yang saat itu ikut mudik berangkat sekitar jam 4 sore. Di pertengahan perjalanan mudik, tepatnya di Kota Jember. Dering ponsel ayah berbunyi. Mobil yang kami kendarai langsung menuju pinggir jalan. Ayah yang saat itu mengangkat poselnya tiba-tiba mengtakan kata....

"Inna lillahi wa inaa ilaihi raji'un "

Satu kalimat pertama keluar dari ayah. Tanpa bertanya, aku sudah tahu siapa yang sedang ayah bicarakan. Ya benar. Mas Nanang meninggal tepat di malam Takbir. Ibuku langsung lemas usai mendengar kalimat yang ayah ucapkan.

Keesokan harinya, hampir semua keluarga marah dengan ayahku. Terutama Mak Sri dan Bu Wiwik. Semua marah karena ayah tidak mendengar apa yang sudah Mak Sri pesan. Seakan pesan dari Mak Sri adalah kalimat yang bisa dilanggar. Nyatanya, pesan itu tidak digubris dan menyebabkan persatruan keluarga. Sejak kejadian itu, Mak Sri, Bu Wiwik serta beberapa saudara lain tidak pernah ngobrol dan menggubris apa yang ayah sampaikan. Seperti sedang memberikan pelajaran kepada ayahku. Mereka meduga bahwa semua yang dilakukan ayahku bukan karena saat itu lebaran tapi ingin bertemu dengan Lilin.

Aku sudah capek dengan semua yang terjadi saat itu. Seminggu setelah pulang dari Banyuwangi, aku langsung teringat bahwa aku menyimpan beberapa nomor teman ayah. Nomor teersebut kuambil dari grub alumni milik ayah secara diam-diam. Kala itu aku menyimpan lima nomor. Tapi aku memilih tiga nomor yang menurutku sangat aktif di grub. Aku langsung mengirimkan pesan yang sama kepada tiga nomor tersebut beserta foto Lilin yang tidak pantas itu.

"Tolong ya, kalo punya teman dikasih tahu mana yang benar dan salah. Apa pantas teman mu kirim foto kayak gini ke suami orang?"

Begitulah kira-kira pesan yang kukirimkan. Aku juga tidak lupa memberitahu bahwa aku adalah putri dari salah satu temannya. Aku tidak suka bertele-tele. Aku langsung memberitahu siapa sebenarnya aku tanpa harus ditanya. Bukan karena apa, tapi aku saat itu diriku seperti sedang menantang.

Berbagai tanggapan kuterima. Hingga salah satu dari mereka mengkonfrimasi kepada ayahku. Aku tidak takut dengan apa yang aku lakukan. Secara sadar, aku menerima kosekuensi yang nanti aku dapat.

MY AMYGDALA : Elnaura Indriana SyailendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang