Reva terbangun karena tubuh bagian atasnya sangat dingin, ia membuka matanya dan menemukan Josua dan Adam yang masih tertidur seperti saling menendang bahkan Adam beberapa senti lagi akan jatuh dari kasur.
Reva dengan terburu-buru bangun dan membenarkan posisi tidur mereka berdua.
Lalu setelahnya Reva membersihkan tubuhnya.
Disisi lain tepatnya di kamar Abram, Tama sedang mencoba melepaskan pelukan Abram yang berada dibelakangnya, pelukannya sangat erat.
Tak kunjung lepas juga akhirnya Tama menyerah dan dengan pasrah tidak ada gerakan lagi.
Pikirannya mulai berkelana kemana-mana dimana dengan tulus dan lembut Abram menyatakan perasaannya pada Tama.
Tentu saja itu hal yang mengejutkan apalagi umur mereka terpaut sangat jauh namun begitu Abram tampak awet muda dengan merawat tubuhnya karna sering berolahraga.
"Dingin..." Lenguh Abram dengan lirih.
Tama dengan penasaran membalikkan tubuhnya dan melihat Abram dengan alis berkerut dan terus meracau.
Dengan cepat Tama mengecek suhu tubuh Abram dan ternyata Abram mengalami demam. Tama tergesa langsung membenarkan selimut pada tubuh Abram lalu ia pergi keluar untuk membuat kompresan.
Karna Reva sedang bersantai di ruang keluarga, ia melihat Tama yang berlari menuju dapur setelah keluar dari kamar Abram.
Reva pun akhirnya menyusul Tama yang berada didapur.
"Ada apa? Kok kamu keluar dari kamar Papa sambil lari-lari?" Tanya Reva.
"Om Abram demam, Kak. Ini aku lagi bikin kompres." Jawab Tama.
Perasaan panik pun langsung mengerubungi Reva, ia dengan cepat masuk ke kamar Abram. Ia melihat Abram yang meringkuk didalam selimut.
Reva pun langsung menurunkan suhu AC supaya tidak terlalu dingin dan pergi ke dapur untuk membuat air putih dan teh hangat.
Setelah selesai, Tama pun kembali masuk ke dalam kamar Abram dengan membawa baskom kecil dan kain untuk mengompres Abram.
Tak lama, Reva pun masuk juga ke kamar Abram dengan membawa nampan yang berisi minuman hangat.
Kemudian dengan tiba-tiba Josua menendang pintu kamar Abram hingga membuat suara yang nyaring.
"Reva!" Panggilnya dengan suara yang serak terlihat wajah Josua yang baru saja bangun tidur dengan mata yang sedikit merah.
Reva menghampiri Josua dan menarik tangan besar itu untuk keluar supaya tidak mengganggu Abram.
"Kamu apa-apaan sih?!" Kesal Reva kini nada suaranya sedikit meninggi.
Josua semakin marah mendengar Reva yang meninggikan suaranya padanya.
"Bangun tidur itu harusnya kamu ada disamping aku, aku cari kamu dikamar sampai buat Adam nangis ternyata kamu malah dikamar Papa!"
"Tapi bisakan pelan-pelan gausah nendanng pintu kayak tadi?" Reva tidak sadar ia mempertahan tinggi suaranya.
"Turunin suara kamu, aku bisa gila dengernya."
Reva baru menyadari dan dengan berat menghela nafasnya, jika Reva terus menerus mempertahankan suaranya yang meninggi sudah dipastikan Josua akan menggila dengan mengobrak-abrik isi rumah ini.
"Terserah kamu mau ngapain, aku mau susul Adam."
Setelah mengucapkan itu, Reva langsung menaiki tangga dengan berlari sedangkan Josua menendang sofa yang ada disampingnya hingga bergeser.
Reva menenangkan Adam yang sedang menangis sesenggukan.
"Udah, sayang. Cup cup..." Reva menggendong Adam supaya anak itu semakin tenang.
Ketika Adam kembali tertidur dalam gendongan Reva tiba-tiba Josua membuka pintu kamarnya dan melihat Reva dengan tatapan sayu.
Reva mengabaikan kedatangan Josua membuat hati Josua sangat sakit diabaikan oleh orang didepannya.
Ia pun berbaring disamping Adam dan membelakangi mereka disana Josua menangis diam hanya air matanya saja yang menetes tidak ada suara apapun.
Setelah Adam kembali tidur tenang, Reva berjalan mendekat pada Josua dan duduk disampingnya melihat wajah yang menangis itu.
Reva mengelus kepala Josua dengan lembut memberi kelembutan padanya.
Dengan cepat Josua memeluk pinggang Reva dan menenggelamkan kepalanya di perut rata Reva.
Sudah 15 menit Reva memberi ketenangan pada Josua, Josua pun bangkit untuk duduk menatap Reva dengan mata basah dan merahnya.
"Udah tenang?" Tanya Reva dengan amat lembut membuat Josua menganggukkan kepalanya.
"Maaf." Ucap Josua menundukkan kepalanya dihadapan Reva.
"It's okay. Aku mau minta tolong sama kamu kedepannya jangan apa-apa pake emosi ya."
Josua mengangguk dan langsung memeluk Reva dengan erat.
Setelah menidurkan kembali Josua dan Adam, Reva dengan sangat hati-hati keluar dari kamar mereka untuk melihat keadaan Abram.
Tama yang sedang duduk disamping Abram dengan tangan keduanya yang saling menggenggam.
"Udah mendingan?" Tanya Reva pada Tama.
"Panasnya belum turun, Kak." Jawab Tama.
"Dokter sebentar lagi sampe."
"Iya, Kak Josua udah ga marah lagi?"
"Aman, lagi tidur sekarang."
Tama hanya tersenyum menanggapi Reva yang santai seperti Josua takluk hanya kepada Reva.
Setelah dokter memeriksa keadaan Abram dan kemudian Reva kembali ke kamarnya, ia masih melihat Josua dan Adam tidur dengan tenang walaupun bantal guling sudah tergeletak mengenaskan di lantai.
Sedangkan Tama masih setia menunggu Abram untuk segera bangun. Ia melihat bibir bawah milik Abram yang terluka gara-gara ulahnya.
Beberapa detik kemudian Abram melenguh lalu meraba-raba sampingnya. Masih belum menyadari adanya Tama yang duduk sambil melihat gerak-gerik nya, raut wajahnya seketika marah dan melempar kompresan yang ada dikeningnya hingga terdampar di lantai.
"Tama! Tama!" Panggil Abram dengan suara yang serak. Dan menegakkan badannya.
"AAARRRGGHH!" Geramnya kembali melempar bantal disampingnya dan kembali jatuh dilantai tepat di bawah kaki Tama.
Abram yang melihat itu tertegun dengan cepat mengubah raut wajahnya dan langsung mendekat pada Tama yang masih duduk diam. Lalu Abram duduk dilantai berhadapan langsung dengan Tama.
"Sa-saya kira kamu pergi." Ucap Abram. Lalu dengan santai ia bersandar di paha Tama.
Tama diam, ia masih tidak menyukai perlakuan Abram yang teriak-teriak dan melempar bantal.
"Permisi, Om. Aku mau ke kamar." Ucap Tama. Ketika Tama ingin bangun tetapi tidak bisa karna kepala Abram menahan paha Tama untuk berdiri.
"Saya masih sakit."
"Tadi Om sudah teriak-teriak berarti sudah sembuh."
Abram menggelengkan kepalanya ia semakin menekan kepalanya pada paha Tama ditambah dengan kedua tangan nya yang ia lingkarkan di pinggang kecil itu.
"Lepas." Lagi-lagi Abram menggeleng ia tau bahwa Tama kini sedang marah.
"Lepas atau aku pergi."
Abram menatap Tama dengan sayu. Tatapan yang membuat Tama luluh.
Dengan keberanian penuh, Tama mengelus rambut yang agak ikal itu dengan perlahan.
"Jangan apa-apa teriak, Om udah berumur." Ucap Tama dengan lembut.
"Pusing..." Lirih Abram sambil bergerak mendusel pada Tama.
Tama membantu Abram berdiri dan kembali berbaring pada ranjang king size itu. Tama hanya pasrah ketika lengan nya yang menjadi bantalan untuk kepala Abram. Tak lupa menyelimuti tubuh mereka berdua dan Tama mengatur suhu AC supaya pas.
KAMU SEDANG MEMBACA
History Obsessed
Teen Fictionbromance yang berujung ada rasa saling suka diantara keduanya?