BAB 6 - HI GOODBYE

3.4K 412 36
                                    

Hello guys aku update lagi.

jangan lupa teken bintang dulu, ya, sebelum baca.

..

-HAPPY READING-

"Ini hasil rontgen anak Anda." Dokter Erick memberikan sebuah amplop coklat besar yang berisikan gambar dalam kaki Al kepada Arsen yang berdiri di depan dokter Erick.

Arsen yang tadinya menatap ke arah dokter Erick, menurunkan pandangannya ke arah amplop besar yang langsung diambil dari tangan dokter Erick.

"Saya harap hasil rontgen anak saya ada perkembangannya," ucap Arsen sambil membuka amplop tersebut. Kemudian mengeluarkan hasil rontgen anaknya. Ia meneliti gambar kaki anaknya dengan gambar kaki anaknya yang sebelumnya sudah di rontgen dan mengalami pergeseran tulang yang cukup parah hingga membuat kaki Al menjadi lumpuh.

"Untuk sementara, tidak ada perkembangan dengan kaki anak Anda. Al mengalami cedera saraf tulang belakang yang hampir saja menyebabkan anak Anda lumpuh permanen. Dan untung saja anak Anda hanya mengalami pergeseran di kaki kanan dan kirinya." Dokter Erick kembali menjelaskan apa yang terjadi pada Al dengan Arsen yang mendengar dengan seksama.

"Tapi, Anda sebagai dokter bisa kan membantu anak saya untuk sembuh dan kembali berjalan normal?" tanya Arsen.

Kedua sudut bibir dokter Erick melengkung ke atas dengan sebuah anggukan kepala yang tampak berat sekali. "Sebagai dokter saya hanya membantu sebisa saya, selebihnya adalah doa dan kegigihan anak Anda untuk sembuh."

Arsen mengangguk paham. Demi anaknya, ia akan melakukan apa saja bahkan ia rela mengeluarkan banyak uang atau hartanya hanya demi kesembuhan anak laki-lakinya yang sangat ia sayangi. Lalu kepala Arsen menoleh ke samping untuk menatap Al yang sedang berdiri di depan jendela ruang rawat, menikmati udara pagi yang segar. Hatinya teriris melihat keadaan anaknya yang sekarang. Tidak punya gairah untuk hidup. Seandainya saja, Saffiyah Mikayla itu tidak pergi selama-lamanya, pasti ini semua tidak akan terjadi pada anaknya.

"Anak saya cuma dia. Saya bisa hancur kalau anak saya kenapa-napa, bahkan saya menangis setiap malam memikirkan anak saya yang lumpuh. Kalau bisa, saya aja yang lumpuh jangan anak saya atau istri saya. Saya akan bayar berapapun untuk kesembuhan anak saya. Saya juga memanggil psikolog untuk memantau kesehatan mental anak saya." Arsen tidak memikirkan biaya perawatan anaknya. Biarlah semua uangnya habis asalkan anaknya kembali sehat. Bahkan ia memanggil psikolog terbaik untuk menyembuhkan kesehatan mental anaknya yang seringkali menangis sendiri dan berteriak seperti orang kesetanan.

Dokter Erick yang mendengarnya turut sedih dan terharu dengan perjuangan seorang ayah untuk anaknya. Satu telapak tangan Dokter Erick menempel di pundak Arsen lalu menepuknya pelan. "Anda tidak perlu khawatir, Al pasti bisa sembuh. Dia hanya perlu berdamai dengan keadaan."

Arsen kembali mengangguk sambil menyeka sudut matanya yang berair.

***

Disisi lain, Al yang sedang menatap kosong ke arah luar jendela yang memperlihatkan jalan raya di depan sana tiba-tiba mengerjapkan matanya dengan tubuh yang maju ke depan dan fokus pada satu titik, yaitu dimana ada sebuah mobil menabrak pohon hingga kap dengan mobil tersebut mengeluarkan asap. Dari arah kejauhan Al bisa melihat kalau ada percikan api di kap tersebut.

Melihat kejadian itu dengan matanya langsung membuat Al memegang erat kepalanya yang terasa sakit. Kecelakaan itu membangkitkan memori lama yang sudah ia kuburkan dalam-dalam dan sekarang muncul ke permukaan.

Al masih mengingat jelas kejadian enam bulan silam. Dimana ia baru saja tiba di Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya di luar negeri. Sebelum keluarganya ingin menjodohkan dirinya dengan Tania, Al meminta sedikit waktu untuk pergi ke makam Saffiyah dengan membawa mobil sang ayah. Dan saat di perjalanan pulang dengan keadaan hujan deras, Al memilih tetap menerobos hingga tanpa sadar bahwa ada sebuah truk yang berhenti di depannya dan Al yang tidak sempat mengerem langsung menabrak bagian belakang truk hingga mobilnya hancur dan kakinya yang juga terluka serta mobilnya yang setelahnya terbakar.

"Kenapa gue nggak mati aja, ya, waktu itu?" gumam Al. Seharusnya kejadian naas yang menimpanya itu bisa membuatnya mati dan bisa bertemu dengan Saffiyah. Tapi, sayangnya, Tuhan masih menyayangi nyawanya sehingga ia bisa bernapas hari ini.

Al pikir setelah kecelakaan itu, ia sudah benar-benar mati, karena ia sempat bermimpi kalau ayah dan bundanya menangis meraung karena kepergiannya. Bahkan semua orang ikut mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Namun, saat ia terbangun. Semua bukanlah mimpi. Ia masih hidup dengan keadaan lumpuh dan luka bakar yang menghiasi wajahnya.

"Sesusah itu, ya, buat ketemu kamu, Saff?" tanya Al pada dirinya sendiri. "Kenapa Tuhan nggak ambil nyawa aku aja waktu kecelakaan itu?"

Kepala Al tertunduk lemas, hingga sebutir air mata jatuh ke bawah tepat di atas telapak tangannya yang berada di paha.

"Sekangen itu aku, Saff."

Disela Al mengenang Saffiyah sang kekasih yang sudah tiada, perawat baru bernama Safira masuk ke dalam dengan membawa bubur, segelas air putih dan beberapa pil obat.

"Selamat siang, Al," sapa Safira ramah sambil meletakkan nampan di atas nakas.

Al tidak merespon sapaan Saffiyah, ia hanya diam dengan tatapan kosong kembali seperti sebelumnya.

Safira segera membawa semangkuk bubur ke Al. "Kita sarapan pagi dulu, ya," ucap Safira yang sudah berdiri di samping Al.

"Gue nggak laper," jawab Al tanpa menoleh ke arah Safira.

"Kalau nggak laper, nggak apa-apa, ya, makan sedikit biar habis itu kamu minum obat," tutur Safira lembut.

"Gue bilang nggak mau ya nggak mau!" Al meninggikan suaranya membuat Safira tetap tersenyum. Sebagai perawat ia sudah biasa menghadapi pasien yang seperti Al.

Melihat Al yang enggan untuk makan, Safira punya ide agar laki-laki yang duduk di kursi roda ini mau makan.

"Saya punya tantangan untuk kamu."

Mendengar itu membuat Al menoleh ke arah samping menatap Safira yang sudah duduk di kursi. "Apa?"

"Kalau kamu mau makan pagi ini, saya bakal kabulin satu permintaan kamu. Mau?" tawar Safira.

Kening Al berkerut memandang Safira. Sedetik kemudian Al tiba-tiba punya permintaan yang harus terkabulkan karena selama ini ia jarang mengunjungi seseorang.

"Gue mau."

Safira tersenyum, kemudian ia mulai menyuapi Al perlahan-lahan. "Jadi, apa permintaan kamu?"

Al menelan buburnya. "Tolong lo pergi ke makam cewek gue dengan bawain bunga mawar putih. Bilang ke dia kalau gue kangen."

"Siapa namanya?" tanya Safira.

"Saffiyah Mikayla."

Safira mengangguk, meski ia ragu untuk pergi ke makam. "Oke, saya bakal ke sana sesuai dengan permintaan kamu. Jadi, sekarang ayo makanananya di habiskan."

Suapan demi suapan Al terima dan saat Safira ingin mengelap sudut bibir Al yang ada sisa bubur membuatnya berhenti ketika Al mencekal lengannya.

"Gue bisa lap sendiri," tegas Al.

Safira kembali mengangguk. Kemudian ia mengambil segelas air putih lalu membantu Al untuk minum.

"Sekarang obatnya yang harus kamu minum." Safira mengambil obat di atas nakas yang berada di sampingnya. Lalu memberikannya pada Al.

Al menerimanya lalu memasukkan semua pil ke dalam mulutnya dengan diakhiri air putih yang habis. Hal itu membuat Safira tersenyum melihatnya.

Tanpa mereka sadari, ada seorang gadis yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua dari pintu ruangan setelah dokter Erick dan Arsen pergi dari sana. Tangan gadis itu terkepal kuat. Menatap tajam ke arah Safira.

"Perawat itu lebih beruntung daripada gue!"

"Gue nggak bisa biarin perawat itu setiap hari menyuapi Al!"

"Perawat itu bakal jadi orang yang nggak gue suka setelah Saffiyah!"

....

NEXT? SPAM KOMEN, YA, YANG BANYAK.

VOTE JUGA, YA, KARENA ITU PENTING UNTUK AKU BIAR SEMANGAT UPDATE LAGI.

TANIA NGESELIN NGGAK SIH?

SAFIRA INI BAKAL JADI SIAPANYA AL, YA?

TBC GUYS!

Hi, GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang