Kayana sudah selesai acara mandinya, ia langsung menyusul Keira yang sedang menyiapkan sarapan ke meja makan yang sudah ada Sinar dan Jia di sana. Lalu tak lama kemudian keluarlah Arga bersama ketiga penerusnya, Marven, Angga, dan Sakha.
"Pagi Daddy, pagi kakak!" sapa Kayana lebih dulu dengan senyum cerahnya.
Tak ada sapaan balik dari mereka berempat. Kayana menjadi sedih kembali tapi ia tutupi dengan senyum kecilnya.
"Pagi daddy, pagi kak Marven, pagi kak Sakha, pagi kak Angga!" sapa Jia begitu semangat.
"Pagi baby."
"Pagi sayang."
"Pagi adek."
"Pagi princess."
Namun ketika Jia memberikan sapaan semua orang membalasnya. Kayana memang akan selalu terabaikan, hanya hinaan dan siksaan yang ia terima setiap hari.
"Sarapan apa kita pagi ini?" tanya Arga setelah duduk di kursi khusus untuknya.
"Sarapan nasi goreng seafood kesukaan aku hehe." jawab Jia.
Arga hanya tersenyum mendengar. Tak apa nasi goreng seafood lagi, ia tidak mau putrinya sedih.
"Ayo makan." ujar Sinar dibalas anggukan mereka semua.
🍁🍁🍁
Selesai Kayana sarapan, seperti biasa Kayana dan Keira akan membantu para maid untuk bersih-bersih. Semua orang sedang pergi, Arga dan Marven pergi ke kantor sedangkan ke tiganya yang lain pergi ke sekolah masing-masing.
Kayana? Jangan dipertanyakan lagi ia hanya anak yang terbuang. Ia tidak akan pernah disekolahkan walaupun disekolah yang fasilitasnya rendah sekalipun.
Padahal dalam hati Kayana sudah berharap ingin sekolah seperti kakak-kakak nya, pasti mendapatkan banyak teman di sekolah baru. Ia ingin bebas juga seperti Jia, ia ingin sekolah, ingin banyak tahu ilmu pengetahuan. Selama ini Keira hanya mengajarinya membaca dan berhitung tanpa sekolah, tapi Kayana tahu beberapa huruf bahkan bisa membaca walaupun mengeja masih belum lancar.
Sinar, wanita itu sedang keluar menggunakan sendal biasa walaupun seperti itu sendal miliknya mahal sekali bahkan orang yang masih kalangan atas tak bisa membelinya.
Wanita itu membawa tas kecil entah isinya apa. Kenapa tidak maid saja yang membawanya? Karena Sinar tidak mau menambah pekerjaan para maid di Mansion ini.
Ia menuju sebuah tempat yang ternyata tempat sampah, wanita itu meletakkan tas kecil itu ke kotak sampah lalu pergi begitu saja. Tanpa wanita itu sadari seseorang sedang memperhatikan dari kejauhan.
"Bunda buang apa?" gumam gadis kecil yang tak lain adalah Kayana sendiri.
Kayana lah yang memperhatikan Sinar dari kejauhan saat wanita itu sudah keluar membawa tas dan membuangnya di kotak sampah.
Setelah melihat Sinar masuk lagi ke Mansion, gadis kecil itu berjalan menuju tempat sampah tadi, berniat mengambil tas kecil yang dibuang oleh Sinar.
Anak itu mengambil tas itu sambil melirik sekitar Mansion, saat merasa aman anak itu pun mengambilnya dan membawanya ke dalam Mansion, kemudian ia letakan di kamarnya.
Pukul 10 pagi, seharusnya ini waktu belajar para murid di sekolah SMA 1 Bangsa. Namun salah satu murid di sekolah ini sepertinya sedang ada yang membolos di belakang area sekolah yang jarak atau bahkan tak pernah di pijaki lagi oleh orang-orang, anehnya satu pemuda ini sangat suka bersantai di sini dengan kursi panjang di bawah pohon beringin besar. Sekolah ini di dekat pinggir jalan dan taman kota di depannya, jadi ramai pejalan kaki dan orang-orang melewati sekolah ini.
"Sakha"
Sakha menoleh sesaat ketika dipanggil oleh seseorang, bukan teman. Tapi Angga, ya saudaranya sendiri. Mereka satu sekolah hanya beda kelas.
"Ngapain di sini? Masuk udah jam pak Darwin." ujar Angga ikut duduk di samping Sakha.
"Males." ucapnya datar.
Berbeda jika mereka di Mansion, dia dan keluarganya yang lain akan menunjukkan sikap hangat dan tersenyum jika bersama Jia. Mereka melakukan ini agar Jia tak takut pada mereka semua, kecuali si sulung. Marven tetap pada sifatnya yang dingin dan datar walaupun kadang ia menunjukkan senyum tipis beberapa kali, tapi tetap saja Jia tak terlalu dekat dengannya.
Angga menghela nafas lelah (?). Sakha menoleh mendengar helaan nafas itu. "Kenapa lo?" tanya Sakha tanpa menoleh.
"Sak, gua ngerasa aneh," Sakha mengangkat sebelah alisnya.
"Gua di rumah selalu ngerasa ada yang kurang, padahal setiap malam ataupun hari libur kita kumpul bareng-bareng. Semuanya kayak fine-fine aja, tapi kenapa kek ada yang kurang. Lo tau kenapa, sak?" ia menatap Sakha yang memejamkan matanya.
"Gua rasa kita sama."
"Ana,"
Angga menegang ketika nama anak itu disebut, perasaannya tiba-tiba merasakan hal yang aneh, jantungnya berdegup kencang bahkan kegelisahan yang ia rasakan lagi saat mendengar nama anak itu.
"Kita ngerasa sesuatu yang kurang, tapi kita gatau apa itu. Nah gua rasa itu Ana, bener kan?" menatap Angga yang terdiam.
Reflek adik beda satu tahunnya memandang lurus ke depan, ia menghela nafas lagi. "Gua gatau, tapi iya gua pernah ngerasa keluarga kita kurang lengkap. Dan anak itu--- dia bukan adek kita, Sak. Daddy bahkan bunda gak pernah ngakuin anak itu keluarga kita ataupun bungsu keluarga Nagendra." jelas Angga.
"Tapi-"
"Lo ngerasa bersalah? Lo sayang sama anak itu?" tanya Angga memotong perkataan Sakha.
Sakha diam tak menjawab sebelum ia tersenyum, entahlah senyum apa. "Dia ngelakuin kesalahan apa sampai kita benci sama dia, Ga? Itu hal yang aneh, Ga. Dari kecil dia gak pernah ngerasain kasih sayang daddy dan bunda termasuk kita semua, lo gak kasihan? Mau gimana pun Ana tetap adek kita, adek kandung kita." jawab Sakha kembali membuat Angga merasakan perasaan hal yang aneh itu lagi.
"Tiap hari dia selalu nyari perhatian ke kita, nyapa kita meskipun gak ada sahutan dari kita semua. Anak itu gak pernah nyerah mau ngambil perhatian kita semua, apalagi daddy. Mau sekasar apapun daddy, anak itu tetap bersikap kayak biasa aja gak benci daddy ataupun kita. Coba lo renungi ini, Ga!" lanjutnya lagi.
"Lo nyesel udah bersikap gitu ke dia?" tanya Angga lagi.
"Maybe. Dia masih kecil, gak seharusnya Ana diperlakukan kasar setiap hari." jawab Sakha pelan.
Sakha benar, pikir Angga. Tapi perasaan lain selalu membuatnya untuk membenci anak itu, anak pembawa sial tapi tetap menyayagi mereka semua. Angga sudah lama merenungi ini, sulit rasanya membuat ia tersadar atas apa yang dia lakukan bersama keluarganya pada anak itu.
Setiap harinya Kayana selalu menyapa setiap pagi, anak itu akan tersenyum cerah jika dipanggil antara salah satu dari mereka memanggil anak itu walaupun anak itu berakhir mengenaskan. Namun, ia dan saudaranya belum pernah atau bahkan tak pernah melakukan kekerasan pada anak itu, mereka masih memiliki hati nurani hanya saja rasa benci itu terus berkembang biak dalam hati mereka.
Tak ada kesalahan, namun di benci. Satu alasan Arga yang masih belum terjawab untuk anak-anak nya, bahkan Sinar diam saja saat anak-anak yang lain menanyakan kenapa Kayana di benci sebelum anak itu lahir bahkan Sinar enggan menatap wajah anak itu walaupun sesaat.
Bersambung...
1068 word
KAMU SEDANG MEMBACA
NAGENDRA [SI BUNGSU] TERBIT ✔
General FictionPART SUDAH TIDAK LENGKAP📍 You can check out! Nagendra (The Youngest) on this Shopee link: 📎https://shp.ee/gc23yc6 Kayana, gadis kecil si pemilik marga Nagendra namun kehadirannya yang tak pernah dilihat, sapaannya yang tak pernah dibalas ataupun...