13

326K 8.3K 1K
                                    


Zora ingin pingsan rasanya. Saat mendapati Arkan menghampirinya dan menarik lengannya. Dengan ekspresi kesal Arkan mendorong lengan Arvin dengan tangan kecilnya. Terlihat sangat kesal melihat Zora dipeluk oleh Arvin.

"Jangan peluk Mama aku!"

Arvin sontak mundur melepaskan pelukannya. Arkan langsung naik ke pangkuan Zora dan memeluknya. Anak kecil itu menoleh menatap Arvij yang berdiri kaku.

Dengan bibir yang mengerucut kesal. "Kamu siapa? Jangan peluk Mama aku! Mama nggak boleh dipeluk siapapun selain aku dan Oma!"

Arvin menatap seorang anak kecil itu seksama. Setelah membuat Zora terkejut akan pengakuannya kini pria itu terkejut akan fakta Zora sudah mempunyai anak dan Arvin pastikan itu adalah anaknya. Sebab wajahnya sangat mirip dengan dirinya semasa kecil.

Zora tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tidak menyangka akan secepat ini terungkap. Ia tidak berani melihat reaksi Arvin. Zora sempat melirik dan Zora menyesal karena Arvin menatapnya bagai harimau kelaparan.

Pria itu pintar, pasti bisa tahu langsung kalau ini adalah anaknya. Zora semakin menciut saat Arvin berjongkok di hadapannya dan ternyata bukan menatap ke arahanya melainkan ke Arkan.

"Hai," sapa Arvin pada Arkan yang masih menatapnya kesal.

Arkan tidak menjawab. Anak lelaki itu bersedekap dada.

"Maaf ya tadi aku peluk Mamamu."

Arkan masih tidak menjawab, justru menatap wajah Arvin dengan serius. Kedua alisnya menekuk ke bawah, seperti memikirkan sesuatu.

"Om, pacal Mama?" tanya Arkan.

Tidak hanya Arvin yang kaget, Zora ikut kaget mendengar anaknya menanyakan hal seperti itu.

"Arkan, sama sus dulu ya, nanti Mama nyusul ke atas." Zora bangkit, baru ingin menyerahkan Arkan pada susternya yang sedari tadi menunggu di dekat pintu, Arkan menggeleng cepat.

"No, Mama!" Dengan jari telunjuknya ikut bergoyang.

"Mama mau bicara sama Om ini dulu. Kamu sama sus dulu, janji Mama langsung ke atas nanti," ucap Zora.

"No, no, no, no!" teriak Arkan. Tetap kekeh tidak ingin lepas dari Zora.

Melihat raut wajah Zora yang sepertinya sudah kesal, Arvin memberanikan diri membujuk Arkan juga. "Anak laki-laki nggak baik teriak begitu apalagi sama mamanya. Mama mu tadi minta Arkan ke atas dulu nanti secepatnya disusul. Enggak tinggalin Arkan lama-lama. Arkan anak baik kan? Nanti Om beliin boneka dino yang banyak. Arkan suka dinosaurus bukan?"

Arkan menangguk. "Beli yang banyak?"

"Se tokonya juga boleh, apa mau pabriknya sekalian?"

Ucapan Arvin sontak Zora melotot menatap Arvin, seolah berkata jangan bicara aneh-aneh.

"Woah!" Wajah Arkan sumringah setelah mendengar ucapan Arvin.

Arvin terkekeh. "Tapi nurut dulu apa kata mama mu tadi."

Dengan cepat Arkan menganggu semangat. "Turun, Mama," ucapnya pada Zora.

Zora menurunkan Arkan dari gendongannya. Anak itu langsung berlari menuju susternya dan menarik pergelangan susternya keluar ruangan. Terlihat jelas Arkan senang saat dijanjikan akan dibelikan boneka dino yang banyak oleh Arvin.

"Tunggu dulu." Arvin langsung berucap saat Zora ingin mengerutu padanya. "Jelasin dulu kenapa kamu tega sembunyiin ini semua, Zoraya?"

***

"Kenapa cepet banget?! Orang tua aku aja belum tahu kalau aku udah punya anak, Arvin!"

Setelah Zora menjelaskan semuanya mengenai ia menyembunyikan Arkan karena salah satunya menduga Arvin sudah berkeluarga jadi Zora lebih baik tidak memberitahu Arvin, tidak ingin merusak keluarga Arvin.

Respon Arvin tidak habis pikir. Kecewa bercampur bahagia ternyata selama ini ia punya anak. Setelah mengenal sosok Zora, Arvin tahu kalau sifat Zora selalu menyimpulkan seuatu langsung, padahal belum tentu itu benar adanya.

Kini Arvin kembali ke rumah Zora atau lebih tepatnya rumah Rosa dan membawa sebuah surat-surat mengenai event wedding organizer yang pernah Arvin tunjukan saat pertemuan pertama kalinya dengan Zora di kantornya.

Singkat cerita. Memang Arvin kaget tidak tahu menahu kalau Zora berada di Singapura selama ini. Namun, setelah tidak sengaja melihat daftar nama lamaran yang akan melamar di perusahaannya, Arvin terkejut menemukan nama Zora dan dari situ ia langsung membooking event wedding organizer.

Arvin pun tidak mengerti kenapa ia melakukan hal itu, padahal hal seperti pakaian, gedung, dan lain-liannya saja belum dipikirkan. Pada saat itu Arvin takut, takut jika Zora pergi lagi. Jadi yang ada dipikiran Arvin hanyalah cara agar Zora tidak pergi darinya, dengan menakuti Zora seolah Arvin sudah mempersiapkan acara pernikahaan untuk mereka.

"Kamu nggak bercanda kan?!" Zora menatap iPad Arvin yang memperlihatkan beberapa gaun dari desain ternama.

"Siapa yang bercanda?" Kali ini Arvin serius sudah mempersiapkan acara pernikahannya dengan Zora. Setelah mengetahui Zora selama ini mempunyai anak darinya, Arvin tidak bisa menunggu lebih lama. Ia harus secepatnya mengikat Zora dalam ikatan pernikahan.

Zora sebenarnya ingin menolak. Namun sudah seminggu lebih melihat interaksi Arkan dan Arvin yang semakin dekat, namun Arkan masih belum tahu kalau Arvin adalah papa kandungnya yang selama ini anak itu cari.

Zora ingin memberitahu, tetapi Arvin menolak. Karena pria itu masih ditahap pendekatan dengan Arkan. Jika langsung diberitahu, reaksi Arkan takutnya menjauhi Arvin. Arvin ingin lebih dulu mengambil hati Arkan agar menyukainya sepenuhnya.

"Kedua orang tuaku belum tahu mengenai Arkan. Gimana bisa kasih tahu acara pernikahan duluan?" Acara yang dipersipakan oleh Arvin sekitar 4 bulan lagi. Kepala Zora langsung pusing seketika.

"Aku takutnya, orang tua aku, terutama papa justru menolak kamu." Tidak tahu apa reaksi orang tuanya nanti jika tahu anaknya yang dijaga telah hamil diluar nikah.

"Gapapa, aku yang akan jelasin semuanya ke orang tua kamu. Aku yang salah, aku salah udah hamilin kamu dan nggak ada disamping kamu selama pertumbuhan Arkan. Kamu tenang aja, serahin semuanya ke aku," ucap Arvin.

Zora menggeleng pelan. "Enggak bisa begitu. Aku ngelakuinnya sama kamu tanpa paksaan. Berarti aku siap resiko dari sex di luar nikah dan salah satunya hamil."

Arvin tersenyum bangga mendengar ucapaan Zora. "Kamu lebih dewasa sekarang."

Zora mendengus, menutupi kegugupannya yang sedang ditatap Arvin intens. "Semenjak hamil aku mulai belajar ngendaliin emosi, pikiran agar selalu positif, mengambil keputusan dengan benar, dan banyak lagi."

"Semua itu aku lakuin buat Arkan. Agar pertumbuhan anak aku baik."

Sebelum belajar itu semua, Zora semasa kuliah mudah terpancing emosi, selalu overthinking, mengambil keputusan tidak dengan kepala dingin. Contohnya seperti ia melarikan diri ke Singapura mencari tahu dulu kebenaran apa yang dilihatnya saat itu.

"Kamu berhasil jadi ibu yang baik, Zoraya," puji Arvin.

***
Makasih banyak buat vote dan commentnya yaa 🤍 part ini ramein lagi yuk. Biar besok bisa double up, jangan lupa vote & commentnya tembusin 1k lagi yaa.

Spam next boleh? 👉🏻

Hot LecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang